Cukai Rokok kian “Ngebul”

“Meski kebijakan tersebut menuai kontroversi, tetapi negaralah sejatinya yang paling diuntungkan dari kenaikan cukai rokok tersebut.”

Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Peringatan: Merokok Membunuhmu” Demikianlah di antara bunyi peringatan yang selalu terpampang di balik pembungkus rokok. Sayangnya, meski peringatan tersebut selalu dibaca para penggunanya, tetapi tampaknya tidak berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah perokok. Walhasil, peringatan tetap dibaca, rokok pun terus dilahap.

Meningkatnya jumlah perokok selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, salah satunya dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan konsumsi tembakau, dalam upayanya meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Sekilas, tujuan pemerintah menaikkan cukai rokok sangatlah baik, yakni demi menjaga kesehatan masyarakat. Namun, melihat bagaimana selama ini pemerintah mengurus rakyatnya, kebijakan tersebut tetaplah meragukan. Benarkah menaikkan cukai rokok semata-mata untuk kepentingan masyarakat, atau justru demi menaikkan pendapatan negara?

Di Balik Kenaikan Cukai

Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 1 Januari 2022. Adapun rata-rata kenaikannya sebesar 12 persen. Pengumuman tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan telah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi. Menkeu mengatakan, alasan pemerintah menaikkan cukai rokok adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Sri Mulyani pun menyebut, rokok merupakan produk berbahaya yang harus dijauhkan dari masyarakat. Karena itu, kenaikan tersebut harus dilakukan agar semakin tidak terjangkau. (CNBC Indonesia, 13/12/2021)

Sri Mulyani yang juga mantan Pelaksana Bank Dunia, juga menyebutkan tentang beberapa alasan pemerintah menaikkan cukai rokok.
https://narasipost.com/2021/06/30/pajak-jadi-pendapatan-utama-rakyat-membiayai-negara-bukan-sebaliknya/

Pertama, pengendalian konsumsi rokok. Hal ini dilakukan karena pada tahun 2019 sempat terjadi kenaikan konsumsi rokok domestik. Sedangkan saat itu, pemerintah tidak menetapkan kenaikan cukai rokok. Menurut data dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), pada 2019 terjadi kematian terbesar kedua di Indonesia disebabkan oleh konsumsi rokok. Karenanya, pengendalian rokok perlu dilakukan.

Kedua, kesejahteraan tenaga kerja. Dalam CHT 2022, dana cukai rokok yang masuk akan dialokasikan untuk beberapa hal. Mulai dari kesehatan, keterampilan buruh (mencakup peningkatan keterampilan kerja dan pemberian bantuan), serta penegakan hukum.

Ketiga, pengawasan barang cukai ilegal. Rokok merupakan salah satu barang yang dikenakan kebijakan cukai. Meningkatnya kebijakan CHT, maka akan memicu terjadinya produksi rokok ilegal. Karenanya, fakta ini harus menjadi perhatian.

Keempat, peningkatan penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, proyeksi penerimaan negara dari hasil tembakau di tahun 2022 mencapai Rp193 triliun. Ini kurang lebih sekitar 1/10 atau sepuluh persen dari penerimaan negara.

Mengacu Kebijakan Roadmap Bloomberg

Kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, terutama tentang cukai dan pajak disoroti oleh anggota komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun. Dia meminta Presiden Jokowi untuk mencermati ulang kebijakan tersebut. Pasalnya, nama Sri Mulyani tercantum dalam daftar anggota Gugus Tugas Kebijakan Fiskal untuk Kesehatan atau The Task Force on Fiscal Policy for Health Bloomberg Philantropies. (Merdeka.com, 15/11/2019)

Misbakhun mengaku mendapatkan sejumlah dokumen tentang rekomendasi kebijakan fiskal untuk pemerintah Indonesia oleh Bloomberg. Kebijakan tersebut demi promosi kesehatan melalui peningkatan pajak, cukai rokok, dan alkohol, bea, serta minuman mengandung gula. Misbakhun pun menyebut bahwa arah kebijakan kenaikan cukai rokok serta penambahan objek cukai di negeri ini ternyata sesuai dengan peta jalan atau roadmap Bloomberg.

Task Force on Fiscal Policy for Health Bloomberg Philantropies sendiri dipimpin langsung oleh pengusaha Amerika Serikat, Michael Bloomberg. Lembaga tersebut telah meluncurkan Bloomberg Initiative pada 2006, yakni kampanye yang bertujuan mengurangi penggunaan tembakau.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan lebih memilih untuk mengikuti agenda bloomberg yang notabene adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, daripada memikirkan kepentingan rakyatnya sendiri. Sangat disayangkan, negara yang selalu menggaungkan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi, nyatanya masih tunduk pada kertas kerja lembaga asing yang jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa ini.

Ditilik dari sudut mana pun, apabila sebuah negara atau lembaga asing ikut menginfiltrasi kebijakan pemerintah, maka nyaris dipastikan bahwa rakyatlah yang paling dirugikan. Jika demikian, masihkah kita bisa percaya bahwa kebijakan tersebut benar-benar demi rakyat?

Upaya Menaikkan Pendapatan Negara

Pemerintah mengeklaim jika kebijakan menaikkan cukai rokok demi mengurangi tingkat konsumsi rokok yang saat ini masih tinggi. Selain itu, kebijakan tersebut juga diklaim tetap mementingkan industri rokok dan para petani rokok. Sayangnya, klaim tersebut tampak jauh dari realitas.

Diketahui, pemerintah secara konsisten menaikkan cukai rokok sejak 2013 silam. Pada 2013, kenaikan cukai rokok rata-rata 8,5 persen. Kemudian di 2015 sebesar 8,72 persen; 2016 sebesar 11,19 persen; 2017 sebesar 10,54 persen; 2018 sebesar 10,04 persen; dan di tahun 2020; 2021; dan 2022, terjadi kenaikan masing-masing sebesar 23 persen; 12,5 persen; dan 12 persen.
https://narasipost.com/2021/06/23/haram-menzalimi-harta-rakyat/

Sayangnya, konsistensi kenaikan cukai beberapa tahun terakhir, nyatanya tidak berbanding lurus dengan berkurangnya konsumsi rokok. Hal ini didasarkan pada hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Aduld Tobacco Survey-GATS) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 dan diulang kembali pada 2021. Hasilnya, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir terjadi kenaikan signifikan jumlah perokok dewasa, yakni sebanyak 8,8 juta orang. Dari jumlah 60,3 juta orang pada 2011, menjadi 69,1 juta orang perokok pada tahun 2021. (Kemenkes.go.id, 01/06/2022)

Ini artinya, kenaikan cukai rokok tidak berpengaruh pada berkurangnya pengguna rokok. Bahkan, sejak 2007, angka prevalensi perokok usia 15 tahun, tidak mengalami perubahan signifikan. Kenaikan cukai rokok tentu akan berdampak pada melambungnya harga rokok. Namun, hal itu tidak serta-merta menghentikan konsumsi masyarakat pada rokok. Apalagi, rokok memiliki kandungan zat adiktif yang membuat konsumen memiliki ketergantungan tinggi pada barang tersebut. Jika ketergantungan sudah terjadi, merogoh kocek lebih dalam pun akan dilakukan. Atau masyarakat akan beralih mengonsumsi rokok yang lebih murah.

Tak hanya itu, kebijakan pengendalian konsumsi dengan menaikkan tarif juga berdampak pada pelaku usaha sektor industri hasil tembakau (IHT). Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Azami Muhammad mengatakan, kebijakan tarif cukai akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja di sektor IHT sebanyak 990 orang dengan penurunan produksi sebesar tiga persen. (Liputan6.com, 15/12/2021)

Justru, yang lebih menunjukkan hasil nyata dari kenaikan tarif cukai rokok adalah pemasukan negara yang sangat besar. Kontribusi pemasukan negara dari cukai rokok diperkirakan sebesar Rp175 triliun. Bahkan, Kementerian Keuangan menargetkan kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2022 sebesar Rp20 triliun. Meski kebijakan tersebut menuai kontroversi, tetapi negaralah sejatinya yang paling diuntungkan dari kenaikan cukai rokok tersebut.

Kebebasan Produksi dalam Kapitalisme

Penerapan sistem kapitalisme telah membuat negara kehilangan kemandirian dalam aspek politik dan ekonomi. Negeri ini tak mampu mengelola aset-aset strategis dalam negerinya secara mandiri, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dianutnya. Alhasil, negara harus menopang ekonominya dari berbagai sumber, termasuk cukai rokok. Di sisi lain, spirit sekularisme yang menafikan agama, membuat negara melegalkan berbagai hal untuk diproduksi dan diperjualbelikan meski telah nyata mendatangkan banyak kemudaratan bagi masyarakat.

Tak hanya itu, sikap pemerintah yang sering kali membiarkan asing ikut campur dalam pembuatan kebijakan, menunjukkan jika negara tidak berdaya di bawah iming-iming aliran dana asing. Sayangnya, kondisi tersebut tidaklah mengherankan jika dilihat dari prinsip dasar kapitalisme yakni profit oriented. Negara akan membebaskan dan melegalkan produksi barang-barang apa pun atas nama keuntungan.

Kemandirian Ekonomi Islam

Islam berdiri di atas akidah yang kokoh. Karena itu, semua kebijakan negara hanya diatur berdasarkan syariat Islam, termasuk dalam memperoleh sumber pendanaan negara. Jika kapitalisme melegalkan semua hal yang bisa menjadi sumber pendanaan negara termasuk dana asing, maka Islam memiliki konsep berbeda. Konsep tersebut tercermin dalam sistem ekonomi Islam.

Pendanaan negara dalam Islam harus dilakukan secara mandiri dan tanpa intervensi asing. Sumber-sumber penerimaan negara diterapkan oleh negara Khilafah, yang dikenal dengan sebutan kas Baitulmal. Satu hal yang pasti, sumber-sumber pemasukan tersebut tidak akan mengandalkan sektor pajak dan cukai, sebagaimana telah ditetapkan oleh syariat Islam.

Setidaknya ada tiga sumber utama pemasukan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu seperti zakat, hibah, sedekah, dan sebagainya. Terkhusus untuk zakat, maka tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas, pertambangan, batu bara, kehutanan, dan sebagainya. Ketiga, sektor kepemilikan negara yang meliputi ganimah, jizyah, kharaj, fa’i, usyur, dan sebagainya.

Dengan sumber pemasukan sebesar itu, negara sangat mampu membiayai seluruh pengeluarannya termasuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Artinya, negara mampu mandiri tanpa harus bergantung pada pendanaan asing seperti utang, juga tanpa harus menarik pungutan terhadap masyarakat. Kemandirian ekonomi Khilafah akan menghindarkan campur tangan asing dalam segala aspek.

Di sisi lain, negara juga akan mengatur boleh atau tidaknya suatu barang diproduksi berdasarkan standar syariat Islam. Sebab, Khilafah tidak akan memproduksi hal-hal yang dapat membahayakan umat. Hal ini berdasarkan larangan mendatangkan mudarat bagi orang lain. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, “Barang siapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barang siapa menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.”

Khatimah

Kebijakan cukai hanyalah salah satu cara untuk menambal pendanaan negara. Dalih kemaslahatan dan kebaikan rakyat di balik kebijakan tersebut hanyalah lip service yang menunjukkan ketidakseriusan negara dalam memprioritaskan kesehatan rakyatnya. Sekaligus menunjukkan watak asli negara bentukan kapitalisme. Hanya dengan kembali pada Islam dan seluruh syariatnya, kemaslahatan rakyat akan terwujud secara nyata.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Panutanq
Next
Bangkrutnya 'Mutiara Samudra Hindia'
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Alhamdulillah, suami tidak merokok.
Semoga keturunanku kelak jgn ada yg merokok.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram