Bukan ACT yang Dibekukan, Sistem Kapitalismenya yang Ditinggalkan

“Wajar muncul kecurigaan alasan pembekuan ACT tidak hanya disebabkan penyelewengan dana tetapi juga karena kedekatannya dengan Islam. Terlebih dilihat dari program, kebijakan dan pernyataan para pejabat negeri selama ini menunjukkan rezim sekarang mengidap Islamofobia.”

Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Berawal dari pemberitaan Tempo dalam laporan bertajuk Kantong Bocor Dana Umat, viral dugaan adanya penyelewengan donasi publik oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Berita ini sangat mengejutkan karena yayasan yang berdiri sejak 2005 itu telah banyak menerima donasi dan menyalurkan bantuan kepada masyarakat bahkan hingga ke Palestina. Hanya dalam sehari, kepercayaan masyarakat kepada ACT tercederai oleh pemberitaan tersebut.

Dari informasi yang beredar, diduga ada petinggi ACT menggunakan dana untuk kepentingan pribadi. Para petingginya menikmati gaji yang fantastis. Hal ini dipandang tidak etis karena ukuran gajinya jumbo yaitu mencapai Rp250 juta per bulan berikut berbagai fasilitas mewah lainnya.

Mengutip data yang dilansir katadata.co.id (04/07/2022), dana kemanusiaan dari masyarakat yang dikelola ACT sangat besar dan meningkat. Tahun 2010, jumlah keuangan yang dikelola baru mencapai Rp25 miliar. Nilainya menjadi ratusan miliar per tahun selama periode 2016-2020.

Ketidakadilan Sikap Pemerintah

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Bareskrim Polri langsung menginvestigasi transaksi keuangan lembaga filantropi itu. Diduga selain ada penggunaan untuk kepentingan pribadi petinggi, ACT telah mengelola dana untuk kegiatan bisnis. (detik.com, 11/07/2022)

Presiden ACT Ibnu Hajar menyampaikan dalam klarifikasinya kepada Kemensos, ACT rata-rata menggunakan 13,7 persen dari hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai biaya operasional yayasan. Polisi mengatakan ACT juga telah memangkas dana sosial CSR yang diserahkan kepada lembaga hingga 20 persen untuk pembayaran gaji pengurus. (cnnindonesia.com (09/07/2022)

Pemerintah sudah mengeluarkan aturan terkait biaya operasional bagi organisasi yang menghimpun dana masyarakat. Dalam PP No. 29 tahun 1980 pasal 6 tercantum bahwa organisasi atau lembaga dapat mengambil 10% dari hasil pengumpulan sumbangan untuk membiayai operasional.

Meski masyarakat kecewa dengan kekisruhan yang terjadi dalam tubuh ACT namun pembekuan ini disayangkan beberapa pihak. Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga Imron Mawardi menyebut pemerintah terlalu reaktif dan terburu-buru membuat keputusan pencabutan izin ACT. Pelanggaran di tubuh ACT tidak lepas dari lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Sebelum membekukan, pemerintah seharusnya melakukan teguran secara tertulis dan pembinaan. Selain itu, ACT sudah melakukan penataan dan restrukturisasi pada tubuh lembaga sejak Januari 2022.

Publik jadi bertanya-tanya mengapa pemerintah begitu cepat menangani ACT. Dugaan penyelewengan dana ACT tersiar 2 Juli, Kemensos mencabut izinnya 6 Juli dan beberapa jam kemudian PPATK dengan sigap membekukan rekeningnya. Lalu ada penggiringan opini mengaitkan ACT dengan pendanaan terorisme.

Tindakan cepat pemerintah terhadap ACT mirip dengan penanganan pada ormas HTI dan FPI. Ormas yang dikenal vokal menyuarakan kritikan terhadap pemerintah karena kebijakan-kebijakannya yang menzalimi rakyat dan bertentangan dengan syariat Islam.

Wajar muncul kecurigaan alasan pembekuan ACT tidak hanya disebabkan penyelewengan dana tetapi juga karena kedekatannya dengan Islam. Terlebih dilihat dari program, kebijakan dan pernyataan para pejabat negeri selama ini menunjukkan rezim sekarang mengidap Islamofobia. Lembaga yang lekat dengan Islam sering dicurigai sementara organisasi yang jelas-jelas sudah merugikan masyarakat malah dilindungi seperti parpol yang berkuasa sekarang. Mereka memiliki riwayat panjang dalam soal korupsi yang merugikan jutaan rakyat di negara ini.

Keberadaan Lembaga Filantropi, Dampak Sistem Kapitalisme

Rasulullah saw. bersabda:

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.”

Islam menetapkan kedudukan penguasa sebagai pelayan rakyat berdasar pada syariat Islam. Ia harus memastikan seluruh rakyatnya terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan. Rakyat berhak memperolehnya dengan gratis dan harus diupayakan oleh penguasa dengan layanan terbaik. Tidak boleh ada kebijakan yang merugikan rakyat ataupun kemudaratan.

Seorang pemimpin harus memberikan keteladanan di tengah-tengah masyarakatnya, meninggalkan kemewahan terlebih di saat rakyat dalam situasi sulit. Hal ini dicontohkan oleh Umar bin Khattab melalui pernyataannya, ”Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian, satu dikenakan saat musim panas dan satu dikenakan saat musim dingin. Adapun makanan untuk keluargaku sama dengan makanan masyarakat Quraisy pada umumnya, bukan standar paling kaya di antara mereka.”

Di suatu malam Umar menemukan bayi yang dibiarkan menangis karena ibunya menolak menyusui. Alasan yang dikemukakan sang ibu adalah ia ingin segera menyapihnya agar mendapatkan jatah makan yang diberlakukan Umar kepada anak yang sudah disapih saja. Pagi harinya, Umar langsung mengumumkan bahwa setiap anak sejak lahir akan mendapat jatah makan.

Demikian gambaran pelayanan seorang penguasa kepada rakyat dalam Islam yang hari ini tidak akan kita temukan. Sistem kapitalisme telah memiskinkan negara karena sumber daya alam milik umum telah diserahkan kepada para pemilik modal dan memperkaya kelompok tersebut. Negara tidak memiliki dana cukup untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan individu sangat menonjol bahkan dapat mencaplok kepemilikan negara melalui privatisasi hingga melibatkan pihak asing. Ini menimbulkan krisis keuangan sehingga utang negara terus membengkak untuk menutupi anggaran yang selalu defisit. Kondisi diperparah dengan kentalnya korupsi, kolusi dan suap.

Sistem kapitalisme mengontruksi peradaban manusia dengan nafsu rakus dan ketamakan tidak terbatas. Eksploitasi SDA berakibat pada kerusakan alam dan ketimpangan serta kerapuhan ekonomi. Kehidupan berjalan berorientasi pada materi dan keuntungan. Nilai-nilai kemanusiaan tergerus, rasa welas asih penguasa kepada rakyat hilang.

Lahir pejabat bermental pedagang yang berakibat pada pengabaian terhadap pelayanan rakyat. Penguasa tidak peduli terhadap kondisi masyarakat yang makin menderita akibat biaya bahan pangan yang mahal, tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, subsidi makin dikurangi. Para pejabatnya malah justru berbisnis kepada rakyat untuk mengambil keuntungan termasuk ketika masa pandemi. Seperti kasus bisnis para pejabat dalam layanan tes kesehatan, tes PCR dan Antigen adalah hal yang sangat memalukan sekaligus memilukan.

Menumpuknya problem ekonomi dan sosial masyarakat sebagai akibat dari sistem kapitalisme seperti yang kita lihat hari ini. Keberadaan organisasi kemanusiaan atau lembaga filantropi yang bertujuan untuk meringankan sesama melalui penggalangan dana dari masyarakat merupakan bentuk pengambilalihan tanggung jawab negara. Ini menguntungkan bagi negara sehingga lembaga-lembaga tersebut dibiarkan menjamur.

Penyelewengan di tubuh ACT seharusnya ikut menampar pemimpin negara ini yang telah melalaikan kewajibannya. Lembaga-lembaga filantropi hadir karena negara sering absen menunaikan tanggung jawabnya. Hal ini tidak akan terjadi jika negara menerapkan sistem Islam. Keberadaan lembaga filantropi tidak diperlukan karena negaralah yang akan mengurus rakyat termasuk memobilisasi dana dari rakyat dalam bentuk infak atau sedekah jika memang diperlukan.

Jadi solusi tuntasnya, bukan ACT nya yang dibekukan tetapi sistem kapitalismenya yang harus ditinggalkan.

Wallahu a'lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Novianti Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kuldesak Sri Lanka
Next
Jalan yang Terasing
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram