"Negara dan pemangku kebijakan harusnya menyadari bahwa pangkal masalah dari narkoba berakar dari sistem kapitalisme liberal. Sistem yang datang dari Barat ini telah mengalihkan tanggung jawab negara seperti hak dasar pendidikan, kesehatan, serta keamanan pada individu dan masyarakat, begitu pula kewajibannya untuk menjaga moral bangsa (al-aql) diserahkan pada institusi keluarga atau lembaga pendidikan yang berbasis sekuler-liberalisme."
Oleh: Uqie Nai
(Member AMK4 dan Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose, membantah dengan tegas tentang wacana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia.
Petrus Golose menyampaikan ketegasannya tersebut di sela-sela acara peringatan Hari Antinarkotika Internasional (HANI) di Badung, Bali, Minggu 19 Juni 2022. Menurutnya, hanya ada beberapa negara yang melegalkan ganja, tapi dari segi jumlah masih lebih banyak negara yang menetapkan tanaman candu itu ilegal. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang melegalisasi ganja hanya di negara-negara bagian, bukan secara terpusat atau di tingkat federal. Sementara untuk level Asia, hanya Thailand yang telah melegalkan budidaya dan penggunaan ganja untuk kepentingan medis/pengobatan.
Adapun terkait tanaman kratom yang dianggap punya efek candu, sebetulnya tahun lalu BNN telah mengusulkan agar kratom (Mitragyna speciosa) masuk dalam narkotika golongan I sehingga tanaman itu tidak dapat digunakan untuk pengobatan. (Tempo.co Senin, 20/6/2022)
Narkoba akan Punah jika Sistem Liberalismenya Sirna
Konsistensi BNN RI yang menolak legalisasi ganja sekalipun untuk pengobatan/medis patut diacungi jempol, mengingat kebahayaan dari tanaman haram ini bukan main-main. Selain merusak secara kesehatan, tanaman jenis ini pun bisa mengancam nasib bangsa dan generasi sebagaimana narkotika dari jenis methamphetamine (sabu), ekstasi, pil koplo dan obat-obatan dari golongan benzodiazepine.
Tidak dilegalisasi saja kasus pemakai dan pengedar ganja atau narkoba terus ada, apalagi bila dibebaskan. Mirisnya, para pemakai biasanya mereka yang masih berusia produktif atau berstatus sebagai pelajar. Bila dibiarkan, nasib mereka akan terancam dengan hilangnya harapan hingga masa depan bangsa yang semakin suram. Mereka yang harusnya menjadi agent of change (kemajuan), justru menjadi agen kemunduran akibat mengonsumsi zat berbahaya. Hal inilah yang diinginkan imperialis Barat agar mudah merampas kekayaan dalam negeri tanpa perlawanan.
Sungguh ini adalah tanggung jawab semua pihak agar kondisi dalam negeri aman dan sejahtera, baik individu, masyarakat, dan negara harus bekerja sama mencari solusi terbaik. Sebab, kuat lemahnya suatu bangsa berkaitan erat dengan kondisi pemudanya, sementara kuat lemahnya fisik dan mental generasi bergantung pula dengan sistem yang menaunginya, yaitu sebuah sistem yang bisa mengantarkan anggota masyarakatnya pada kehidupan sejahtera, aman, dan nyaman. Kehidupan tersebut tentu tak mungkin terjadi di era saat ini dengan kapitalisme liberal yang ada di tengah masyarakat.
Cara pandang kapitalisme akan kehidupan yang jauh dari tuntunan agama telah memberikan kebebasan pada individu untuk mencapai kebahagiaannya sendiri. Selama itu bisa mendatangkan manfaat berupa materi, negara akan membiarkannya walaupun akibat kebebasan itu generasi akan mudah terpuruk secara akal dan mental.
Negara hanya tahu bahwa zat adiktif dan turunannya merusak kesehatan dan organ vital di tubuh manusia, sedangkan kondisi setelahnya seperti kejahatan dan kemaksiatan atau suramnya masa depan bangsa tak terlalu dihiraukan. Buktinya, negara mencukupkan diri dengan memberi imbauan untuk menjauhi narkoba, menjeratnya dengan undang-undang (UU No.35/2009), lalu melakukan rehabilitasi, atau memenjarakannya tapi tidak mengganti sistemnya.
Negara dan pemangku kebijakan harusnya menyadari bahwa pangkal masalah dari narkoba berakar dari sistem kapitalisme liberal. Sistem yang datang dari Barat ini telah mengalihkan tanggung jawab negara seperti hak dasar pendidikan, kesehatan, serta keamanan pada individu dan masyarakat, begitu pula kewajibannya untuk menjaga moral bangsa (al-aql) diserahkan pada institusi keluarga atau lembaga pendidikan yang berbasis sekuler-liberalisme. Alhasil, program antinarkoba hanyalah sebatas jargon yang tak mampu memutus rantai pengguna dan pengedarnya.
Sistem kapitalisme juga ikut serta merusak sendi ekonomi, sosial, politik, dan hukum dengan membiarkan negara tak berpihak pada rakyat. Ketika rakyat terimpit dengan masalah yang datang dari sistem, negara diam atau memberi perhatian alakadarnya. Masalah yang terakumulasi pun memengaruhi juga generasi untuk mencari pelampiasan pada jalan salah, bukan cuma terjerat narkoba, perilaku life style, free sex, tawuran, geng motor, tapi sejumlah aksi kriminal akan terus hadir mewarnai buruknya kapitalisme yang diterapkan.
Kembalikan Masa Depan Generasi dengan Islam Kaffah
Dalam pandangan Islam, zat adiktif seperti narkotika dan ganja sama halnya dengan khamr karena ada kesamaan sifat/efeknya yakni merusak akal. Maka, Islam menghukuminya haram karena Allah dan rasul-Nya telah melarang.
Allah Swt. telah berfirman:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah: "pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." (TQS. Al-Baqarah [2]: 219)
Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw. telah melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan. (HR Abu Daud)
Rasulullah saw. juga telah bersabda tentang orang-orang yang terlibat khamr dengan laknatnya:
"Khamr atau minuman keras itu telah dilaknat zatnya, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang membawanya, orang yang meminta untuk dibawakan dan orang yang memakan harganya." (Diriwayatkan oleh Ahmad (2/25,71), Ath-Thayalisi (1134), Al-Hakim At-Tirmidzi dalam Al-Manhiyaat (hal: 44,58), Abu Dawud (3674))
Atas keharaman khamr dan aktivitasnya sebagaimana dalil nas di atas, maka negara dalam sistem pemerintahan Islam akan hadir menjadi pelayan untuk mengatur urusan umat. Negara akan memberikan semua hak warga negara, baik muslim maupun nonmuslim secara sama dan tanpa dipungut biaya, baik yang bersifat primer atau komunal (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Baik yang bersifat kenyamanan fisik ataupun ruhiyah.
Negara dalam sistem ini akan memberikan perhatian penuh agar ketakwaan individu masyarakat terjaga, terutama pemahaman tentang interaksi yang haram dan pengaruh budaya asing yang merusak. Sosialisasi ini diperkuat negara melalui pendidikan berbasis akidah Islam dengan fasilitas maksimal seperti asrama bagi pelajar dan pengajar, laboratorium, perpustakaan, ruang belajar, uang saku bagi para siswa, juga gaji guru dengan standar dinar dirham, ditambah pelayanan kesehatan gratis, negara berusaha menjadikan output generasi yang berkepribadian Islam (secara aqliyah dan nafsiyah) ke arah peradaban Islam yang gemilang.
Dalam sistem sanksi, negara juga berperan aktif dan tidak pandang bulu. Siapa yang melanggar aturan syara yang diterapkan negara, maka ia harus menerima sanksi tegas yang diberlakukan atasnya. Bagi peminum khamr atau pemakai narkoba, sanksinya berdasarkan kewenangan negara atau qadhi (ta'zir), yakni jilid (cambuk) atau hukuman mati.
Umar bin Khattab pernah bermusyawarah dengan para Sahabat hingga disepakati suatu polemik tentang tingkatan sanksi peminum khamr. Apabila orang yang meminum khamr masih mengakui sebagai perbuatan haram, mereka dijatuhi hukuman cambuk. Tetapi, jika terus saja meminumnya karena menganggapnya halal, mereka dijatuhi hukuman mati.
Demikianlah penjagaan hakiki negara dalam sistem Islam. Bukan hanya mencegah individu muslim dari kemaksiatan juga diberlakukannya sanksi agar maksud syariat terealisasi dalam kepemimpinan Islam. Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]