Ambisi Kemandirian Energi di Balik Migrasi LPG Subsidi

"Kemandirian energi mustahil dicapai jika pemerintah masih memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap impor. Di sisi lain, liberalisasi migas telah membuat sumur-sumur minyak di dalam negeri justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Jika kondisinya demikian, maka angan-angan mewujudkan kemandirian energi hanyalah ilusi."

Oleh. Sartinah
(Tim Kontributor Tetap Narasipost.Com)

NarasiPost.Com-Alkisah di sebuah negeri antah-berantah, rakyat jadi bulan-bulanan kebijakan sang penguasa. Dari satu kebijakan menuju kebijakan lainnya, rakyat hanya bisa pasrah dan mengalah tanpa mampu menolak apalagi melawan. Sayang seribu sayang, kebijakan sang penguasa bukannya membawa pada kesejahteraan, justru kian mengantarkan rakyatnya menuju jurang kemiskinan.

Hal inilah kiranya yang dirasakan rakyat negeri ini. Di saat impitan ekonomi kian berat, pemerintah justru terus bermain dengan kebijakan yang 'mencekik' dan tidak pro rakyat. Inkonsistensi kebijakan seolah menjadi tabiat para penguasa, tak peduli siapa pun presidennya. Mirisnya, rakyat seperti dipaksa pasrah dan tidak memiliki pilihan. Sebut saja terkait kebijakan energi bagi dapur rakyat.

Awalnya masyarakat menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar kebutuhan dapurnya. Namun, sejak 2007 pemerintah mengalihkan minyak tanah ke liquified petroleum gas alias LPG. Pemerintah mengklaim, selain mengurangi ketergantungan terhadap energi minyak tanah, penggunaan LPG memiliki banyak keuntungan. Salah satunya menguntungkan bagi para pelaku usaha di dalam negeri.

Namun, lain dahulu lain pula sekarang. Penggunaan LPG yang terus membengkak dinilai sangat memberatkan APBN. Pemerintah pun kembali akan mengalihkan subsidi LPG 3 kilogram ke kompor induksi atau kompor listrik. Mengapa pemerintah lagi-lagi mengonversi LPG subsidi ke kompor induksi? Mampukah kebijakan tersebut mewujudkan ketahanan energi? Bagaimana pula pengelolaan energi menurut Islam?

Migrasi LPG

Saat ini pemerintah bersama PT PLN tengah mematangkan program pengalihan anggaran untuk subsidi LPG 3 kilogram ke program percepatan penambahan pengguna kompor listrik atau kompor induksi bagi rumah tangga. Pada 2024 mendatang, PLN telah menargetkan penggunaan kompor induksi sebanyak 8,5 juta, sedangkan pada 2030 diprediksi mencapai 18,2 juta rumah tangga. PLN bahkan menargetkan akan menggaet konsumen baru pengguna kompor listrik sebanyak lima belas juta rumah tangga. Cara tersebut dinilai menjadi salah satu upaya perusahaan dalam mengatasi pasokan listrik yang berlebih. (CNBCIndonesia, 20/06/2022)

Program pengalihan subsidi LPG 3 kilogram tersebut pun mendapat dukungan dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM. Dirjen Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengungkapkan bahwa program pengalihan tersebut diharapkan dapat menekan beban subsidi LPG 3 kilogram yang semakin besar. Khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang terjadi beberapa bulan terakhir. (CNBCIndonesia, 20/06/2022)

Bahkan, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, telah mencatat harga keekonomian dari kompor listrik yang berkisar Rp10.350 sebanding dengan pengadaan 1 kg LPG yang seharga Rp18.000. Ini artinya, dengan perpindahan penggunaan kompor induksi, maka penghematan yang diperoleh negara cukup besar.

Pembengkakan Subsidi

Untuk subsidi LPG sendiri, tahun ini pemerintah menganggarkan Rp61 triliun dengan asumsi minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) 63 dolar AS per barel. Sementara saat ini ICP dipatok sebesar 100 dolar AS per barel dengan nilai kurs Rp14.450 per dolar AS. Kenaikan tersebut akan berdampak pada beban subsidi LPG, di mana setiap kenaikan 1 dolar AS maka akan meningkatkan beban subsidi sebesar Rp1,47 triliun.

Kenaikan harga minyak mentah dunia yang nyaris 50 persen dari ICP APBN 2022 tersebut, telah menyebabkan kerugian pertamina dan membebani APBN lantaran memicu pembengkakan anggaran subsidi energi untuk LPG. Kenaikan tersebut tak ayal telah menciptakan disparitas antara harga jual eceran (HJE) dan harga keekonomiannya.

Diketahui, HJE yang ditetapkan saat ini adalah sebesar Rp4.250 per kilogram, sedangkan harga keekonomiannya sebesar Rp19.609 per kilogram. Dengan demikian, disparitas antara HJE dan harga keekonomiannya adalah Rp15.359,00 per kilogram. Selisih harga inilah yang kemudian ditanggung oleh APBN dalam bentuk subsidi.

Dipsaritas harga tersebut menyebabkan masyarakat akhirnya berburu LPG subsidi 3 kilogram. Kondisi ini pun berujung pada lonjakan konsumsi LPG subsidi yang ditetapkan APBN 2022 dan berakibat pada pembengkakan subsidi LPG. Lonjakan tersebut kemudian disiasati oleh pemerintah dengan menambah alokasi subsidi energi sebesar Rp359 triliun pada rencana perubahan APBN 2022.

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa subsidi LPG 3 kilogram selama Januari-Maret 2022 mencapai Rp21,6 triliun, naik dua kali lipat dari periode yang sama pada 2021 lalu yang sebesar Rp102 triliun (CNBCIndonesia, 21/04/2022). Besarnya bantalan subsidi inilah yang dianggap membebani APBN. Karena itu, pemerintah terus mengebut proyek peralihan dari LPG subsidi 3 kilogram ke kompor listrik atau kompor induksi.

Liberalisasi Harga LPG

Konsumsi LPG di dalam negeri yang tidak mencukupi kebutuhan masyarakat mengakibatkan pemerintah menambal kekurangan tersebut dari impor. Saat ini, penggunaan LPG untuk kebutuhan dalam negeri, 65 persennya memang berasal dari impor. Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, pun menyebut penggunaan kompor induksi akan membantu pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor LPG.

Pemerintah pun menilai, lonjakan konsumsi LPG subsidi bersumber dari penerapan skema subsidi terbuka. Maksudnya, siapa saja bisa mengakses subsidi LPG tanpa batasan. Alokasi subsidi terbuka pun dianggap tidak tepat sasaran dan hanya dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas. Karena itu, pemerintah memutuskan akan menerapkan subsidi LPG tertutup dengan dalih agar lebih tepat sasaran.

Jika ditelisik lebih dalam, langkah pemerintah yang hendak menerapkan subsidi LPG tertutup justru terbaca sebagai upaya pencabutan subsidi total secara bertahap. Pasalnya, dalam subsidi tertutup jumlah penerima bantuan telah nyata dipangkas. Pemerintah pun menganggap subsidi untuk masyarakat kecil sebagai beban APBN yang harus dihilangkan. Namun, bertolak belakang dengan urusan subsidi, pemerintah tak pernah mengeluh terhadap pembayaran bunga utang negara yang sangat besar. Padahal, pembayaran bunga utang tersebutlah yang sesungguhnya lebih membebani APBN.

Sengkarut pengeloaan energi sejatinya tidak lepas dari kebijakan politik ekonomi energi yang ditetapkan pemerintah. Di mana, pemerintah menerapkan liberalisasi harga LPG bersubsidi. Padahal, konsekuensi dari liberalisasi tersebut adalah pemerintah harus menaikkan harga di dalam negeri ketika terjadi kenaikan harga di tingkat global. Hal ini tentu memicu disparitas harga, overkuota, dan lonjakan subsidi. Lantas, mengapa pemerintah tetap melakukannya meski mengetahui konsekuensinya?

Delusi Kemandirian Energi

Migrasi LPG 3 kilogram ke kompor induksi sejatinya tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian energi yang didengungkan pemerintah. Kemandirian energi sendiri merupakan terjaganya ketersediaan energi dalam suatu negara dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya secara maksimal. Sementara, pemanfaatan energi dalam negeri masih jauh dari harapan.

Alih-alih mewujudkan kemandirian energi, Indonesia justru menjadi net importer oil, yakni negara yang lebih banyak mengimpor energi ketimbang mengekspornya ke negara lain. Kemandirian energi mustahil dicapai jika pemerintah masih memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap impor. Di sisi lain, liberalisasi migas telah membuat sumur-sumur minyak di dalam negeri justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Jika kondisinya demikian, maka angan-angan mewujudkan kemandirian energi hanyalah ilusi.

Pemenuhan Energi dalam Islam

Negeri-negeri muslim di dunia termasuk Indonesia adalah pemilik cadangan minyak terbesar. Sayangnya, penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang memuja ekonomi pasar dan antisubsidi, menjadikan cadangan minyak tersebut tidak mampu diproduksi secara maksimal dan menjadi sumber kekuatan. Filosofi kapitalisme tersebut jelas berkebalikan dengan prinsip ri'ayah dalam Islam.

Sejatinya minyak dan gas merupakan komoditas yang paling penting. Pasalnya, kecepatan industrialisasi sangat bergantung pada ketersediaan energi. Sumber-sumber energi pun sangat penting bagi masyarakat untuk menjalankan kehidupannya. Ini artinya seluruh keuntungan harus bisa dinikmati secara merata oleh masyarakat dan tidak boleh diprivatisasi.

Dalam sistem kekhilafahan Islam, kebijakan energi harus diambil dengan memperhatikan fakta-fakta berikut:
Pertama, karena energi merupakan hal esensial dalam industrialisasi, maka kebijakan energi negara harus dilihat dan dianalisis lebih mendalam.

Kedua, karena energi diperlukan dalam berbagai tugas, maka negara harus membangun infrastruktur energi yang modern.

Ketiga, minyak dan gas bumi harus dialokasikan untuk pemakaian yang urgen, seperti bahan mentah untuk industri manufaktur, pertanian, dan petrokimia.

Keempat, minyak dan gas harus digunakan untuk transportasi dan penghasil energi. Karena teknologi yang ada saat ini utamanya dijalankan dengan energi tersebut. Meski demikian, Khilafah juga dapat menemukan alternatif lain untuk membantu pemanfaatan yang berkelanjutan atas sumber daya negara.
Kelima, hal ini menjadi prinsip paling mendasar yakni energi merupakan hak milik umum sehingga tidak boleh diprivatisasi. Khilafah justru memiliki kewajiban untuk menjamin seluruh kebutuhan rakyat dan menjadikan energi sebagai sumber kekuatan negara. Karenanya, kebijakan energi harus disatukan dengan kebijakan di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing saling terintegrasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan energi rakyatnya, Khilafah dapat menempuhnya dengan cara mendistribusikan minyak, gas, dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Atau negara bisa mengambil keuntungan dari pengelolaan energi guna menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, termasuk terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dengan demikian, Khilafah akan mampu mengelola energinya secara mandiri dan tanpa diintervensi oleh negara lain. Pengelolaan energi dengan menyandarkan pada syariat Islam jelas akan membawa kemakmuran bagi rakyat. Kondisi demikian pun akan mewujudkan swasembada energi bagi negara. Selain itu, Khilafah akan melakukan pengembangan infrastruktur energi untuk menjamin agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara lain.

Sistem yang baik pada akhirnya akan melahirkan para penguasa yang amanah. Sebab, siapa pun yang melalaikan amanah kepemimpinan, maka patut mencermati hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Baihaqi, "Siapa saja yang diserahi oleh Allah menangani urusan kaum muslim, lalu ia mengabaikan kebutuhan, kesusahan, dan kemiskinan mereka, maka Allah akan mengabaikan kebutuhan, kesusahan, dan kemiskinan mereka (pada hari kiamat kelak)."

Khatimah

Migrasi LPG subsidi 3 kilogram ke kompor induksi sejatinya bukanlah solusi membangun ketahanan energi. Hal itu hanyalah salah satu cara melepaskan beban subsidi yang ditanggung negara. Migrasi tersebut pun hanya akan memunculkan problem lainnya yang tetap menyusahkan rakyat kecil di kemudian hari. Kemandirian energi hanya mampu diwujudkan jika pengelolaannya menyandarkan pada sistem sahih rancangan Allah Swt., yakni Khilafah.
Wallahu a'lam bi ash shawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Pemuda Islam Terdepan Membela Islam
Next
Gejolak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram