"Sekularisme yang meminggirkan aturan agama dari kehidupan, termasuk dalam pengelolaan lahan, menjadikan penguasa menyerahkannya kepada para kapital. Dijadikan perumahan ataupun tempat pariwisata untuk mengeruk keuntungan. Padahal tanggungjawab menjamin keamanan rakyat berada di tangan penguasa."
Oleh. Ummu Syafiq
(Pendidik Generasi dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kali ini bukan banjir biasa, tapi banjir bandang, melanda sebagian wilayah Kabupaten Bandung. Miris, sedih, kesal berkecamuk dalam dada, menyaksikan peristiwa banjir yang selalu berulang, seolah tidak ada solusi yang dapat mengatasi.
Dilansir dari KOMPAS.com, banjir bandang telah menerjang kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung, pada Senin sore (6/6/2022). Sebuah jembatan di Desa Tenjolaya Kecamatan Pasir Jambu roboh dan terbawa arus sungai yang deras. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Bandung, Hendra Hidayat, bahwa kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 15.30 WIB, saat wilayah Bandung Selatan diguyur hujan. Masyarakat diimbau untuk selalu waspada, mengantisipasi cuaca yang terjadi dan memantau aliran sungai, terutama warga yang memiliki rumah di bantaran sungai.
Banjir kerap terjadi di kala musim penghujan tiba, bahkan semakin meluas ke wilayah permukiman. Imbauan saja tentulah tidak cukup dan tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebab penyebab utamanya tidak diselesaikan. Maka, wajar banjir terus berulang, bahkan semakin parah. Alih fungsi lahan di bantaran gerbang sungai, yang saat ini dijadikan pesawahan dan permukiman menjadi salah satu penyebab banjir terus berulang.
Sementara perbukitan (lereng gunung) ditanami tanaman musiman yang tidak akan mampu mengikat air hujan dengan kuat, ditambah lagi maraknya tempat wisata, sehingga mengurangi area kawasan hijau. Kurangnya daerah resapan air akibat alih fungsi lahan yang tak terkendali seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah.
Terkendalinya alih fungsi lahan bergantung kepada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah setempat maupun pemerintah pusat.
Seandainya saja pemerintah mempertimbangkan antara manfaat dan mafsadatnya tentu masyarakat tidak akan menanggung akibatnya.
Adapun rakyat yang menanami bukit dengan tanaman musiman seharusnya ada edukasi dari penguasa dan sanksi yang tegas. Di samping itu pemenuhan kebutuhan pokok rakyat harus juga terjamin agar kesulitan memenuhi kebutuhan perut, tidak memaksanya menanami bukit. Bukit mesti dibiarkan hijau sebagai penahan air secara alami.
Namun, sulit kita berharap kebijakan pro rakyat kecil di bawah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme selalu menghasilkan kebijakan pro para kapital, menguntungkan pengusaha dan penguasa, abai terhadap kerusakan lingkungan dan keamanan rakyat. Sekularisme yang meminggirkan aturan agama dari kehidupan, termasuk dalam pengelolaan lahan, menjadikan penguasa menyerahkannya kepada para kapital. Dijadikan perumahan ataupun tempat pariwisata untuk mengeruk keuntungan. Padahal tanggungjawab menjamin keamanan rakyat berada di tangan penguasa.
Pengelolaan lahan seharusnya memberi manfaat untuk semua, bukan segelintir orang.
Oleh karena itu, harus ada solusi untuk menyelesaikan permasalahan banjir secara komprehensif; mencakup semua aspek yang terkait. Solusi tersebut hanyalah solusi Islam.
Islam mewajibkan kepada penguasa menjalankan syariat-Nya serta bertanggungjawab mengurusi seluruh urusan rakyatnya, termasuk keamanannya.
Penguasa atau pemimpin umat haruslah berperan sebagai pelayan, pengurus serta pelindung sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (Pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR.Bukhari)
Dalam pengaturan pengelolaan lahan, pemimpin dalam Islam mengharuskan menyesuaikan dengan pengaturan Islam. Islam membagi kepemilikan lahan kepada tiga kategori; kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Untuk kepemilikan individu, negara tidak dibolehkan memaksa untuk dijual kepada siapa pun kecuali dengan izinnya. Sedangkan untuk kepemilikan umum seperti hutan, negara berperan sebagai pengelola yang manfaatnya bisa dirasakan oleh segenap rakyat. Tidak dibenarkan diserahkan kepada pengusaha. Negara pun tidak mengambil keuntungan dari pengelolaan tanah milik umum.
Dari sisi fungsi lahan atau tanah, ada yang terkategori tanah pertanian dan nonpertanian. Di sini syariat pun mengaturnya. Tanah pertanian tidak boleh dialihfungsikan untuk kebutuhan lain, sehingga mengurangi kebutuhan akan lahan pertanian. Islam sangat memperhatikan terhadap hasil pertanian, sehingga negara tidak tergantung kepada negara lain. Adapun kebutuhan lahan untuk perumahan, infrastruktur, tempat wisata dan sebagainya, maka negara akan menetapkan kebijakan skala prioritas yang tidak membahayakan bagi rakyat, dan akan dipilih tanah atau lahan yang bukan termasuk lahan pertanian ataupun untuk serapan air.
Dengan kejelasan arah pengaturan yang dibimbing oleh syariat disertai hadirnya penguasa yang menyayangi rakyat, tidak akan terjadi alih fungsi lahan tak terkendali. Sudah saatnya bagi kita semua hanya Islam yang dijadikan solusi permasalahan termasuk banjir. Wallahu a'lam bi ash-shawwab[]
Photo : Unsplash