"Problema sunting menambah deretan panjang permasalahan di sektor kesehatan di tengah penanganan kasus Covid-19."
Oleh. Miliani Ahmad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Ibarat benang kusut, permasalahan demi permasalahan yang dihadapi bangsa ini tak pernah terurai dengan baik. Satu masalah belum selesai justru bertambah dengan masalah lainnya. Masalah stunting misalnya. Jauh sebelum pandemi tiba, masalah stunting merupakan problem akut yang tak pernah mendapati solusi. Kini, saat pandemi sudah berjalan belasan purnama masalah stunting kian pelik dirasakan.
Di tengah penanganan situasi Covid-19 yang menyebabkan banyaknya kerunyaman, problem stunting seakan semakin menambah deret panjang permasalahan di sektor kesehatan. Dikhawatirkan dengan kondisi seperti saat ini, penyelesaian masalah stunting kurang menjadi prioritas.
Menyikapi masalah ini, istri Gubernur Jawa Barat yang sekaligus juga sebagai ketua TP PKK Jawa Barat, Atalia Prafatya menuturkan perlunya persiapan yang matang untuk penanganan stunting ini, khususnya di masa pandemi. Hal ini disebabkan karena permasalahan stunting sangat berkaitan erat dengan nasib generasi ke depan. Menurutnya masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya problem ini. Selain itu, optimalisasi pencapaian penyelesaian masalah stunting dengan target 14% di tahun 2023 harus mampu dijalankan (www.liputan6.com, 11/07/2021).
Bukan tanpa alasan target zero new stunting di tahun 2023, sebab di Jawa Barat sendiri angka prevalensi stuntingnya masih cukup tinggi, yakni di kisaran 26,2%. Sedangkan secara nasional angka prevalensi stunting Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan Global Nutrition Report di tahun 2018 lalu, dari 132 negara, angka prevalensi Indonesia berada di urutan ke-108. Sementara itu untuk kawasan Asia Tenggara, angka prevalensi stunting bangsa ini berada di urutan tertinggi kedua setelah negara Kamboja.
Stunting, Problem Akut dalam Sistem Kapitalis
Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan beberapa hal yang bisa menjadi faktor penyebab stunting. Dalam Webinar yang bertema “Strategi Mencegah Stunting di Tengah Pandemi” yang diinisiasi Kata Data Regional Summit, dirinya menyebut di antaranya adalah faktor buruknya pola asuh, minimnya layanan kesehatan, rendahnya akses terhadap makanan bergizi yang dimiliki keluarga serta minimnya akses sanitasi dan air bersih. (www.kemenpppa.go.id)
Faktor-faktor di atas jika dicermati dalam paradigma kapitalis tentu merupakan faktor dominan yang mampu mengantarkan pada tumbuh dan berkembangnya kasus stunting. Akan tetapi, dalam paradigma Islam ideologis, faktor tersebut hanyalah faktor turunan dari faktor pokoknya. Sebab, permasalahan stunting wajib dipahami sebagai sebuah problem yang muncul secara sistemik.
Dalam kapitalisme, distribusi kekayaan yang tidak merata telah melahirkan kemiskinan sistemik. Kemiskinan ini secara nyata telah mengantarkan sulitnya penghidupan yang dijalani masyarakat. Hingga akses untuk mendapatkan kecukupan gizi tidak terpenuhi, bahkan nyaris mengarah kepada kelaparan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ratanya distribusi kekayaan telah menjadikan mayoritas penduduk di negeri ini hidup dalam kubangan kemiskinan. Sementara itu di sisi lain, segelintir individu dapat menikmati limpahan kekayaan hanya dengan menguasai akses kekayaan vital dalam negeri. Data dari Global Wealth Report 2018 yang telah dirilis oleh Credit Sussie menyebutkan bahwa 1 persen orang paling kaya di Indonesia telah menguasai 46,6% total nilai kekayaan penduduk dewasa.
Sementara itu, 10 persen orang paling kaya di negeri ini mampu menguasai 75,3 persen dari total kekayaan penduduk. Artinya, ketimpangan sistem distribusi kekayaan ini akan semakin meniscayakan masalah stunting tidak akan dapat diatasi.
Maka jika menilik kemiskinan yang merupakan faktor pokok penyebabnya, penyelasaian masalah stunting dengan mencukupkan diri pada aspek edukasi tentang pola asuh dan pendidikan untuk para ibu dimungkinkan tidak akan bisa berkorelasi secara signifikan dalam mengatasi problem tersebut. Apalagi kemiskinan sistemik tersebut mampu mencabut kemampuan alami seorang ibu dalam memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Ekonomi keluarga yang tidak stabil telah memaksa mereka melepaskan pengasuhan terhadap anak-anaknya hanya demi menambal kebutuhan sehari-hari. Kaum ibu menghadapi kondisi yang dilematis. Anak-anak kerap terbengkalai karena kebutuhan perut yang terus menuntut. Bukan berarti kaum suami tak melakukan upaya untuk memenuhinya, akan tetapi harga kebutuhan hidup dalam kapitalisme tak sebanding dengan tenaga yang dicurahkan.
Kemiskinan yang muncul dalam sistem kapitalis saat ini sejatinya merupakan konsekuensi logis dari cacatnya pengaturan hidup dalam sistem tersebut. Kapitalisme telah menempatkan pengelolaan negara berdasarkan kepentingan para pemilik modal. Aset-aset vital bisa dengan sangat mudah dikuasai dengan berbagai regulasi yang dilegislasi oleh negara. Semisal sektor pertambangan, hutan, serta sektor yang menguasai hajat hidup masyarakat.
WALHI telah mencatat bahwa sampai tahun 2014 saja, penguasaan hutan secara monopoli telah mencapai 57 hektare dari total kawasan hutan Indonesia dengan luasan 132 juta hektare. Terdiri dari 25 juta hektare hutan yang dikuasai sektor HPH , 12,35 juta hektare sektor sawit, 3,2 juta hektare dikuasai oleh sektor tambang. (www.walhi.or.id)
Dengan penguasaan sumber daya alam tersebut serta pengelolaanya yang memakai paradigma kapitalisme telah menyebabkan sumber-sumber pemasukan bagi negara menjadi minim. Efeknya, pemenuhan terhadap kebutuhan rakyat semakin jauh panggang dari api. Mirisnya lagi, minimnya pemasukan negara telah menyeret masyarakat untuk memikul beban berlapis, yakni dengan lahirnya beragam kebijakan pungutan pajak.
Pada akhirnya, keluarga dalam kehidupan masyarakat saat ini tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Jangankan gizi yang seimbang, membeli beras pun bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan oleh setiap keluarga. Masyarakat pun hanya makan seadanya dan asal kenyang. Sekadar nasi ditambah kerupuk sudah dirasa cukup. Lalu, mungkinkah negeri ini akan bebas stunting jika masyarakat hanya makan seadanya?
Selain itu, kapitalisme pun telah menyebabkan bangsa ini terjebak dalam lilitan utang berbunga besar. Utang-utang tersebut telah menyedot porsi anggaran per tahunnya. Jika tak dilakukan pembayaran maka bunga akan terus bertambah. Dengan kondisi utang yang terus membengkak tersebut, bisa dipastikan upaya untuk memberikan gizi terbaik bagi masyarakat tidak lagi menjadi prioritas.
Islam Menuntaskan Masalah Stunting
Jika telah jelas akar masalahnya, maka solusi untuk menangani masalah stunting dapat diselesaikan berdasar faktor tersebut. Maka di dalam Islam, penyelesaian masalah stunting bisa diselesaikan dengan beberapa mekanisme, di antaranya :
Pertama, dalam hal distribusi kekayaan. Untuk hal ini, Islam memiliki mekanisme khusus dalam penataannya. Di mulai dengan adanya penataan kepemilikan harta, mekanisme pengelolaannya dan juga mekanisme pendistribusiannya. Pada aspek penataan kepemilikan, Islam telah menggariskan bahwa kepemilikan harta terbagi dalam tiga jenis, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Masing-masing dari tiga jenis kepemilikan tersebut tidak boleh bercampur atau berpindah posisinya.
Kepemilikan individu adalah kepemilikan yang diperoleh oleh individu-individu msayarakat baik dari upayanya melalui bekerja, mengelola harta, waris, hibah, hadiah ataupun juga harta yang diperoleh dari pemberian negara. Semisal tanah yang diberikan negara kepada rakyat. Tanah tersebut mutlak menjadi miliknya yang bisa dikelola dengan menghidupkannya, seperti untuk bertani atau aktivitas yang dapat memberikan manfaat baginya. Dengan mekanisme ini, rakyat bisa memiliki peluang untuk menghasilkan penghidupan serta dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, termasuk gizi bagi keluarganya.
Sedangkan harta kepemilikan umum merupakan harta yang menjadi hak masyarakat secara luas. Peruntukannya tidak boleh digunakan selain untuk memenuji hajat masyarakat. Harta kekayaan pada kepemilikan umum ini telah ditetapkan oleh syara’ yakni air, api (tambang) dan juga hutan. Sumber daya alam ini mutlak menjadi milik masyarakat. Hanya saja, karena pengelolaan SDA ini tidaklah mudah, maka negaralah yang berkewajiban untuk menanganinya.
Negara wajib mengeksplorasi dan mengelola aset-aset tersebut. Dalam pandangan syariat negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada swasta bahkan asing. Negara hanya boleh mempekerjakan pihak swasta dengan akad ijarah bukan akad pengelolaan secara mandiri oleh korporasi swasta. Dengan mekanisme ini, hasil dari pengelolaan SDA tersebut wajib diberikan sebesar-besarnya kepada rakyat. Bisa dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Seperti diberikan dalam bentuk pengadaan listrik, air, gas, BBM, serta infrastruktur penunjang dengan harga yang sangat terjangkau bahkan negara bisa menggratiskannya kepada masyarakat.
Jika terjamin semua kebutuhan pokoknya tanpa ada rasa was-was memikirkan pembayarannya, masyarakat akhirnya bisa fokus memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti pemenuhan kebutuhan pangan. Uang yang diperoleh dari hasil bekerja bisa dialokasikan secara tepat untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi. Tanpa perlu dibayang-bayangi mahalnya biaya hidup dan pajak yang mencekik.
Sementara itu, kepemilikan negara adalah harta yang dimiliki oleh negara. Harta ini bisa diberikan negara kepada masyarakat yang dianggap membutuhkan dan memiliki keterbatasan. Semisal pemberian subsidi bagi masyarakat dhuafa, pemberian pinjaman usaha tanpa bunga dan semisalnya. Dengan kemudahan-kemudahan ini, maka akses masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya termasuk nutrisinya bisa diupayakan dengan maksimal.
Dengan kejelasan pembagian sistem kepemilikan kekayaan tersebut tentu tidak akan ditemukan ketimpangan dalam hal pendistribusian kekayaan. Meskipun masih ditemukan ada orang-orang yang kurang mampu namun itu bukanlah kondisi yang lahir secara sistemik.
Selain pengaturan sistem kepemilikan tersebut, Islam pun mewajibkan negara agar mampu mengoneksikan sistem ekonominya dengan sistem pendidikan. Khususnya pendidikan dasar tentang pengetahuan pola asuh, pola hidup sehat, dan pengetahuan tentang gizi yang harus dipenuhi. Terlebih pendidikan bagi generasi yang ke depannya mereka pasti akan menjadi orang tua.
Jika telah menikah, seorang ibu wajib untuk dididik agar mereka terbiasa menyiapkan generasi yang kuat, sehat, serta tangguh. Kaum ibu harus memiliki keyakinan bahwa mewujudkan generasi yang sehat merupakan wasilah ketaatan kepada Rabbnya. Dengan keyakinan tersebut dan pondasi iman yang kokoh maka akan lahirlah generasi-generasi tangguh yang bebas dari masalah stunting. Demikianlah Islam telah memberikan jawaban terhadap permasalahan stunting. Solusi-solusi yang ditawarkan merupakan solusi penting yang tak mungkin bisa didapati dalam paradigma ideologi dan sistem pemerintahan selain Islam. Pastinya, kesemua solusi ini tak akan pernah bisa diaplikasikan dalam sistem kapitalisme saat ini. Satu-satunya jalan agar umat bisa mengaplikasikan solusi-solusi tersebut agar lepas dari problem stunting adalah dengan mengembalikan sistem Islam ke tengah-tengah kehidupan mereka. Meskipun tak mudah, namun umat dituntut untuk segera merealisasikannya. Umat mesti memiliki keyakinan akan pertolongan Allah. Bukankah Allah sebaik-baik penolong dalam setiap perkara? Maka, mengapa kita tak mengupayakannya?
Wallahua’lam bish-showwab[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]