"Sistem kapitalisme membuka lebar jurang perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Pandemi covid-19 menampakan dengan nyata yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin."
Oleh. Renita
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-“Capitalism has always been a failure for the lower classes. It is now beginning to fail for the middle classes.” — Howard Zinn
(Kapitalisme selalu merupakan kegagalan bagi kelas bawah. Sekarang mulai gagal untuk kelas menengah)
Pernyataan di atas tampaknya memang terjadi saat ini ketika sistem kapitalisme semakin kokoh menghegemoni dunia. Meskipun di masa pandemi, nyatanya ketimpangan sosial terlihat semakin menganga. Resesi ekonomi yang membayangi dunia malah semakin mengokohkan aset-aset para kapitalis. Nahas, bagi masyarakat kelas bawah dan menengah, pandemi ini justru memorak-porandakan kehidupan ekonomi mereka.
Sebuah fakta terungkap bahwa orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan Credit Suisse, orang Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 juta atau setara dengan Rp14,49 miliar (kurs dolar Rp14.486) berjumlah 171.740 orang pada tahun 2020. Angka tersebut meningkat sebanyak 61,69 persen dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang berjumlah 106.215 orang pada tahun 2019. Selain itu, lembaga tersebut juga mencatat adanya lonjakan terhadap orang sangat kaya di Indonesia, dengan kekayaan tercatat lebih dari US$ 100 juta sebanyak 417 orang pada tahun 2020 atau meningkat 22,29% yoy dari jumlah pada tahun 2019.(kompas.com, 13/7/2021)
Berbicara mengenai kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia, adanya ungkapan, "Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin" tampaknya telah menjadi kenyataan yang tak bisa terelakkan. Ketika masalah ketimpangan sosial di negeri ini masih bergelayut, pandemi Covid-19 malah membuat situasi semakin buruk. Namun, sebenarnya apa yang menyebabkan ketimpangan sosial semakin melebar? Untuk menjawabnya, tentu kita perlu melihat permasalahan ini lebih dalam lagi, sebab persoalan mengatasi ketimpangan bukan sekadar membutuhkan solusi teknis, tapi juga landasan ideologis yang dapat mengurai masalah hingga ke akarnya.
Si Kaya Makin Kaya di Masa Pandemi, Kapitalisme yang Memfasilitasi
Ketimpangan dan kemiskinan tampaknya selalu menjadi problem yang dialami negeri dengan kekayaan melimpah ini. Bukannya membuat rakyat semakin makmur, nyatanya kekayaan alam Indonesia hanya menjadi bancakan para kapitalis rakus untuk senantiasa menumpuk hartanya. Sementara rakyat hanya mengais remah-remahnya saja, kesejahteraan seolah semakin jauh dari harapan. Pun, pada masa pandemi ini para kapitalis terlihat semakin mantap untuk mengokohkan aset mereka di tengah kebuntuan ekonomi yang dialami sebagian besar masyarakat.
Nannette Hechler-Fayd'herbe, Kepala Investasi lembaga Credit Suisse, mengungkapkan bahwa fenomena peningkatan orang kaya di masa pandemi ini dikarenakan adanya penurunan suku bunga yang diberlakukan oleh sejumlah bank-bank sentral di seluruh dunia. Ia juga mengatakan bahwa harga saham dan harga rumah selama pandemi semakin meningkat akibat adanya penurunan suku bunga dari bank sentral di tiap-tiap negara. Inilah yang menyebabkan sejumlah orang dapat mendulang ‘cuan’ semasa pandemi. Sebagian besar orang kaya yang memiliki beberapa aset saham atau rumah mengalami peningkatan kekayaan, sedangkan bagi mereka yang tak memiliki aset-aset tersebut terpaksa harus memeras keringat untuk melawan 'derita' ekonomi semasa pandemi. Maka, wajar jika selama pandemi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. (detik.com, 23/7/2021)
Peluang si kaya untuk tetap meraup keuntungan di masa pendemi ini memang tak bisa lepas dari sistem kapitalis yang jelas-jelas hanya berpihak kepada mereka, sang pemilik modal. Sistem ini memfasilitasi kerakusan pemilik modal untuk melipatgandakan kekayaan pribadinya. Dalam ekonomi kapitalis, ketika terjadi kelesuan ekonomi maka solusinya yaitu dengan memberikan stimulus ke pasar riil berupa pemberian insentif pajak pengusaha dan penurunan suku bunga. Hal ini jelas terlihat ketika suku bunga diturunkan, para kapitalis semakin bernafsu untuk menumpuk harta kekayaannya. Para investor pun semakin percaya diri untuk menggelontorkan dananya ke pasar saham. Sebab, adanya tren suku bunga rendah ini berpeluang menyebabkan perekonomian lebih stabil walaupun di tengah kelesuan ekonomi.
Selain itu, penurunan suku bunga ini juga memicu peningkatan daya beli masyarakat pada sektor properti, dimana ketika suku bungan turun otomatis tingkat cicilan pun ikut menyusut. Alhasil keuntungan fantastis tetap dikantongi para pemilik aset tersebut. Apalagi, ditambah dengan adanya insentif perpajakan bagi para korporat yang membuat mereka semakin berada ‘di atas angin’.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan yang dialami si miskin. Mereka justru menjadi pihak yang paling menderita. Banyaknya UMKM yang kolaps serta PHK massal yang terjadi, menjadikan penghasilan mereka nyaris berada di titik nadir. Di tengah pandemi mereka harus berjibaku mempertahankan diri dari virus dan kelaparan yang senantiasa menghantui. Ditambah lagi, kebijakan PPKM yang semakin menyusahkan mereka untuk sekadar mencari sesuap nasi. Tak pelak, angka kemiskinan pun semakin melonjak.
Faktanya, sistem kapitalisme mewujudkan kemiskinan massal pada individu, keluarga dan negara. Sistem ini pula yang mencetak kesenjangan menahun di negeri ini. Tengoklah bagaimana sistem ini begitu pilih kasih terhadap si kaya dan si miskin. Kebijakan untuk rakyat dipersulit, sedangkan regulasi untuk pemodal justru dipermudah. Di tengah pandemi yang semakin mengganas, pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan PPKM bukan lockdown. Padahal, adanya PPKM hanyalah kamuflase untuk mengalihkan tanggungjawabnya dari menanggung kebutuhan rakyat. Sementara, sanksi yang diberlakukan kepada yang melanggar PPKM sama seperti sanksi yang tertera dalam UU Karantina Kesehatan atau lockdown.
Mirisnya, pada saat yang sama pemerintah justru kembali mengemis utang ke negara lain hanya untuk menambah anggaran pada proyek infrastruktur, bukan untuk membiayai kebutuhan penanggulangan pandemi.
Maka, sudah sangat jelas bahwa sistem kapitalisme memang biang kerok dari semakin melebarnya ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Padahal, ketimpangan yang terlalu lebar justru akan melahirkan masalah baru di masyarakat, seperti maraknya kriminalitas dan problem sosial lainnya. Sungguh, sistem ini tak akan pernah membawa kesejahteraan bagi umat manusia.
Kapitalisme justru menjadi perantara dominasi kekayaan bagi sebagian orang saja. Dalam kapitalisme, yang kuat adalah yang punya harta. Sementara yang tak berpunya, dipersilakan untuk menepi saja.
Islam Mampu Mengatasi Kemiskinan
Masalah kemiskinan di negeri ini merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh peradaban rusak, yakni sistem kapitalisme. Maka, masalah kemiskinan tak akan bisa teratasi kecuali dengan menyingkirkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari aturan Ilahi yaitu sistem Islam. Islam dengan pengaturan ekonominya mampu mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata melalui penerapan hukum-hukum tentang kepemilikan, tasharruf kepemilikan, serta pendistribusian harta di antara masyarakat.
Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, sistem Islam akan menjalankan dua strategi, yakni ekonomi dan non-ekonomi. Strategi non-ekonomi dapat dilakukan dengan mengunakan strategi zakat, infak dan sadaqah. Meskipun potensi ziswak di negeri ini sangat besar, sayangnya belum memadai untuk mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu, harus dibarengi dengan strategi ekonomis, yaitu melalui jaminan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Adapun terkait pemenuhan kebutuhan pokok ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut ;
Pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Maka, negara akan mempermudah dan memfasilitasi laki-laki dalam bekerja, baik itu berupa pemberian modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja secara luas.
Kedua, jika individu itu tetap tidak mampu, maka beban itu akan beralih kepada kerabatnya atau ahli warisnya. Pelaksanaan sensus pun akan berjalan dengan disertai pendataan yang baik dan perangkat pemerintah yang amanah.
Ketiga, jika kerabat tidak ada atau tidak mampu, maka beban itu akan dialihkan ke Baitul Mal, yakni Khalifah. Nabi Saw bersabda,
“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. Ibnu Hibban)
Keempat, Islam memerintahkan kaum muslim membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong, maka kewajiban nafkah akan dialihkan kepada kaum muslim secara kolektif. Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (QS adz-Dzariyat [51]: 19)
Sedangkan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, maka negara memenuhinya secara langsung dengan menyediakannya kepada rakyat secara gratis atau dengan biaya yang terjangkau. Untuk menanggung semua kebutuhan tersebut, negara akan mengambilnya dari harta kepemilikan negara juga harta kepemilikan umum seperti hasil migas, tambang, hutan, sungai, danau, laut, dan sebagainya.
Demikianlah, Islam memberikan aturan yang rinci bagaimana mengatasi kemiskinan struktural dan kultural dengan cara memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga, kemiskinan dapat teratasi dan ketimpangan pun tak akan terjadi. Mekanisme seperti ini mustahil dapat dijumpai dalam sistem ekonomi kapitalis. Semua ini hanya akan terrealisasi tatkala Islam diterapkan dalam bingkai negara Khilafah.
Wallahu a’lam bish- shawwab[]
photo :Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]