Kasus Pinangki, Bukti Pemberantasan Korupsi Kian Tak Bertaji

"Putusan hakim yang memangkas vonis Pinangki telah menjadikan posisi negara tak lagi menganggap tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime)"


Oleh. Miliani Ahmad
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Keadilan makin sulit dicari. Hukum semakin tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Siapa berkuasa maka ia menentukan segalanya, sedangkan yang lemah selamanya akan menderita. Tak lagi ditemukan kepastian dalam hukum. Hukum seolah hanya milik segelintir pihak, sementara segelintir pihak lainnya kerap dijadikan korban ketidakadilan hukum. Mirisnya lagi, hukum kerap dipermainkan oleh penegak keadilan itu sendiri. Lalu, ke manakah masyarakat harus mencari keadilan jika penegak keadilan justru menjadi pelaku kezaliman?

Kasus putusan hakim terhadap Jaksa Pinangki semakin membuktikan kenyataan tersebut. Vonis yang awalnya dijatuhkan selama 10 tahun mendadak disunat menjadi 4 tahun. Padahal Pinangki sendiri telah banyak melakukan penyelewengan terhadap kewenangannya. Namun sayang, putusan hakim berkata lain. Pinangki justru mendapatkan keistimewaan dalam amar putusan.

Pada jejak rekamnya, setidaknya ada beberapa kejahatan yang dilakukan Pinangki selama menduduki posisi jaksa. Yaitu melakukan pencucian uang, menerima gratifikasi 500.000 USD dan melakukan pemufakatan jahat.

Atas putusan hakim tersebut Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara. ICW menganggap alasan putusan hakim yang menyunat vonis hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara sebagai sebuah hal yang mengada-ada. Menurut Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW, kejahatan yang dilakukan Pinangki jauh melampaui argumentasi majelis hakim. Dalam amar putusan, salah satu alasan mengapa hakim melakukan pemotongan vonis lebih disebabkan karena Pinangki berstatus seorang ibu dengan anak yang masih balita.

Setali tiga uang, Riawan Tjandra, selaku Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) juga ikut berkomentar. Ia menilai putusan hakim yang memangkas vonis Pinangki telah menjadikan posisi negara tak lagi menganggap tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Menurutnya, negara tak lagi menganggap korupsi sebagai tindakan yang membahayakan yang dapat memunculkan kerugian sistemik dan kerugian pada hak asasi masyarakat, tuturnya pada Kompas.com, (17/06/2021).

Dirinya juga memandang bahwa telah terjadi pergeseran tentang konsep serta pandangan mengenai karakteristik tipikor. Saat ini para penegak hukum cenderung melakukan tindakan permisif pada praktik korupsi yang selama ini terjadi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari Putusan MK No 25 tahun 2016 pada UU No 31 tahun 1999 (UU Tipikor). Ia pun menjelaskan, pergeseran pandangan ini semakin diperkuat dengan melorotnya peringkat Indonesia terhadap Indeks Persepsi Korupsi. Di tahun 2020, Indonesia menempati peringkat 102 dari 188 negara setelah di tahun sebelumnya berada pada peringkat 88. Kondisi ini jika dibiarkan akan menyebabkan negara ini menjadi negara paling korup, negara gagal, dan tidak lagi mendapat kepercayaan dalam relasi hubungan internasional.

Demokrasi Biang Keladi Budaya Korupsi

Diyakini atau tidak, sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah memberikan ruang yang besar bagi berkembangnya kasus korupsi. Dalam pelaksanaannya, demokrasi telah memerangkap siapa pun yang berasal dari partai mana pun untuk menggunakan uang sebagai jalan pintas dalam meraih kursi kekuasaan. Perahu politik harus dibayar. Belum lagi ongkos politik yang tak sedikit pada saat pemilihan.

Realitas ini semakin menguatkan bahwa demokrasi memang sistem yang berbiaya mahal. Tidak ada yang gratis. Semua memiliki kompensasi. Jika tidak dengan materi, bisa jadi kompensasinya berupa janji-janji dan bagi-bagi kekuasaan. Jika sudah demikian, kekuasaan akan dapat dengan mudah diselewengkan. Terbukalah pintu suap, manipulasi anggaran, gratifikasi dan penyelewengan lainnya. Kondisi rusak ini telah menyebabkan semua sistem dalam kekuasaan menjadi rapuh sebagai akibat adanya sistem politik uang kotor.
Kondisi ini makin diperparah dengan penguasaan oligarki yang menjadikan budaya korupsi seakan dinaungi. Kita dapat mengamati, kerap kali pelaku-pelaku korupsi sering diselamatkan dengan berbagai permufakatan. Jika pun akhirnya para tersangka harus masuk hotel prodeo, mereka pun bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas kemewahan. Puncaknya, kasus Pinangki semakin memperjelas keadaan tersebut.

Efeknya, di negeri ini telah banyak sekali mega skandal korupsi yang pernah terjadi. Kasus BLBI, dana Century, Jiwasraya, ASABRI merupakan contoh kasus yang menyebabkan kerugian besar pada negara. Bertriliun-triliun uang negara tak bisa kembali. Sementara para pengemplangnya tak mampu diadili, bahkan masih bisa hidup enak menikmati hasil penggelapannya.

Di sisi lain, slogan untuk membersihkan negeri ini dari kepungan korupsi nyatanya hanya sebatas retorika. Kasus penyelesaian korupsi kerapkali terhalang kepentingan elit penguasa. Pihak-pihak tertentu akan berupaya menahan supaya korupsi kelas kakap tidak pernah diangkat ke permukaan. Salah satu contohnya adalah penerbitan SP3 untuk kasus BLBI. SP3 ini telah memaksa KPK harus mengikhlaskan lepasnya Sjamsul Nursalim dan istrinya sebagai tersangka.

Selain itu, ada pula upaya untuk melakukan pelemahan terhadap tubuh KPK. Lembaga antirasuah tersebut makin terengah-engah pasca adanya revisi UU No. 30 tahun 2020 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU tersebut telah disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2019 yang mereduksi sejumlah kewenangan KPK. Termuktahir, pelemahan KPK makin bisa dibaca. Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diterapkan diinternal KPK beberapa waktu lalu, terendus sebagai salah satu upaya untuk menyingkirkan bebebrapa internal KPK. Internal tersebut merupakan orang-orang yang selama ini gigih melakukan OTT terhadap sejumlah pejabat yang disinyalir terlibat memakan uang negara.

Pertanyaannya, ke manakah rakyat hendak melabuhkan harapannya, jika demokrasi semakin tak bertaji memberantas korupsi?

Solusi Sahih Atasi Korupsi

“Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut cenderung korup absolut) Lord Acton (1833-1902).

Tentu pernyataan ini hanya bisa berlaku jika dinisbatkan pada kekuasaan dalam sistem demokrasi. Kontras dengan sistem Islam. Sistem Islam sepanjang sejarah sangat dikenal sebagai sebuah sistem yang rapat menutup celah terhadap tindakan korupsi. Apalagi korupsi di level kekuasaan. Sebab, kekuasaan dalam Islam sangat berkaitan erat dengan amanah dan pertanggungjawaban. Sehingga menuntut adanya kejujuran dan juga sifat amanah saat menjalankan kepemimpinan. Dalam praktiknya, Islam mampu memberikan solusi atasi korupsi baik secara sistemis dan ideologis. Berikut beberapa langkah yang dilakukan Islam dalam menyudahi budaya korupsi.

Pertama, mekanisme pemilihan penguasa maupun pejabat negara. Pada poin ini, Islam akan memberikan kekuasaan hanya kepada orang yang memiliki kredibilitas dan kompetensi. Bukan dari jalur koneksivitas ataupun politik nepotisme. Tidak ada lobi-lobi uang ataupun janji kekuasaan.

Semua penguasa dan pejabat yang dipilih haruslah memiliki akidah Islam. Mereka juga harus menjadikan Al-AQur’an dan as-Sunnah sebagai sumber rujukan dan tidak menjadikan politik culas sebagai asas kepemimpinannya.

Para penguasa akan dipilih dan diangkat berdasarkan pilihan umat. Proses pemilihannya pun berlangsung cepat. Para calon akan mengikuti verifikasi dan uji kompetensi yang dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi. Merekalah yang akan menentukan kelayakan seorang pemimpin. Jika memenuhi semua kriteria, maka terpilihlah salah seorang wakil umat untuk menjadi pemimpin. Proses selanjutnya adalah pemberian janji setia rakyat kepada pemimpinnya melalui baiat.

Mekanisme pemilihan yang simpel ini akan mampu menekan biaya politik. Biaya politik yang rendah akan semakin memungkinkan tertutupnya pintu-pintu penyelewengan lainnya sepertu suap dan korupsi. Meskipun demikian, dalam sistem negara, tetap saja akan ada seperangkat hukum dalam mengawasi tindak-tanduk penguasa agar tidak terjerumus dalam kecurangan. Contohnya, penguasa dilarang menerima harta ghulul.

Kedua, adanya politik ri’ayah. Dalam melaksanakan kepemimpinannya, seorang pemimpin, pejabat maupun pegawai negara hendaknya menyadari bahwa posisi mereka merupakan pelayan bagi urusan umat. Mereka bukanlah pihak yang bisa ditundukkan dengan intervensi sebagian pihak atau bahkan menjadi pelayan elit-elit tertentu. Oleh karena itu, untuk menjaga independensi mereka, maka negara wajib menjamin loyalitas mereka dengan memberikan gaji yang layak.

Gaji ini akan mampu mencukupi kebutuhan pokok mereka sekaligus memenuhi kebutuhan pelengkap lainnya. Di samping itu, negara pun wajib menjamin kemudahan akses bagi terpenuhinya kebutuhan mendasar mereka, yaitu dengan terjaminnya harga kebutuhan yang bisa dijangkau dan juga terpenuhinya kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Ketiga, sanksi yang tegas. Individu yang terpilih menjadi pejabat atau pegawai negara sebelum melaksanakan amanahnya akan dihitung terlebih dahulu harta kekayaannya. Ini dilakukan untuk mengukur sejauh mana jumlah harta yang dimiliki saat mereka selesai menjabat. Jika setelah menjabat kepemilikan hartanya makin berlipat dan menimbulkan keraguan, maka harta tersebut akan disita. Selanjutnya harta tersebut akan dimasukkan ke dalam Baitul Mal.

Selain itu, sanksi tegas pun akan ditegakkan. Pelaku kecurangan akan mendapatkan sanksi yang keras semisal dicambuk, diasingkan, distigmatisasi atau bahkan dihukum dengan hukuman mati. Sanksi-sanksi tegas ini akan mampu memberikan efek jera sekaligus meminimalisasi munculnya kasus-kasus serupa.

Demikianlah hal yang berkaitan dengan mekanisme Islam dalam upayanya menyelesaikan masalah korupsi. Dengan segala kesempurnaannya, Islam mampu menjadi jawaban atas banyaknya polemik yang dihadapi manusia. Islam tak hanya sekadar agama. Akan tetapi, Islam juga menjadi ideologi sahih yang dapat memandu manusia mendapatkan keadilan, keamanan dan juga kesejahteraan. Jika demikian sempurnanya, mengapa kita justru enggan hidup dalam naungannya?

Wallahua’lam bish-showwab[]


photo : pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Peran Strategis Ibu Membentuk Generasi Berkesadaran Politik
Next
The Angel of My Tear
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram