"Seharusnya pandemi ditangani dengan serius karena mati surinya pariwisata akibat pandemi.Namun yang terjadi Ekonomi menukik tajam hingga ke titik nadir, sementara nyawa manusia pun banyak yang tak bisa diselamatkan."
Oleh. Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)
NarasiPost.Com-Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Akibat terjangan pandemi selama nyaris dua tahun ini, puluhan ribu nyawa menjadi korban. Tak hanya manusia yang menjadi korban, bahkan nyaris di semua sektor turut terdampak pandemi Covid-19, salah satunya adalah sektor pariwisata.
Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi yang paling kolaps karena terjangan pandemi. Terlebih dengan diberlakukannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Untuk itu, pemerintah terus berupaya menghidupkan kembali sektor pariwisata dengan berbagai kebijakan di tengah upaya penanggulangan wabah.
Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kembali sektor pariwisata yakni dengan menggelontorkan dana hibah pariwisata sebesar Rp3,7 triliun. Tahun lalu, dana tersebut hanya menjangkau hotel dan restoran. Tahun ini hibah tersebut akan lebih luas jangkauannya, yakni menjangkau pelaku biro perjalanan wisata, tour guide, pramuwisata, tempat rekreasi, dan beberapa sentra wisata. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno. (liputan6.com, 5/7/2021)
Sebelumnya, pemerintah juga mewacanakan kebijakan Work from Bali (WFB) untuk menghidupkan kembali pariwisata Bali yang mati suri. Kebijakan ini diikuti oleh tujuh kementerian dan mengharuskan 25 persen ASN untuk bekerja dari Bali. Pulau Bali yang merupakan wajah pariwisata Indonesia memang telah kehilangan 90 persen pemasukan daerah karena pandemi. Sebagaimana diketahui, nyaris seratus persen perekonomian di Bali memang bergantung pada sektor pariwisata.
Komersialisasi Pariwisata sebagai Penyokong Ekonomi Negara
Perhatian besar pemerintah terhadap sektor pariwisata bukan tanpa alasan. Di tengah karut-marutnya kebijakan penguasa mengatasi wabah, pemerintah tetap saja menggelontorkan beragam insentif untuk menstimulus perputaran ekonomi. Sebagian besarnya diarahkan untuk menyokong sektor pariwisata. Pasalnya dalam sistem kapitalisme, pariwisata menjadi sumber pemasukan negara selain penerimaan dari pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.
Selama ini sumbangan terhadap devisa negara dari sektor pariwisata memang cukup besar, yakni mencapai 15 miliar dolar AS setiap tahunnya. Namun karena pandemi --yang mana pariwisata sangat bergantung pada kunjungan wisatawan-- devisa dari sektor ini turun drastis hingga sembilan puluh persen. Hal ini pun berpengaruh terhadap anggaran negara yang terus mengalami defisit.
Pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber pemasukan negara justru dijarah permanen oleh asing. Pemerintah pun seolah tak mampu mengambil dan mengelola SDA dari penjarah, sehingga harus menyasar sektor lain termasuk pariwisata. Mirisnya, untuk menambal devisa yang semakin kritis demi memulihkan ekonomi, pemerintah lagi-lagi mengambil jalan pintas dengan memperbesar utang.
Padahal, utang pemerintah sudah mencapai taraf menghkawatirkan. Hingga bulan April 2021 saja, uang luar negeri Indonesia sudah mencapai 418 miliar dollar AS atau setara dengan Rp5.977,4 triliun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar AS). Itu pun belum mencakup keseluruhan utang. Jika diakumulasikan seluruhnya, baik utang yang ditarik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. (kompas.com/27/6/2021)
Semestinya anggaran yang ada dimaksimalkan untuk penanganan pandemi Covid-19, bukan justru memprioritaskan sektor pariwisata. Apalagi, serbuan pandemi gelombang kedua benar-benar meruntuhkan kekuatan pemerintah dalam menangani wabah. Hal ini tentu saja semakin menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Pasalnya, korban meninggal sudah menyentuh angka di atas seribu orang. Belum lagi, rumah-rumah sakit penuh hingga banyak yang terpaksa ditolak karena tak memiliki tempat perawatan. Kelangkaan tabung oksigen yang memunculkan gejala panic buying juga menjadi fenomena miris. Bahkan lebih memprihatinkan lagi menyaksikan banyak pasien isolasi mandiri harus meninggal karena tak sempat mendapat perawatan.
Sayangnya, paradigma rezim kapitalis yang lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang nyawa, akhirnya tidak pernah tuntas mengurai akar masalah. Alih-alih ingin menyelamatkan manusia dan ekonomi, yang terjadi justru jauh panggang dari api. Ekonomi menukik tajam hingga ke titik nadir, sementara nyawa manusia pun banyak yang tak bisa diselamatkan.
Jika saja penguasa mampu memilih skala prioritas, niscaya manusia dan ekonomi akan mampu diselamatkan. Sebagaimana diketahui, penyebab mati surinya sektor pariwisata adalah pandemi. Seharusnya pandemi-lah yang diprioritaskan untuk dihilangkan. Jika pandemi dihilangkan, maka nyawa manusia bisa diselamatkan. Jika manusia sehat, sektor ekonomi pun bisa dipulihkan.
Namun sekali lagi, kapitalisme yang berasaskan sekularisme telah menjadikan prioritas peri'ayahan umat adalah materi. Terlebih jika pandemi memukul sektor ekonomi yang memang menjadi ruh kapitalisme, maka prioritas keselamatan adalah perekonomian, bukan kemaslahatan umat.
Pengelolaan Pariwisata dalam Islam
Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan ketinggian ideologinya, Islam mampu menjadi problem solving terhadap seluruh problematika manusia. Di bawah naungan Islam pula, lahir para penguasa amanah yang hanya menetapkan kebijakan berlandaskan syariat Islam. Termasuk bagaimana mengambil kebijakaan saat terjadi wabah. Terhadap pariwisata, Islam memiliki pandangan khas yang jauh berbeda dari sistem apa pun, baik sosialisme maupun kapitalisme. Pariwisata dalam pandangan Islam selalu dikaitkan dengan tujuan mulia, yakni untuk beribadah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keimanan seorang hamba kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah." (HR Abu Daud, 2486)
Kemudian tujuan mulia berikutnya dari pengelolaan pariwisata adalah untuk dakwah dan propaganda. Di antaranya dengan menyampaikan kebenaran Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Berwisata juga sebagai aktivitas tadabur alam, yakni mengagumi keindahan ciptaan Allah, baik berupa gunung, darat, lautan, dan sebagainya. Sehingga aktivitas ini akan semakin menguatkan keimanan kepada Allah Swt.
Allah Swt. berfirman: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS Ali Imran [3]: 3)
Satu hal yang pasti, pengelolaan pariwisata dalam Islam bukanlah untuk tujuan bisnis yang berorientasi pada profit sebagaimana saat ini. Pariwisata dalam Islam hanya dikelola berdasarkan hadlarah Islam. Lebih dari itu, sektor pariwisata bukanl termasuk sumber pemasukan negara. Sebab, negara sudah memiliki sumber keuangan yang cukup berlebih, yaitu dari hasil pengelolaan sumber daya alam, dari harta kepemilikan negara, dan zakat.
Pengelolaan sumber-sumber pemasukan negara secara mandiri tanpa campur tangan asing dan aseng, meniscayakan negara mampu memiliki sistem ekonomi yang tangguh. Karena itu, jika terjadi pandemi maka negara akan fokus memprioritaskan keselamatan rakyat. Prioritas pengurusan seperti ini tidak mungkin ditemui dalam sistem kapitalisme yang menjadikan prioritas keselamatan adalah ekonomi.
Wallahu 'alam bishshawab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]