"Perlunya penanganan serius atas game over agar terhindar dari kepungan kerusakan mental hingga fisik, kriminalitas bahkan kematian"
Oleh. Indi Lestari
NarasiPost.Com-Kecanggihan teknologi ternyata tidak dapat menjadikan generasi cerdas dalam membangun peradaban. Negara yang tidak memiliki visi, misi, dan regulasi yang jelas dalam menghadapi canggihnya teknologi justru berakhir pada rusaknya generasi. Ketika kita berbicara produktivitas apa yang dilakukan generasi muda saat ini, mereka disibukkan dengan bermain media online.
Di tahun 2020, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa sebanyak 16.5% pengguna game online di Indonesia meningkat, itu setara dengan 50.8 juta pengguna.
Aktivitas yang terus-menerus dilakukan membentuk habit yang membuatnya candu, ketagihan, kketergantunga. Dan yang menjadikan kecanduan tersebut kebanyakan audio visualnya mempertontonkan kekerasan dan pornografi. Ketika candu itu sudah menjalar tak sedikit yang menjadikan pecandu bertindak implusif.
Seperti seorang perempuan asal Pontianak yang membobol uang di bank sampai Rp1,8 M untuk melengkapi peralatan yang diperlukan untuk bermain Mobile Legend. Di Mesir remaja (16 tahun) dengan tega membunuh gurunya karena menirukan game PUBG. Tiga pemuda di Parepare sampai diamankan pihak polisi karena mencuri 2 tabung gas elpiji untuk membeli chip game online. Begitu besar dampak dari permainan game online.
Bahkan game yang tanpa adanya audio visual kekerasan saja sudah berbahaya, menjadikan pecandunya lalai sampai melupakan aktivitasnya, lupa makan, lupa tidur, lupa salat sampai tidak peduli dengan sekitar. Karena pecandu mengalami penurunan fokus saat mengerjakan sesuatu, sehingga hal itu akan berdampak pada prestasi dan produktivitas, emosi yang tidak stabil bahkan menjadikan pecandu antisosial. Dan apa yang akan terjadi jika pecandu adalah para pelajar?
Kepungan kerusakan mental hingga fisik, kriminalitas bahkan sampai berujung kematian tidak bisa dihindari.
Negara adidaya Amerika dan Korsel bahkan sudah mendirikan tempat rehabilitasi bagi pecandu game, mengerikan. Tingkat kecanduan game online makin menjadi, apalagi saat semua serba daring, anak-anak mudah untuk mengakses game. Tentu ini menimbulkan keresahan, tapi hanya sebagian masyarakat dan sebagian kalangan saja yang sudah menyadari bahaya dari game online ini. Contohnya ketika Bupati Mukomuko, Bengkulu, mengajukan permohonan pada Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir sejumlah game online seperti Free Fire, Mobile Legend, PUBG, ternyata hanya mendapat respon yang biasa saja. Kominfo merespon akan mempertimbangkan atas ajuan pemblokiran game online tersebut dengan pertimbangan yang harus disesuaikan dengan regulasi yang berlaku, karena itu akan berdampak pada pengguna di Indonesia.
Jika kita cermati, saat respon yang diberikan adalah akan dipertimbangkan, maka ada dua kemungkinan antara diterima atau ditolak, dan ketika harus menyesuaikan dengan regulasi saat ini, maka bisa dipastikan hasilnya kemungkinan nol. Karena ada E-sports yang telah diresmikan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dengan dijadikannya game online sebagai cabang olahraga prestasi di Indonesia. Belum lagi turnamen-turnamen game yang sudah pernah menjadi salah satu program televisi yang digandrungi. Sehingga sangat jelas dukungan-dukungan yang telah diberikan, apalagi game yang diajukan untuk di blokir adalah game terpopuler di Indonesia. Sudah pasti menghasilkan pajak yang tidak sedikit dan penguasa tidak akan membiarkan begitu saja potensi pajak hilang. Dan tentu korporasi juga tidak akan berdiam diri ketika potensi benefitnya berkurang, terlebih Indonesia menjadi pengguna game online terbanyak ke dua di dunia.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa negeri ini masih dijajah oleh negara kapitalis, sekalipun bukan secara fisik. Tapi secara ekonomi tampak jelas, sehingga bukan hal baru ketika korporasi yang memegang kendali dalam setiap kebijakan. Tentu korporasi hanya mementingkan keuntungannya semata, tidak peduli akan hal lain.
Apa yang tersisa untuk generasi negeri ini? ketika orang tua gagap dalam mendidik anak-anaknya, bahkan abai dalam pengasuhan, pendidikan dengan sistem sekuler dan negara yang berada di pihak korporasi, negeri ini akan kehilangan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang berpotensi memajukan bangsa. Karena sumbangan generasi dengan prestasi dan produktivitasnya direnggut dengan aktivitas yang mudharat, kebebasan beraktivitas hingga bablas.
Jika penguasa terus berdiam diri maka game over lah harapan untuk lahirnya generasi cemerlang. Hal ini akan jauh berbeda jika negara memiliki visi, misi, dan regulasi yang jelas. Negara memiliki kewajiban membentuk dan menjaga pendidikan anak, maka negara akan menyediakan sistem pendidikan yang dapat membentuk kepribadian anak. Selain itu, negara juga dapat mengontrol laju perkembangan teknologi. Dengan begitu, pemikiran dan perilaku anak-anak akan terjaga, mereka lebih peka juga sigap dengan kondisi sekitar bahkan akan lebih siap dalam menghadapi kehidupan. Semua ini hanya bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam.[]
photo : google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]