Tingginya kasus Covid-19 di Indonesia membuka bobroknya sistem kapitalisme sekuler dimana pemerintah enggan bertanggung jawab atas keselamatan hidup rakyat karena berpatokan pada untung ruginya dalam ekonomi.
Oleh. Qisti Pristiwani
(Mahasiswa UMN AW Medan)
NarasiPost.Com-Kasus Covid-19 di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Irma Hidayana selaku inisiator Lapor Covid-19 mengungkapkan bahwa 206 nakes telah gugur akibat Covid-19 kurang lebih dalam sebulan ini. Sehingga bila ditotalkan selama pandemi sekitar 1,5 tahun di negeri ini, sudah 1.371 nakes yang wafat. Tak hanya nakes, Lapor Covid mencatat ada 675 warga juga wafat saat melakukan isolasi mandiri. (Suara.com, 18 Juli 2021)
Angka ini sangat mencengangkan. Meski para nakes telah divaksin dengan dosis lengkap 2x, tetap saja tak menjamin keselamatan para pahlawan garda terdepan ini. Serangan Covid-19 tak terbendung dengan hanya mengandalkan vaksin. Sementara, hal-hal penunjang lainnya tak begitu dioptimalkan pengadaannya. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, menyebut saat ini Indonesia telah mengalami "fungsional kolaps sistem pelayanan kesehatan". Ditunjukkan dengan penumpukan pasien di IGD, keterbatasan tempat tidur, sampai harus membuka tenda-tenda darurat, keterbatasan oksigen, obat-obatan hingga alat kesehatan. Salah satu akibatnya, menurut IDI, tenaga kesehatan kini tak hanya menanggung kelelahan bertugas, tapi juga berpotensi mengalami burnout yang "menyebabkan imunitas menurun setelah divaksinasi" (19 Juli 2021).
Sungguh malang nasib masyarakat di negeri ini. Di tengah massifnya ancaman serangan Covid-19, negara tak kunjung serius menyurahkan segala strategi untuk menghentikan laju penyebaran virus. Mereka senantiasa menggaungkan untuk bersama-sama melawan Covid-19, namun mereka tak merealisasikan ucapan tersebut dengan tindakan yang selaras.
Penanganan Covid-19 dijawab dengan jargon pemulihan ekonomi. Sehingga, pemerintah berpatokan pada untung-rugi belaka dalam tiap-tiap kebijakan yang dibuat. Walhasil, kebijakan yang dijalankan tampak setengah hati dan tak jua menjadi solusi. Beginilah kejamnya sistem kapitalis-sekuler yang tak menjamin keselamatan nyawa manusia.
Pengadaan faskes dan alkes pun kerap kali ‘dikorting’ memperhitungkan keuntungan yang didapat. Dan tak jarang, kedua hal tersebut menjadi ajang bisnis yang empuk bagi para ‘dedengkot’ kapitalis. Keuntungan demi keuntungan senantiasa menghiasi pemikiran mereka. Tak peduli bagaimana kondisi para nakes maupun masyarakat yang menahan rasa sakit di ruang isolasi. Bisa dikatakan inilah yang menjadi sebab utama dari keberadaan faskes dan alkes yang kolaps tersebut.
Faskes dan alkes yang kurang memadai ini membuat adanya penyeleksian pelayanan terhadap masyarakat. Rumah sakit mengutamakan pasien yang terinfeksi virus dengan gejala yang berat untuk menempati ruang IGD. Sementara pasien dengan gejala yang ringan, dianjurkan untuk isoman di rumah masing-masing. Namun sayangnya, isoman ini tak diiringi dengan pemahaman dan perangkat yang memadai, sehingga masyarakat melakukan isoman tanpa pengontrolan dan pengawasan. Akibatnya, mereka pun meninggal dalam masa isoman tersebut.
Dari hal di atas tampak bahwa penguasa tak memberi perhatian yang penuh terhadap rakyatnya. Penguasa setengah hati mendampingi rakyatnya berperang melawan Covid-19. Mereka memang mengimbau masyarakat agar mematuhi prokes, PPKM darurat, melakukan vaksinasi dan seterusnya. Namun, tak berani menerapkan kebijakan lockdown total sebagai solusi jitu untuk mengakhiri wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat. Padahal, solusi ini telah terbukti efektif membendung laju penyebaran virus di beberapa negara.
Keengganan penguasa menerapkan solusi ini mengundang sederetan permasalahan lainnya. Seperti banyaknya nakes yang mengalami syndrome burnout akibat beban kerja yang meningkat, sehingga korban terus berjatuhan, baik dari nakes sendiri maupun masyarakat.
Keadaan ini sangat berbeda jika kita membuka kembali sejarah kejayaan Daulah Islamiyyah yang menerapkan sistem kehidupan Islam. Islam sangatlah menghargai jiwa manusia. Oleh karena itu, Islam mewajibkan para Khalifah menggunakan kekuasannya untuk menggerakkan negara agar hadir mengayomi masyarakat, terlebih lagi memenuhi kebutuhan primer masyarakat. Khalifah akan senantiasa berpikir untuk memprioritaskan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan penduduk. Sebab, ia memahami bahwa apa yang dipimpinnya akan dimintai pertanggungjawaban di pengadilan Allah kelak. Maka tak heran, dengan berbekal keimanan kepada Allah, para Khalifah senantiasa menempuh solusi yang solutif agar penduduk segera terbebas dari permasalahan, seperti pada masa khalifah Umar bin al Khattab di kala negeri kaum muslimin diserang wabah Tha’uun. Khalifah tak ragu mengikuti strategi Rasulullah Saw untuk mengambil kebijakan karantina wilayah agar dapat membendung laju penyebaran wabah. Di samping itu, Khalifah memisahkan orang yang sehat dengan yang sakit agar tak tertular. Dan para pasien diisolasi secara khusus untuk diobati. Tentu saja segala kebutuhan pasien difasilitasi seluruhnya, baik obat-obatan maupun alat kesehatannya. Tak hanya itu, Khalifah juga menghadirkan para ulama agar memberikan ceramah kepada seluruh masyarakat dalam rangka muhasabah, mengingatkan dan memberi semangat kepada masyarakat agar sabar dan ikhlas menghadapi kondisi tersebut. Maka wajar, masyarakat dan pemimpin seirama dalam mengakhiri wabah.
Dengan demikian, tak ditemui istilah ‘fungsional kolaps sistem pelayanan kesehatan’ dalam daulah. Sebab, negara telah mempersiapkan segala ketersediaan pelayanan kesehatan sebelum pada akhirnya ditimpa keadaan yang tak diinginkan. Hal tersebut ditunjang juga dengan stabilitas perekonomian daulah yang baik. Wallahua’lam bishhowab.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]