Rasulullah Saw. telah bersabda, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan sesungguhnya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR.Muslim)
Oleh. Ummu Zhafira
(Pegiat literasi)
NarasiPost.Com-“Ya Allah, siapa yang diberi amanah untuk mengurus urusan umatku sekecil apa pun, lalu memberatkan mereka, maka beratkanlah dia. Dan siapa saja yang diberi amanah mengurus urusan umatku sekecil apa pun, kemudian dia bersikap penuh kasih sayang kepada mereka, maka kasihilah dia.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Sebuah do’a yang dilisankan oleh Rasulullah Saw. ini mestinya cukup untuk membuat para penguasa negeri berpikir ulang dalam mengurus urusan rakyatnya. Ketidakjelasan kebijakan menangani pandemi menjadi bukti kegagalan penguasa dalam mengemban amanah.
Hari ini, negeri tercinta tengah menjadi sorotan dunia akibat pandemi yang semakin menggila. Dikutip dari CnbcIndonesia.com (14 Juli 2021), penambahan kasus yang terus mencetak rekor memancing media-media internasional menyoroti penanganan pandemi Covid-19 di tanah air. Reuters, Associated Press, Korea Central TV adalah beberapa media yang melakukannya. Media-media tersebut menyoroti bagaimana lonjakan kasus yang luar biasa, pasokan oksigen dan penumpukan pasien di rumah sakit.
Bahkan mengerikannya, Pakar Epidemiologi Universitas Griffith, Dicky Budiman, menganggap bahwa Indonesia sejatinya sudah bukan lagi episentrum Covid-19 di kawasan Asia, melainkan di seluruh dunia. Hal ini ia nyatakan setelah kasus Covid-19 menembus angka 54 ribu per Rabu, 14 Juli 2021. Angka kematian per satu juta penduduk, penambahannya juga tertinggi di dunia.
Budiman pun memprediksi kemungkinan terburuk masih akan terjadi beberapa waktu ke depan. Ia menyarankan agar PPKM darurat diperpanjang untuk menghindari skenario terburuk, yakni kasus puncak tidak bergeser di akhir Juli. Bahkan jumlah infeksi bisa terjadi lebih dari 100 ribu. (CnbcIndonesia.com, 15/07/2021)
Sejak awal pandemi muncul, pemangku kebijakan negeri ini seolah mengabaikannya. Menganggapnya remeh seakan-akan Indonesia tak akan terdampak oleh wabah yang berasal dari Wuhan, Cina tersebut. Konyolnya beberapa dari mereka membuat lelucon menanggapi persoalan yang pada waktu itu sudah dinyatakan sebagai pandemi. Kegagapan menangani pandemi ini terlihat dengan inkonsistensi kebijakan yang diberlakukan. Penggantian istilah dari PSBB, PPKM Mikro, dan PPKM Darurat nyatanya tak mampu menekan laju kenaikan angka kasus infeksi. Semakin hari, justru semakin tak terkendali. PPKM diberlakukan, tetapi sektor pariwisata dibuka lebar-lebar. Pelanggar prokes dari kaum papa ditegur penuh kekerasan, tapi kaum elit bebas menjalankan prosesi pernikahan dengan berbagai kemegahan. PPKM diberlakukan di dalam negeri, tapi bandara internasional tetap dibuka tanpa peduli. Dimana letak konsistensi?
Para penguasa juga seolah menutup mata dan telinga dari berbagai saran yang dilontarkan para ahli. Lockdown atau karantina wilayah yang sejak awal disuarakan tak sekalipun dihiraukan. Persoalan ekonomi yang kemudian menjadi alasan. Akhirnya nyawa manusia menjadi taruhan.
Kepemimpinan yang dilahirkan dari rahim kapitalisme tak memiliki kapabilitas dalam memimpin. Penguasa boneka yang lemah ini seringkali mengambil kebijakan dengan perhitungan untung dan rugi. Kepentingan politik pribadi maupun golongan selalu menjadi asas dalam memengaruhinya mengemudi roda pemerintahan. Meskipun kondisi yang dihadapi sudah memasuki masa kritis. Miris!
Inkonsistensi kebijakan juga menjadi bukti bahwa penguasa tak memiliki konsep yang jelas dalam mengurus persoalan umat. Ketika badai pandemi menyapu seluruh pelosok negeri, penguasa kebingungan bagaimana harus mengatasi. Fatalnya, mereka tak mau mendengar apa kata ahli. Entahlah kapan pandemi ini bisa disudahi.
Kepemimpinan dalam paradigma Islam merupakan sebuah amanah yang mestinya dijaga dan ditunaikan dengan sebaik mungkin.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan sesungguhnya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR.Muslim)
Dengan demikian, pemimpin dalam sistem Islam akan berhati-hati ketika menjalankan amanah. Ia tahu betul konsekuensi dari amanah yang diemban. Jika ia baik dalam menjalankannya akan ada surga yang menanti. Akan tetapi ketika kezaliman dan kebodohan dalam mengurusi, maka kehinaan dan penyesalan di akhirat nanti. Pemimpin yang memahami kewajibannya mengurus urusan umat akan mencintai dan mendoakan rakyatnya. Ia akan mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingn lainnya. Tentu saja kepentingan itu harus sesuai dengan koridor syariat. Sehingga umat pun akan senantiasa cinta dan mengiringinya dengan doa dan ketaatan.
Kepempinan yang seperti ini meniscayakan dua faktor yang akan menentukan keberhasilannya. Pertama, adalah faktor individunya. Kedua, adalah sistemnya. Seorang pemimpin dalam Islam harus memenuhi kriteria pria, muslim, adil, merdeka, berakal, baligh dan mampu. Selain itu, pemimpin juga mesti memiliki kriteria pemimpin yang ideal.
Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, ada tiga kriteria kepemimpinan. Ketiganya adalah kepemimpinan inovatif, kepemimpinan inspiratif, dan kepemimpinan cerdas. Dengan berbagai kriteria di atas memungkinkan para penguasa menjalankan amanah kepemimpinannya dengan baik. Ia menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan perintah Allah atas dorongan akidah. Ia juga memastikan kebijakannya tidak keluar dari hukum Allah yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia akan bersungguh-sungguh mencari solusi atas segala persoalan yang membelit negerinya. Berbagai upaya akan dilakukan demi menyelesaikan segala persoalan, semisal pandemi.
Selain itu, Islam juga telah jelas konsepnya bagaimana mengatasi wabah. Sejarah telah membuktikan bagaimana peradaban Islam mampu menyelesaikan bencana wabah dengan solusi syariah tanpa mengabaikan konsep sains.
Karantina wilayah menjadi salah satu jurus jitu mencegah penyebaran wabah yang pernah dicontohkan generasi terdahulu. Ilmu kedokteran, sains dan teknologi juga akan dikembangkan untuk kemaslahatan umat. Pemimpin akan senantiasa bekerjasama dengan para ahli di bidangnya untuk menyelamatkan umat dari wabah. Keridaan Allah menjadi tujuan utama dari setiap kebijakan yang dijalankan. Maka sebaik-baik pelayanan akan diberikan karena dia memahami ada surga dan neraka yang menanti.
Model kepemimpinan seperti inilah yang kita butuhkan untuk menangani pandemi dan persoalan umat lainnya di seluruh penjuru negeri. Ia tentu tidak akan lahir dari kebusukan sistem sekuler-kapitalis. Melainkan dia akan lahir dari sistem yang Allah turunkan demi kebaikan penduduk bumi. Sistem itu tidak lain adalah Islam. Maka, sudah sepantasnya perjuangan menegakkan sistem Islam menjadi fokus umat muslim hari ini.
Wallahu’alam bishowab. []
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]