“Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani)
Oleh. Ai Siti Nuraeni
(Pagiat Literasi)
NarasiPost.Com-"Tidak boleh ada rakyat sampai kelaparan". Narasi ini begitu santer disuarakan oleh pemerintah di tengah kesulitan masyarakat di masa pandemi ini, terlebih saat PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang dilakukan sejak hari Sabtu 3 Juli 2021 kemarin.
Dikutip dari merdeka.com tanggal 11 Juli 2021, disebutkan bahwa Luhut Binsar Panjaitan selaku Koordinator Pelaksana PPKM Jawa-Bali memerintahkan jajaran pegawainya untuk memastikan stok beras aman dan supaya vaksin, obat dan bantuan sosial (bansos) disalurkan secara micro targeted dalam waktu yang cepat. Sejalan dengan hal itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini memiliki tiga program bantuan sosial, yakni PKH (Program Keluarga Harapan), BPNT (Bantuan Pangan NonTunai), BST (Bantuan Sosial Tunai) serta Kartu Sembako. Tak berhenti di sana, Kementerian Sosial juga telah membangun dapur umum di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bogor, Surakarta, Sleman dan Denpasar sejak PPKM dijalankan.
Segala upaya pemerintah dalam menanggulangi kelaparan pada masa pandemi ini jelas harus kita apresiasi. Setidaknya masyarakat bisa melihat bahwa pemerintah bukan hanya membuat kebijakan saja, namun juga bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan kebijakan tersebut. Termasuk saat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan akibat PPKM pemerintah hadir membantu mencukupinya. Karena pada masa PPKM rakyat tidak bisa bebas beraktivitas keluar rumah untuk mencari nafkah sendiri.
Namun sayangnya, usaha yang dilakukan pemerintah ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dari rakyat miskin yang jumlahnya mencapai 27 juta orang lebih, apalagi jika ditambah dengan rakyat yang memiliki perekonomian pas-pasan yang tidak bisa bekerja saat PPKM. Contohnya, bantuan sejumlah Rp300.000,- atau Rp600.000,- yang diberikan saat pandemi pada tiap satu keluarga. Bayangkan jika keluarga tersebut memiliki jumlah anggota keluarga lima orang, maka uang tersebut tidak akan mencukupi untuk kebutuhan makan selama sebulan, apalagi untuk biaya kesehatan dan pendidikan.
Sudahlah jumlah bantuan itu tidak mencukupi, rakyat juga dibuat kecewa dengan adanya kasus korupsi dana bansos yang dilakukan oleh menteri sosial. Adapun dapur umum yang didirikan juga hanya bisa memproduksi 10.000-15.000 kotak makanan saja perhari dan itu hanya terbatas pada tujuh daerah saja, maka mana mungkin bisa menjangkau setiap rakyat kelaparan yang ada di seluruh wilayah.
Rakyat bukannya tidak berterima kasih atas bantuan yang diberikan ini, tapi jika diingat kembali uang yang dimiliki negara pada hakikatnya adalah milik rakyat, maka sudah sepantasnya digunakan untuk keperluan rakyat.
Selain masalah keterbatasan jumlah bantuan, rakyat juga dibenturkan pada rumitnya administrasi yang harus diurus agar mendapatkan bantuan itu. Jangankan administrasi lengkap, untuk sekadar mendapatkan KTP saja rakyat begitu kesulitan dan harus menunggu dalam waktu yang lama. Akses pembuatan surat-surat kependudukan yang ada di pusat kota juga menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang bertempat tinggal di pelosok daerah, mereka harus mempersiapkan waktu dari subuh hari serta biaya akomodasi saat mengurus surat-surat ini.
Oleh karena itu, hal yang dibutuhkan rakyat bukan sekadar narasi yang menarik atau tindakan setengah hati yang hanya menjadi pencitraan saja. Rakyat membutuhkan tindakan nyata yang dipikirkan dan dijalankan dengan sepenuh hati oleh pemimpin yang menyadari tanggung jawabnya untuk mengurus kepentingan rakyat. Namun, pemimpin harapan umat yang penuh tanggung jawab maksimal tak akan dijumpai dalam sistem yang menjauhkan aturan syariat seperti saat ini, yakni sistem kapitalisme sekuler.
Pemimpin dengan aturan sekuler yang diadopsinya tidak menjalankan aturan sesuai kehendak Sang Pencipta, tapi berdasarkan kehendak pengusaha. Karena setiap kebijakan yang dikeluarkan senantiasa akan mempertimbangkan untung rugi serta disesuaikan dengan kepentingan dirinya dan para pendukungnya dari kalangan kapital. Maka tak jarang rakyatlah yang menjadi korban.
Dalam Islam pemimpin akan menganggap kekuasaan yang mereka miliki sebagai amanah, bukan aji mumpung agar bisa membuat kebijakan yang menguntungkan diri mereka dan pendukungnya. Efek dari hal tersebut, setiap kebijakan akan dipikirkan dengan matang karena mereka menyadari bahwa setiap kebijakan, perkataan, dan tingkah laku yang mereka tunjukkan saat memimpin akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Termasuk saat penduduk di dalam negeri yang dipimpinnya terjadi wabah, dia akan mengerahkan segala daya upaya untuk menghambat bahkan menghentikan laju penyebarannya, mulai dari memberlakukan lockdown pada daerah yang terkena wabah, memisahkan rakyat yang sehat dan sakit, membiayai penelitian untuk mencari obat dari wabah yang terjadi, memberikan pelayanan kesehatan gratis pada rakyat yang sakit, dan mencukupi kebutuhan rakyat dalam area lockdown.
Dengan demikian, wabah akan cepat ditangani, rakyat di luar wilayah wabah bisa tetap beraktivitas, ekonomi cepat pulih dan angka kematian serta kelaparan akan bisa ditekan. Sejarah juga telah menunjukkan bagaimana pemimpin dalam Islam mampu mengatasi krisis yang berat. Selain karena pertolongan dari Allah Swt, keberhasilan ini juga disebabkan oleh rasa tanggung jawab yang benar-benar dipenuhi oleh mereka contohnya ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Pada masa krisis, sekitar 4.000 orang Badui datang ke Madinah untuk mendapatkan bantuan dari khalifah, jumlah itu bertambah hingga mencapai 60.000 orang. Umar lalu memerintahkan para pejabatnya untuk membuat dapur umum untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, tungku yang digunakan untuk memasak itu pun beroperasi bahkan sebelum subuh hari.
Setelah masa krisis itu berakhir, Umar lalu memerintahkan pejabatnya untuk mengantar para pencari bantuan itu ke tempat tinggal mereka sembari membekali mereka dengan makanan dan pakaian yang cukup. Dari sini kita bisa melihat, bantuan pada masa kepemimpinan Islam itu diberikan pada siapa pun yang membutuhkan. Selain itu, sistem ekonomi dalam Islam adalah sistem yang kuat karena pos pemasukannya bukan sebatas dari pajak, melainkan dari pemanfaatan sumber daya alam, fa'i, kharaj, jizyah, infak dan shadaqah serta dharibah. Dengan ini, negara akan mampu memberikan bantuan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, bukan hanya kebutuhan pangan, melainkan juga pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Dalam Islam, kaum muslim juga diajarkan untuk peduli pada sesama, maka seorang muslim tidak akan membiarkan saudaranya kelaparan di saat dia merasa kenyang. Karena Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani)
Sungguh indah kehidupan yang dibimbing oleh syariat, ini baru dari aspek ekonominya saja. Bagaimana jika setiap aspek kehidupan kita diatur oleh syariat? Tentu Islam sebagai rahmatan lil 'aalamiin itu benar- benar bisa kita rasakan. Maka sudah sewajarnya kita libatkan diri dalam dakwah untuk menerapkan Islam secara kafah.
WaLlaahu a'lam bish shawaab.[]
photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]