"Melejitnya hutang Indonesia yang mencapai angka Rp6.554,56 triliun menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis inflasi dan penurunan nilai mata uang. Negarapun menjadi boneka dalam kebijakan politiknya oleh negara pemberi utang."
Oleh: Dia Dwi Arista
NarasiPost.Com-Utang Indonesia terus bertambah, apalagi sejak pandemi berlangsung, utang melonjak tak terkendali. Tercatat utang Indonesia pada akhir Juni 2021 sudah mencapai angka Rp6.554,56 triliun. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pengamat ekonomi.
Sebagaimana yang diungkapkan ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), Agung Firman Sampurna, dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6/21), jika utang dan bunga pemerintah Indonesia sudah melampaui pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) dan penerimaan negara. Sehingga menimbulkan kekhawatiran jika pemerintah akan menghadapi penurunan kemampuan dalam membayar utang dan bunganya. (ekonomi.bisnis.com, 22/6/21).
Utang yang menumpuk, ketika terjadi gagal bayar mempunyai dampak yang signifikan terhadap rakyat dan negara ini. Krisis akibat turunnya nilai mata uang tidak bisa dihindari. Bahkan negara ini terancam digadai dan dijarah jika pemerintah masih belum jera menambah utang, lalu gagal bayar.
Rakyat yang akan menerima dampak langsung dari akibat gagal bayar utang. Konsekuensi yang akan dihadapi rakyat adalah kemungkinan naiknya pajak untuk menggenjot pendapatan negara dalam menutupi pembayaran utang luar negeri.
Selain itu, inflasi berujung krisis tidak akan bisa dihindari. Berkaca pada sejarah penanganan krisis ala kapitalis di Indonesia, kemungkinan besar yang bisa dilakukan pemerintah adalah mencetak uang baru dan jual aset negara yang sudah tembus Rp10.000 triliun. Mengingat ada opsi untuk jual aset negara ketika terpepet bayar utang. Meski Dirjen Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata, mengaku tidak akan pernah menjual aset negara untuk bayar utang.
Pencetakan uang baru juga pernah dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, melalui Bank Indonesia menyebabkan inflasi besar-besaran hingga 600%. Yang kemudian diikuti krisis tahun 1960. Akhirnya redenominasi tak bisa dihindari. Krisis ini akan berdampak langsung pada masyarakat, akibatnya kemiskinan melonjak tajam, berakibat pada penjarahan dan kerusuhan.
Utang yang beredar di sistem kapitalis adalah utang berbasis ribawi. Utang ini akan semakin besar setiap jatuh tempo, belum lagi adanya kenaikan nilai mata uang dolar, juga akan turut memperbesar jumlah utang negara. Parahnya dalam sistem kapitalis, utang dijadikan alat untuk mengendalikan kebijakan negara. Dengan jeratan utang, negara maju dengan mudah bisa mendikte kebijakan-kebijakan politik negara yang terlilit utang. Hal ini sangat berbahaya bagi kedaulatan sebuah negara.
Karena utang adalah salah satu jalan untuk menguasai negara lain, tak heran penguasa dunia membuat lembaga-lembaga, organisasi dan kerjasama sebagai alat dan kepanjangan tangan untuk menjerat negara lain berada dalam kekuasaan mereka. Lembaga keuangan dunia bak lembaga rentenir internasional, menawarkan berbagai pinjaman agar negara tujuan menjadi debitur, dan masuk kedalam jerat utang berbasis riba.
Karena jati diri kapitalis adalah asas manfaat, maka pastilah memberi utang akan ditarik manfaat sebesar-besarnya. Tak hanya bunga yang bisa didapat, namun ketundukan dan kekuasaan juga akan diraih. Tujuannya adalah melanggengkan ideologi kapitalis agar terus diemban oleh negara-negara debitur. Dengan begitu, negara pengusung ideologi ini bisa memperpanjang usia ideologi yang sudah tampak kerusakannya ini.
Demikianlah bahaya utang ribawi yang hari ini menjadi solusi bagi negara-negara yang sudah merasakan nikmatnya menarik tunai di lembaga keuangan dunia. Mereka terlena dengan kemudahan mendapat dana, tanpa mau susah-susah mengelola sumber daya.
Hal ini berbeda dengan Khilafah, dalam sejarah kepemimpinan Khilafah selama 13 abad, tak pernah dijumpai negara merasakan gagal bayar utang ribawi. Karena memang Khilafah tidak menjadikan utang luar negeri sebagai solusi permasalahan dalam negeri.
Dalam Khilafah terdapat Baitul Mal yang mengatur segala pemasukan dan pengeluaran negara dari berbagai pos. Dalam masalah pembiayaan untuk kepentingan masyarakat, Baitul Mal akan mengambil dari tiga pos, yaitu dari harta fai’, harta kepemilikan umum, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, dan zakat yang meliputi zakat mal, zakat hewan ternak, zakat tanaman dan zakat perdagangan. Ketiga pos ini akan diambil untuk kepentingan masyarakat umum.
Namun, dalam sebuah negara tak jarang terdapat kekurangan harta untuk pembiayaan yang diperuntukkan untuk rakyat. Ketika hal semacam ini terjadi, maka akan diberlakukan keadaan khusus dengan ditariknya dharibah atau pajak. Dharibah ini sifatnya kondisional, akan ditarik jika memang kas Baitul Mal dalam kondisi kosong, sedangkan kebutuhan sangat mendesak.
Dharibah juga tidak dibebankan kepada masyarakat umum, namun ia terbatas pada rakyat yang mempunyai kelebihan harta, kaya. Dharibah akan dihentikan jika kondisi sudah stabil, dan negara dapat memenuhi pengeluarannya kembali. Ini membuktikan jika pajak dalam sistem ekonomi Islam tidak menjadi pemasukan utama sebagaimana halnya dalam sistem ekonomi Kapitalis.
Dalam Khilafah, masyarakat tak perlu merasa terbebani dengan pajak yang semakin tinggi dan dikenai pada segala macam barang dan jasa. Rakyat akan diriayah dan dijamin kebutuhan pokoknya dari segi kesejahteraan, keamanan, pendidikan dan kesehatan. Rakyat sejahtera, negara juga tidak terancam karena utang. Allahu a’lam bis-showwab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]