Ketangguhan Islam mampu menghadapi dan menaklukan hambatan dan tantangan apa pun yang ada di hadapannya. Termasuk pandemi, ini pernah terjadi beberapa kali di masa kekhilafahan. Berdasarkan tuntunan syara, tak perlu waktu lama untuk menghentikan pandemi. Pandemi berkaitan erat dengan sektor kesehatan. Oleh karenanya, segala kebijakan untuk penanganan pandemi harus merujuk pada nash syara’ dan pendapat pakar kesehatan.
Oleh. Nur Jamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pandemi tak kunjung beranjak dari negeri ini. Jangankan minggat, menurun pun tidak. Bahkan Indonesia menyalip India dan Brasil. Kini Indonesia menempati nomor wahid dalam kasus positif Covid-19 di dunia. Indonesia dinyatakan sebagai episentrum dunia dalam penyebaran Covid-19. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk bertindak cepat dalam menangani pandemi ini. Berbagai kebijakan dilakukan, dari PSBB, PSBM, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM level 4. Namun sayang, penerapannya tampak setengah hati. Apa pun kebijakannya, pemerintah tetap saja menghindari upaya lockdown atau karantina wilayah. Karena berdasarkan UU, kebijakan itu mengharuskan pemerintah menanggung kebutuhan masyarakat yang terkena lockdown.
Pemerintah mengklaim tak sanggup menanggung risiko seberat itu, melihat kondisi utang negara yang kian menggunung. Akhirnya opsi ini tak pernah dipilih. Lantas, sejauh mana keefektifan dari PPKM dan dampaknya bagi masyarakat? Adakah solusi lain yang mampu menyelesaikan pandemi di tengah kondisi yang telah kadung karut-marut ini?
Pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan terkait perpanjangan pemberlakuan PPKM Jawa-Bali hingga 25 Juli 2021. Penyebutannya diganti menjadi PPKM Level 4. Setelah ini berakhir, maka PPKM akan diklasifikasikan mulai dari level 1 hingga 4. Ini tercantum dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 Covid-19 di wilayah Jawa dan Bali. Kini PPKM level 4 diperpanjang dari 26 Juli hingga 02 Agustus 2021 (www.kompas.com, 26/07/2021)
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, PPKM Darurat atau apa pun istilahnya, tidak akan efektif menekan angka positif Covid-19 jika yang dibatasi sebatas penyekatan jalan lintas daerah. Bagi orang dengan mobilitas tinggi mungkin sedikit bermanfaat, tapi itu tidak signifikan. Hal yang perlu dikencangkan adalah 3T (testing, tracing, dan treatment) dan pembatasan tingkat mikro. Misal, setengah populasi dari satu RT terpapar Covid-19, maka wilayah RT itu langsung dikunci selama 10-14 hari, lakukan isolasi mandiri, buka dapur umum oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Jika kondisinya ada yang memburuk, rujuk ke salah satu RS. (www.suara.com, 15/07/2021)
Gonta-ganti Istilah
Sejak Maret 2020, awal diumumkan 2 kasus positif Covid-19 di Bekasi, pemerintah telah mencanangkan berbagai istilah penanganan Covid-19 yaitu PSBB, PSBM, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM level 3-4. Namun sayang, tidak ada penurunan kasus secara signifikan. Justru kasus positif makin meroket, hingga pecah rekor. Menempatkan Indonesia pada peringkat pertama negara dengan tingkat kepositifan tertinggi sedunia. Wajar jika kemudian Indonesia dinobatkan sebagai pusat episentrum penyebaran Covid-19 dunia.
Apa pun istilahnya, tujuannya sama yaitu membatasi kegiatan masyarakat demi mencegah penularan virus corona. Namun sayang, kebijakan ini tidak dibarengi dengan optimalisasi 3T (testing, tracing, treatment). Negeri ini termasuk yang paling rendah dalam hal penerapan 3T, jika disandarkan pada standar WHO. Bahkan juga tak ditunjang dengan jaminan pemenuhan pokok harian masyarakat. Sehingga aneka kebijakan ini kurang disambut baik masyarakat. Bahkan, beredar sebuah opini di masyarakat, lebih baik mati karena covid, daripada mati kelaparan.
Kebijakan ini Demi Siapa?
Sejak 20 Juli 2020, pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Ketentuan itu ada dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2020, dengan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Bahkan pejabat eksekutifnya didominasi para ekonom, bukan pakar kesehatan. Oleh karenanya wajar, jika selama ini kita dapati upaya untuk menangani pandemi lebih banyak mempertimbangkan aspek ekonomi, ketimbang aspek kesehatan. Dari sini tampak bahwa pemerintah tidak benar-benar serius ingin mengatasi pandemi. Ingin memulihkan ekonomi di tengah masyarakat yang sakit karena terpapar virus, itu merupakan hal yang utopis. Menyelamatkan ekonomi negara, tidak secara otomatis memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Mengapa? Karena jika kita menilik bagaimana perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, termasuk Indonesia berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme saat ini, kesejahteraan dihitung berdasarkan pendapatan per kapita, yaitu pendapatan seluruh masyarakat dibagi jumlah penduduk. Maka hanya akan menghasilkan sejumlah angka di atas kertas saja. Besar tapi tak merata. Distribusi kekayaan tak menjadi bahan pertimbangan. Artinya selagi masih ada para konglomerat yang hartanya melintir tujuh turunan, PDB Indonesia akan tampak selalu sehat. Padahal, rakyat yang melarat semakin membengkak jumlahnya.
Hasil rata-rata dari perhitungan PDB, bukanlah penghasilan riil masyarakat, karena baik konglomerat maupun yang melarat dianggap memiliki pendapatan yang sama berdasarkan perhitungan ini.
Oleh karena itu, menyelamatkan ekonomi negara bisa diartikan menyelamatkan para konglomerat ini dari kemelaratan. Ini jauh lebih mudah, dibandingkan menaikkan pendapatan masyarakat melarat yang sudah terlampau merebak.
Oleh karena itu wajar, jika kemudian para konglomerat yaitu pemilik modal dan korporasi diberikan stimulus atau suntikan dana secara jor-joran di tengah pandemi ini. Lantas apa saja bentuk kemurahan hati pemerintah kepada para konglomerat selama pandemi?
Di antaranya, pertama, pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law (Cipta Kerja). UU ini tetap dilegalkan walau cacat prosedur dan tidak memihak rakyat kecil termasuk buruh. Ini memudahkan korporasi untuk meraup profit sebanyak-banyaknya, walau dengan merampas kepemilikan umum yang sejatinya hak rakyat serta mengorbankan ruang hidup rakyat.
Kedua, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Bukan hanya tenaga ahli, bahkan buruh kasar juga. Ini menyebabkan serbuan TKA ke berbagai wilayah Indonesia. Justru mempersempit peluang kerja rakyat pribumi yang semasa pandemi banyak yang terdampak. Bahkan, TKA ini diberikan karpet merah untuk masuk ke negeri ini, lolos walaupun di masa PPKM. (www.cnnindonesia.com, 30/04/2021)
Ketiga, pemerintah memberikan relaksasi pajak pada korporasi. Di antaranya pemberian insentif pada pajak penghasilan (PPH) pasal 21 bagi pegawai yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang secara rutin menerima gaji di bawah Rp200 juta setahun; pasal 22 impor; angsuran pasal 25 sebesar 50 persen; insentif pajak pertambahan nilai (PPN); penurunan tarif PPH Badan (korporasi); pemberian fasilitas kepabeanan; serta perpanjangan waktu dalam administrasi perpajakan. (www.hukumonline.com, 05/02/2021)
Keempat, melindungi dan memberikan support penuh pada sektor pariwisata, karena dianggap mampu menjadi harapan bagi pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi. Di antaranya dengan memberikan bantuan sebesar Rp3,8 triliun dan insentif pajak; mempromosikan pariwisata aman dengan penerbitan dan penerapan protokol kesehatan di objek wisata; Kemenparekraf mengeluarkan sertifikat CHSE (cleanliness, healthy, safety, and enviromental suistainability) kepada pengusaha pariwisata secara gratis untuk meningkatkan kepercayaan wisatawan terhadap destinasi dan industri pariwisata Indonesia. (www.kompas.id, 15/07/2021)
Kelima, pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, pelabuhan, bandara, terminal dan jalan tol di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk pembangunan ibu kota baru di Kalimantan tetap berjalan meski di tengah pandemi. Tentu saja pembangunan ini tidak dilakukan pemerintah sendiri, tapi juga melibatkan korporasi lokal bahkan asing. Bahkan serapan anggaran Kementerian Perhubungan mencapai 95 persen. (www.antaranews.com, 23/12/2020)
Dari sana tampak bahwa aneka kebijakan penanganan pandemi yang telah dilakukan pemerintah sejatinya tak berpihak pada sektor kesehatan dan kepentingan masyarakat. Tapi justru demi menyelamatkan kepentingan ekonomi para konglomerasi. Pantas saja, bila hingga saat ini pandemi tak kunjung teratasi.
Salah Prioritas dalam Anggaran
Banyak pihak yang berpandangan bahwa kebijakan penanganan Covid-19 tampaknya tidak berfokus pada bidang kesehatan. Padahal, masalah pandemi erat kaitannya dengan bidang kesehatan. Mari kita amati skema penganggaran keuangan selama masa pandemi.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menaikkan anggaran penanganan Covid-19 menjadi Rp677,2 triliun (2021) dari Rp405,1 triliun (2020). Berikut rinciannya: anggaran sektor kesehatan Rp87,55 triliun; perlindungan sosial Rp203,90 triliun; dukungan kepada UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif dunia usaha sebesar Rp120,61 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp44,57 triliun, serta dukungan sektoral dan pemda sebesar Rp97,11 triliun. Dalam sektor kesehatan, pemerintah mengalokasikan untuk belanja penanganan Covid-19 sebesar Rp65,80 triliun, insentif tenaga medis Rp5,90 triliun, santunan kematian Rp300 juta, bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp3 triliun, alokasi dana untuk Gugus Tugas Covid-19 sebesar Rp3,5 triliun, serta insentif perpajakan di bidang kesehatan sebesar Rp 9,05 triliun. (www.kontan.co.id, 03/06/2021)
Berdasarkan data di atas tampak bidang kesehatan memang tak menjadi prioritas utama, karena dana yang dianggarkan hanya sebesar Rp87,55 triliun. Sementara untuk bidang sosial sebesar Rp203,90 triliun, bahkan sektor ekonomi lebih fantastis lagi jika ditotal mencapai angka Rp385,75 triliun. Otomatis hal ini memberikan dampak buruk bagi strategi penanganan virus Covid-19. Sarana, fasilitas, dan operasional di RS rujukan Covid-19 serta hotel/rusun/wisma untuk menampung pasien Covid-19 dan akomodasi nakes, insentif nakes, obat-obatan medis, vaksin, dan lain sebagainya sesungguhnya amat membutuhkan dukungan anggaran optimal. Namun sayang, prioritas anggaran yang ditetapkan justru bukan untuk bidang kesehatan. Miris.
Bansos, Bantalan Berduri
Tak dipungkiri, pemerintah selama pandemi berlangsung memang menggelontorkan sejumlah dana untuk jaring pengaman nasional, dengan skema bantuan sosial. Hal ini demi membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak. Tujuan utamanya demi mendongkrak perekonomian yang tumbuh minus 5,32 persen pada kuartal II tahun 2020. Dengan cara meningkatkan daya beli masyarakat dengan memberikan stimulus bantuan. Berikut daftar bantuan yang dikucurkan selama pandemi: bantuan sembako Jabodetabek; bantuan sosial tunai (BST) untuk masyarakat di luar Jabodetabek senilai Rp600 ribu kemudian menurun menjadi Rp300 ribu perbulan; BLT dana desa; listrik gratis bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA subsidi; program keluarga harapan (PKH); kartu prakerja; subsidi gaji karyawan yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan; dan BLT usaha mikro kecil bagi pelaku usaha yang belum menerima bantuan pinjaman dari perbankan. (www.kompas.com, 26/08/2020)
Perkara bansos tak sekadar nominal yang digelontorkan, tapi bagaimana mekanisme pendistribusiannya hingga bansos tersebut sampai di tangan masyarakat dengan cepat dan tepat sasaran. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sosialisasi program bansos minim, prosedur pencairan bansos panjang, ribet, dan berbelit, serta data yang tidak valid menyebabkan salah sasaran, budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sudah mendarah daging menjadikan dana bansos ini menjadi lahan basah untuk dikorupsi bagi aparat terkait dari tingkat pusat hingga RT. Faktanya banyak masyarakat miskin yang terdampak pandemi tak menerima dana ini.
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin inilah sekelumit gambaran kondisi masyarakat yang hidup di bawah sistem dan kepemimpinan yang berasaskan sekularisme-kapitalisme. Kehidupan yang jauh dari kata sejahtera ditambah hantaman pandemi berkepanjangan merangkai bait-bait nestapa tiada akhir.
Ada yang mengusik rasa keadilan publik. Lihatlah, bagaimana perbedaan perlakuan pemerintah antara pada konglomerat dengan rakyat melarat? Kepentingan konglomerat dalam bisnis dan pariwisata karena dianggap urgen untuk menyelamatkan PDB, sekaligus simbol kekuatan ekonomi negara kerap kali dianakemaskan oleh pemerintah, sementara rakyat melarat dianaktirikan. Bukankah ini mengonfirmasi bahwa rezim ini memang kapitalis? Penguasa yang terpilih bukan dari kepercayaan utuh masyarakat, tapi hasil dari pencitraan yang disokong kampanye massif dengan anggaran fantastis.
Lantas dari mana dana itu didapatkan? Mustahil dari kocek sendiri semata. Siapa lagi kalau bukan para konglomerat yang mendanai sekaligus menaikkan calon penguasa itu hingga berhasil duduk dalam singgasana kekuasaan. But no free lunch! Para penguasa harus mengembalikan modal itu plus profitnya dengan cara mengesahkan berbagai kebijakan dan UU yang menguntungkan para konglomerat/pengusaha. Inilah praktik politik transaksional. Hanya mungkin terjadi pada negara korporatokrasi, yaitu negara yang penguasanya dikendalikan oleh para konglomerat.
Islam Tuntas Atasi Pandemi
Allah Swt sebagai Al-Khalik dan Al-Mudabbir telah menyampaikan pesan rahiim kepada umat Muhammad Saw berupa ayat-ayat cinta dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis (nash syara'). Ajaran ini yang dinamakan Islam, mahakarya dari Sang Mahakuasa. Aturan nan paripurna yang mengatur kehidupan manusia dari A hingga Z, yang terbukti selama 13 abad lamanya mampu menyinari kehidupan manusia dengan kesejahteraan dan keberkahan bagi kaum muslim khususnya. Islam disandingkan dengan Daulah Islam di masa Rasulullah, selanjutnya dinamakan Khilafah sejak masa Abu Bakar As-Siddiq hingga akhir masa. Bagai dua sisi mata uang, Islam dan Khilafah mutlak tak bisa dipisahkan.
Ketangguhan Islam mampu menghadapi dan menaklukan hambatan dan tantangan apa pun yang ada di hadapannya. Termasuk pandemi, ini pernah terjadi beberapa kali di masa kekhilafahan. Berdasarkan tuntunan syara, tak perlu waktu lama untuk menghentikan pandemi. Pandemi berkaitan erat dengan sektor kesehatan. Oleh karenanya, segala kebijakan untuk penanganan pandemi harus merujuk pada nash syara’ dan pendapat pakar kesehatan. Konsep Islam berikut teori epidemiologi telah menuntun penguasa untuk menerapkan lockdown, yaitu mengunci wilayah yang masyarakatnya telah terinfeksi wabah. Isolasi terpusat orang yang sakit dari warga yang sehat. Masyarakat yang wilayahnya terkena wabah diputus mobilitasnya, sementara orang di luar wilayah itu pun dilarang masuk.
Konsekuensinya, Khilafah wajib menanggung kebutuhan primer masyarakat yang terdampak lockdown hingga wilayahnya normal kembali. Bagaimana dengan masyarakat yang wilayahnya sehat? Maka kehidupan berjalan seperti biasa, serba offline. Mobilitas dan seluruh kegiatan harian masyarakat tetap berjalan tanpa ada kekhawatiran tertular virus. Tak hanya itu, Khilafah juga akan menanggung sepenuhnya biaya kesehatan masyarakat, baik dalam kondisi normal, apalagi ketika terjadi pandemi. Dari 3T (testing, tracing, treatment) kebutuhan tabung oksigen pasien nakes hingga masker dibagikan secara gratis. Bukan hanya kesehatan, pendidikan dan keamanan pun dijamin pemenuhannya dengan mekanisme langsung. Karena ketiganya terkategori kebutuhan primer kolektif, yang menjadi tanggung jawab Khilafah dengan mekanisme langsung.
Khilafah tak mengenal istilah bansos. Apalagi yang berbelit dan pilih kasih pada rakyatnya. Kebutuhan primer individu berupa sandang, pangan, dan papan dijamin pemenuhannya secara tidak langsung oleh Khilafah. Caranya dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi laki-laki yang berkewajiban memberi nafkah pada keluarganya, disokong ketersediaan bahan pokok dengan harga yang terjangkau, ini dalam kondisi normal. Khusus dalam kondisi pandemi, bagi masyarakat yang terdampak dan terpapar Covid-19 akan mendapatkan kebutuhan pokoknya secara gratis dari Khilafah. Tanpa harus mengantre dan berbelit dalam memperolehnya.
Lantas, dari manakah semua dana untuk membiayai kebutuhan itu diperoleh Khilafah? Baitul Mal. Khilafah ada sebagai pelayan umat, mengemban tugas utama sebagai penerap ajaran Islam kafah dalam mengurusi seluruh urusan masyarakat. Tentu saja khilafah akan mengikuti tuntunan syariah Islam dalam hal pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal. Sumber pemasukan Baitul Mal meliputi bagian fa’i dan kharaj; kepemilikan umum (sumberdaya alam) seperti gunung, tambang emas, batu bara, minyak dan lain sebagainya; serta harta zakat. Jadi, Khilafah tak akan mengandalkan pajak dan utang luar negeri.
Sementara untuk pos pengeluaran telah ditentukan Syara. Dalam kondisi kedaruratan seperti paceklik, bencana alam, termasuk juga pandemi, negara wajib mendanai berapa pun besarnya biaya yang diperlukan untuk mengatasi pandemi, tanpa nanti dan tanpa tapi. Bila perlu merealokasi biaya yang tidak mendesak seperti pembangunan infrastruktur yang tidak urgen. Keberpihakan Khilafah selamanya pada rakyat, bukan kelompok tertentu seperti para konglomerat. Keadilan untuk semua, tidak mengenal istilah anak emas dalam kamus Khilafah. Karena sang Khalifah tidak menjabat karena jasa pihak mana pun, selain karena keridaan dan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepadanya. Oleh karenanya, Khilafah bertugas sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.”
Dengan prinsip dasar ini, Khilafah akan mampu mengakhiri pandemi, tak perlu dipusingkan dengan banyak istilah. Keselamatan jiwa dan kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas. Persoalannya, apakah pemerintah saat ini punya nyali untuk mengambil keputusan besar untuk taghyir? Mengubah sistem dan ideologi negara dengan Islam dalam naungan Khilafah. Karena dengan kembali pada fitrah, hidup akan jadi berkah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]