Aroma Kezaliman di Negeri Mati Rasa

"Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara di antara mereka sebelum engkau mendengar perkataan pihak lain, sehingga engkau mengetahui bagaimana seharusnya memutus perkara di antara mereka itu." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)


Oleh. Uqie Nai
(Alumni Branding for Writer)

NarasiPost.Com-"Akan datang di akhir zaman nanti para penguasa yang memerintah dengan sewenang-wenang, para pembantunya (menteri-menterinya) fasik, para hakimnya pengkhianat, dan para ahli hukum Islam pendusta. Sehingga, siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka sungguh kalian jangan menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi.” (HR. At-Thabarani)

Hadis Rasulullah di atas adalah gambaran nyata hari ini. Suatu zaman dimana rasa keadilan semakin mahal, terus tergerus hawa nafsu dalam aturan manusia. Jerat pidana mudah dijatuhkan jika penguasa berkehendak atau sebaliknya, lolos dari hukum pun tak sulit dilakukan sekiranya penguasa meminta. Inilah realita tebang pilih keadilan di negeri 'mati rasa.'

Kezaliman dalam Wujud Putusan Hukum

Bermula dari tuduhan menyebarkan berita bohong hasil swab Covid-19 dan telah membuat keonaran di tengah masyarakat, vonis 4 tahun penjara akhirnya dijatuhkan pengadilan untuk Habib Riziq Shihab (HRS). Banyak kalangan mengklaim putusan ini tak masuk akal dan telah melukai rasa keadilan. Tokoh intelektual muslim, Ustaz Ismail Yusanto atau yang biasa disapa Ustaz Is, mengatakan putusan tersebut adalah tindakan pemaksaan dan bentuk kezaliman. Menurutnya, seseorang yang mengatakan dirinya sehat tak bisa serta-merta dinyatakan berbohong dan bisa terjerat pidana. Pun dengan adanya aksi damai, karangan bunga serta komentar-komentar netizen di medsos tak bisa pula dikatakan sebagai bentuk keonaran yang berimplikasi kepada hukum.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma. Dikutip dari rmolbanten.com (25/6/2021), Lieus mempertanyakan, "Bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui youtube dan menyebabkan keonaran, bisa divonis lebih berat dari kebanyakan vonis terhadap koruptor?"

Ia menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tentang menyebarkan informasi bohong yang menyebabkan keonaran terlalu dipaksakan. Bahkan banyak pernyataan JPU tentang HRS di persidangan tak sesuai fakta. Maka vonis 4 tahun untuk HRS yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah melukai rasa keadilan. Apa yang menimpa HRS dengan vonisnya memang bentuk kezaliman nyata dari sebuah sistem demokrasi kapitalistik. Sistem ini lahir bukan untuk berpihak pada kebenaran, melainkan "kepentingan". Saksi dan bukti peradilan pun sulit ditemukan yang benar-benar fair, melainkan dicari orang/saksi ahli yang sekiranya mendukung keinginan penguasa dan peradilannya.

Sepak terjang HRS dengan kritik tajamnya terhadap kebijakan rezim tentu akan sangat membahayakan petahana. Sehingga, upaya mengamputasi gelora kritik dari tokoh kontradiktif (bukan hanya HRS) hanya bisa dilakukan dengan jerat pidana, meski tanpa bukti kriminal sekali pun.

Atas kenyataan tersebut, tak ada kata lain selain kata 'memalukan' ketika lembaga peradilan terus mempertontonkan ketidakadilannya. Rakyat yang sudah lama merindukan keberpihakan hukum pada kebenaran ternyata semakin utopis manakala tangan besi sudah merambah lembaga peradilan. Inilah buah nyata demokrasi kapitalisme.

Syariat Kafah, Solusi Keadilan Hakiki

Islam dengan seperangkat aturannya memiliki arahan jelas dan tegas terhadap permasalahan umat. Penguasa dan pegawai penguasa, termasuk di dalamnya al-Qadha (peradilan) berjalan dalam koridor syariat. Rasulullah Saw. hingga kepemimpinan setelahnya senantiasa berwasiat kepada para pejabatnya semisal wali, amil dan qadhi untuk memutuskan perkara secara adil berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah atau Ijtihad yang bersumber dari keduanya.

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (TQS an-Nahl: 90)

Perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an adalah pedoman utama seseorang dalam menetapkan hukum. Terlebih lagi jika ia seorang kepala negara atau hakim (qadhi). Sosok Khalifah Umar misalnya, ketegasan serta ketaatannya terhadap syariat terbukti nyata dalam setiap kebijakannya, baik untuk dirinya sendiri atau untuk masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan ia tidak membedakan seorang pun di mata hukum. Keluarga, kerabat, bangsawan atau rakyat biasa akan mendapat putusan yang sama dari kasus serupa.

Umar bin Khattab ra. pernah begitu murka saat salah satu gubernurnya yang bernama Amru bin Ash memperlakukan Abdurrahman bin Umar (putra Umar bin Khattab) berbeda dalam sanksi hukum. Saat diketahui Amru bin Ash memberi hukuman cambuk kepada Abdurrahman di dalam rumah, bukan di depan umum hanya karena ia putra Amirul Mukminin, Umar secara tegas memerintahkan Amr untuk mengulang hukuman atas Abdurrahman. Sehingga dengan peristiwa ini, masyarakat mampu menilai bahwa keadilan itu milik semua orang, tak terhalang oleh tahta, jabatan atau strata sosial. Semuanya sama di mata hukum.

Demikian pula dengan kepentingan adanya lembaga peradilan. Islam telah mensyariatkannya melalui arahan nash, bahkan hasil putusan peradilan tersebut bersifat mengikat, dengan tugas-tugas yang jelas. Bukan demi kemaslahatan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu sebagaimana saat ini.
Tugas lembaga peradilan menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, hal. 108, adalah menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak jemaah atau mengatasi perselisihan antara rakyat dan pejabat pemerintahan; baik ia penguasa, pegawai negara, khalifah ataupun selain khalifah. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini adalah al-Kitab (lihat QS. al-Maidah: 49; QS. an-Nur: 48) dan as-Sunnah.

"Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara di antara mereka sebelum engkau mendengar perkataan pihak lain, sehingga engkau mengetahui bagaimana seharusnya memutus perkara di antara mereka itu." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)

Berdasarkan rambu syariat yang tercermin dalam pribadi penguasa dan para hakim di lembaga peradilan, termasuk fakta persidangan, maka keputusan akan diterima oleh siapa pun yang berperkara tanpa ada rasa keberatan. Demikianlah buah kehati-hatian qadhi dalam perkara yang ditanganinya. Apa yang diputuskannya berkaitan erat dengan pembuktian (al-bayyinat) di persidangan. Ia tidak boleh gegabah apalagi mengandalkan prasangka semata, bahkan Rasulullah dalam sabdanya pernah melarang seorang hakim memutuskan hukum dalam kondisi marah, mengantuk, atau lapar. Tuntutan syara' terhadap qadhi agar memutuskan perkara secara adil berbanding lurus dengan pemahamannya tentang kedudukan hakim kelak di akhirat. Dua masuk neraka, satu masuk surga. Tergantung sikap hakim ada di atas kebenaran ataukah kebodohan. Tunduk pada syariat atau hawa nafsunya. Kabar hadis ini juga yang menjadikan hakim dalam peradilan Islam berupaya maksimal agar tidak terjadi kezaliman akibat putusannya.

Keadilan hakiki ini akan kembali dirasakan umat saat sistem pemerintahan Islam tegak di muka bumi. Masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan keadilan tanpa prosedur berbelit, mahal, dan melelahkan. Sehingga tak diperlukan adanya mahkamah banding ataupun kasasi. Para hakimnya piawai, memahami hukum Islam dengan benar, takut pada murka Allah dan jauh dari motif duniawi. Maka solusi mengakhiri peradilan 'mati rasa' saat ini adalah dengan perjuangan Islam kafah tanpa lelah dan putus asa. Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Pilih Kasih Hukuman Pinangki
Next
Lelah Dakwah Tetap Dakwah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram