UU KIA sendiri tidak menyentuh akar masalah kesejahteraan ibu dan anak. Cuti hingga enam bulan tidak cukup memberikan pendampingan anak di masa "golden age" nya.
Oleh. Nina UmMuza
(Kontributor NarasiPost.Com & Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Kesejahteraan ibu dan anak masih menjadi perbincangan penting saat ini. Berbagai problematika yang menyentuh ibu dan anak merupakan hal yang disoroti karena kurangnya kesejahteraan dan perlindungan. Apalagi bagi ibu pekerja yang dilematis dengan keadaan di tengah urusan mengurusi anak dan membenahi kebutuhan. Sehingga pemerintah berusaha menunjukkan kepeduliannya dengan lahirnya Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) bagi ibu pekerja. Hal ini seakan menjadi angin segar bagi mereka.
Dilansir dari detikNews.com dari pengesahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang oleh DPR RI disambut baik oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Menurut Indah Anggoro Putri selaku Dirjen PHO dan Jamsos Kemnaker meyakini bahwa UU KIA akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh. (07-06-24)
Adapun pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan adalah cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika ada kondisi khusus pasca melahirkan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.
Selama masa cuti mereka berhak mendapatkan upah yang dibayar penuh untuk tiga bulan pertama dan keempat. Sedangkan 75% untuk bulan kelima dan keenam. Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami melakukan cuti untuk pendampingan persalinan istri, selama dua hari dan paling lama tiga hari sesuai kesepakatan.
Secara luar, disahkannya UU KIA, begitu memihak pada kaum perempuan. Akan tetapi, benarkah hal ini akan menciptakan kesejahteraan Ibu dan anak, bagi ibu pekerja?
Ilusi Kesejahteraan Kapitalisme
Jika ditelisik, nyatanya UU KIA juga memunculkan polemik tersendiri. Masih ada pro kontra, baik dari kalangan buruh yang khawatir dan juga terkhusus dari kaum pemilik modal yaitu perusahaan yang merasa dirugikan. Sehingga banyak juga mereka yang hanya memerkerjakan secara lepas kaum perempuan karena tidak mau mengeluarkan upah di luar jam kerja.
Disampaikan pula oleh Andy Yentriyani selaku ketua Komnas Perempuan yang semula mengapresiasi UU ini, bahwasanya UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi. Hal ini didasarkan pada pencermatan Komnas Perempuan bahwa telah ada ego sektoral yang sering kali menjadi hambatan koordinasi dan kesulitan pengawasan pelaksanaan kewajiban ibu dan ayah. Serta persoalan struktural seperti penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga kurang mampu.
UU KIA sendiri tidak menyentuh akar masalah kesejahteraan ibu dan anak. Cuti hingga enam bulan tidak cukup memberikan pendampingan anak di masa "golden age" nya. UU tersebut hanya diperuntukkan bagi ibu pekerja. Sedangkan ibu yang tidak bekerja tetaplah dengan ketidakmampuannya. Karena akar masalah tidak sejahteranya ibu dan anak adalah diterapkannya sistem kapitalisme oleh negeri ini.
Sistem Kapitalisme telah merenggut fitrah seorang ibu. Ekonomi yang kurang diberikan oleh suami, menjadikan seorang ibu keluar dari rumah. Tidak sedikit kaum perempuan keluar dari rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Menyita waktunya di luar lebih dari delapan jam. Sehingga fokus utamanya tidak lagi menyiapkan anaknya menjadi generasi terbaik.
Kemiskinan yang mengimpit karena naiknya bahan pangan dan juga biaya pendidikan menjadi pemacu serta membenarkan mereka harus membantu mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga. Sedangkan kasih sayang dan pendidikan dalam keluarga untuk anaknya dilimpahkan pada orang lain. Anak dititipkan kepada kerabat atau orang yang diberikan upah. Tidak ayal hal ini memunculkan masalah baru. Munculnya problematika keluarga dan anak, seperti pelecehan pada anak, kenakalan remaja, dan juga perselingkuhan.
Alih-alih memberikan kesejahteraan, justru hal ini merupakan kedok pemberdayaan perempuan. Perempuan berdaya adalah perempuan yang bekerja. UU KIA hanya solusi tambal sulam untuk menutupi kecacatan negara memberikan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Karena ujungnya materi yang menjadi acuan dan itu dilimpahkan kepada perusahaan.
Sistem kapitalisme yang dianut oleh negara demokrasi di negeri ini telah menunjukkan kerusakannya. Jelas berharap kesejahteraan dihasilkan oleh sistem kapitalisme merupakan ilusi. Karena landasan sistem ini adalah memisahkan agama dari kehidupan. Menghilangkan peran agama dalam mengatur kehidupan manusia. Sehingga kebijakan dan aturan negara hanya berlandaskan pada nafsu dan kepentingan beberapa kelompok manusia saja.
Islam Menyejahterakan Ibu dan Anak
Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu alaihi wasalam. Islam diturunkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sehingga apa yang diterapkan akan memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Karena Islam memiliki seperangkat aturan.
Berbeda dalam sistem kapitalisme, kesejahteraan dalam Islam bukanlah ilusi, karena Allah telah memberikan aturan yang sesuai fitrah manusia. Kesejahteraan tidak hanya dilihat dari tercukupinya kebutuhan materi, tetapi menjadikan akidah sebagai pijakan hidup dan akhirat sebagai tujuan akhir.
Isam begitu memuliakan kaum perempuan. Memberikan peran yang penting bagi perempuan yaitu menjadi Al ummu wa rabbatul Al-bayt, menjadi pengatur rumah tangga. Perannya yang memberikan pengasuhan dan pendidikan pertama terbaik bagi anak-anaknya hingga mumayyiz, agar kelak mereka menjadi generasi cemerlang tonggak peradaban negara.
Seorang perempuan itu dilindungi, begitu pula perihal penafkahan. Islam memiliki aturannya, jika seorang perempuan bersuami maka jelas nafkah menjadi kewajiban seorang suami. Jika suaminya belum bekerja maka penafkahan anaknya dibantu oleh ayah dari pihak suami. Apabila seorang janda maka penafkahan diserahkan kembali pada walinya. Jika walinya tidak ada maka negara yang mengambil alih penafkahannya yang diambil dari baitulmal atau kas negara.
Adapun perempuan bekerja dalam Islam hukumnya mubah (boleh). Hal tersebut harus disesuaikan dengan syariat, seperti pekerjaan yang sesuai fitrahnya, harus menutup aurat, dan mereka bekerja hanya untuk pengamalan ilmunya atau berkarya dalam bidangnya berkontribusi untuk negara. Jadi mereka bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau pengganti pencari nafkah.
Dalam Islam juga perempuan dibolehkan keluar rumah memberikan aspirasinya, seperti berkiprah dalam aktivitas politik yaitu berdakwah, menyebarkan opini Islam, mengedukasi ummat.
Islam memberikan kesejahteraan bukan hanya bagi ibu dan anak saja, bahkan seluruh makhluk hidup. Hal itu akan terwujud jika aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Islamiyyah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa taala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 208)
Daulah dengan mengadopsi aturan dari syariat Islam tidak akan terus memperbaharui undang-undang sesuai kepentingan kelompok. Daulah bahkan sudah menetapkan aturan yang jelas dan harus dilaksanakan serta ada sanksi yang tegas jika adanya pelanggaran syariat.
Sehingga seorang ibu tidak lantas berjuang sendiri memenuhi kebutuhan keluarganya untuk mencari nafkah. Karena sesungguhnya daulah telah memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Seperti pendidikan dan kesehatan yang bukan menjadi beban individu. Sedangkan kebutuhan sandang, papan, dan pangan Daulah memberikan kemudahan dalam memperolehnya. Tugas ayah sebagai pencari nafkah pun tidak menjadi memberatkan sehingga meninggalkan kewajiban lainnya, yaitu berdakwah dan jihad.
Telah terbukti kesejahteraan yang tercipta dari penerapan sistem Islam selama tiga belas abad lamanya, dari masa penerapan pertama kali oleh Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam saat hijrah ke Madinah. Hingga dilanjutkan oleh para sahabatnya, Khulafaur Rasyidin. Kemudian masa-masa emas Ummayyah, masa Abbasiyah, hingga Utsmani.
Sebagai contoh pada masa Kekhilafahan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Beliau mengirimkan seorang petugas bernama Yahya bin Said untuk mengumpulkan zakat dan memberikan zakat kepada orang-orang miskin di Afrika. Namun, nyatanya tidak dia temukan seorang pun yang membutuhkan.
https://narasipost.com/opini/06/2024/uu-kia-penyesatan-peran-perempuan-berkedok-pemberdayaan/
Pada masa Umar bin Abdul Aziz pula meskipun kepemimpinannya hanya dalam kurun waktu dua tahun lebih, nyatanya rakyatnya berhasil keluar dari kemiskinan. Semua hidupnya tercukupi, bukan hanya di wilayah Afrika, tetapi seluruh wilayah kekuasaannya termasuk Irak dan Basrah.
Ini menunjukkan keberhasilan diterapkannya sistem Islam yang jelas bersumber dari Wahyu. Sudah saatnya kita kaum ibu dan perempuan tidak lagi menggunakan sistem kapitalisme yang bersumber akal manusia. Saatnya kita memperjuangkan kembali tegaknya penerapan Islam dalam bingkai Khilafah Islam.
Wallahu'alam bishawab. []