UKT Tidak Jadi Naik, Mahasiswa Berhenti Panik?

UKT tidak jadi naik

Kebijakan UKT harus terus dikawal, pasalnya pemerintah belum memutuskan kebijakan final untuk menyelesaikan masalah pendidikan.

Oleh. dr. Ratih Paradini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Riska, seorang anak penjual gerobak sayur yang sempat berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Demi bisa menggapai cita-citanya ia rela banting tulang untuk membayar UKT tiap semesternya. Berbekal uang Rp139 ribu, ia berangkat dari Purbalingga menuju Jogjakarta. UKT yang dibebankan kepadanya sebesar Rp3,14 juta per semester membuat Riska harus memutar otak agar bisa tetap kuliah, mulai dari kerja paruh waktu hingga hidup sangat hemat. Ia hanya berjalan kaki ke kampus, bahkan untuk makan pernah hanya makan nasi dan abon pemberian temannya selama berhari-hari, begitu pula untuk keperluan mandi diperoleh dari teman kosnya yang mengasihani. Namun, perjuangan Riska harus pupus sebab ia terkena hipertensi akut yang akhirnya membuat ia meninggal dunia. (yogya.inews.id, 13 Januari 2023)

Riska hanya satu kisah viral di antara ribuan kisah pilu mahasiswa yang berjuang demi melanjutkan pendidikan tinggi. Padahal berkuliah adalah jalan demi memutus rantai kemiskinan di tengah keluarga, tidak jarang anak-anak dengan pendapatan pas-pasan berusaha keras agar dapat melanjutkan kehidupan. Namun, apalah daya kebijakan negeri yang pembukaan UUD-nya "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" malah membuat regulasi yang menyulitkan anak-anak bangsanya mengenyam pendidikan tinggi, sungguh ironis.

UKT Naik, (Bukan) Kabar Baik

Protes yang terjadi di mana-mana membuat masalah UKT menjadi viral, keresahan masyarakat tak terbendung. Bahkan, yang biasanya masyarakat suka terdistraksi dengan kasus selebritas kini tetap menyuarakan kegelisahan hati terkait UKT pendidikan tinggi. Suara nyaring mahasiswa dan masyarakat agaknya membuahkan hasil. Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim akhirnya mengumumkan UKT tahun ini tidak jadi naik, dengan kata lain yang berlaku adalah UKT di tahun 2023. Namun apakah kita bisa merasa lega dan berleha-leha, merasa bahwa masalah sudah terselesaikan? Mengawal masalah kebijakan UKT tetap harus dilaksanakan, pasalnya pemerintah pun belum memutuskan kebijakan apa yang akan dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan. Biaya operasional makin tinggi, sementara subsidi pendidikan terus dikurangi.

Selain itu dari pernyataan presiden, UKT hanya ditunda kenaikannya bukan dibatalkan selamanya "Kemungkinan ini akan dievaluasi dulu, kemudian kenaikan setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi sehingga kemungkinan, ini masih kemungkinan, nanti ini kebijakan di Mendikbud, akan dimulai kenaikannya tahun depan," kata Jokowi (detik.com, 28 Mei 2024).

Kita tidak berharap pemerintah serampangan dalam mengambil keputusan. Bayangkan bila masyarakat bungkam atau masalahnya tidak viral, kebijakan zalim akan terus diterbitkan, rakyat bersuara pun kadang kala hanya didengar untuk menjadi bedak citra politik agar dipandang lebih cantik, bukan benar-benar karena kepedulian kepada rakyat.

Student Loan Bukan Solusi

Kebijakan student loan untuk menjadi solusi atas UKT yang makin tinggi sempat berembus. Student loan merupakan pinjaman yang diberikan kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliahnya, ini dinilai sebagai solusi paling logis. Padahal solusi ribawi ini justru membawa beban bagi generasi dan bentuk berlepas tangannya pemerintah membiayai pendidikan tinggi. Faktanya tidak semua mahasiswa langsung mendapatkan pekerjaan pascalulus, di Indonesia termasuk negara yang sulit mencari kerja. Angka pengangguran  per Agustus 2023 tercatat 7,86 juta orang (kompas.id, 27 Nov 2023). Sedangkan 13,3% di antaranya adalah lulusan S1 dan diploma (detik.com, 27 Juli 2023).

Komersialisasi pendidikan sebenarnya bukan barang baru, kenaikan UKT adalah imbas dari berubahnya sistem pendidikan tinggi menjadi PTN Berbadan Hukum. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri Menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum. Kebijakan PTN BH ini mengarahkan PTN agar memiliki hak otonomi sehingga mandiri dan kreatif  dalam rangka mempercepat kemajuan, namun konsekuensi dari kemandirian ini adalah absennya pemerintah dalam memberikan anggaran kepada PTN akhirnya PTN mencari cuan sendiri. Fokus PTN bukan lagi mencetak dan mencerdaskan generasi tetapi dibebani dengan tugas untuk mendapatkan uang lewat beragam usaha-usaha yang diciptakan. PTN sibuk berbisnis hingga tak ubahnya dengan perusahaan. Namun, salah satu cara yang paling mudah untuk mendapatkan pemasukan tentu dari kantong mahasiswa, alhasil UKT naik secara ugal-ugalan.

Adanya PTN BH sendiri merupakan buah dari dibukanya pintu liberalisasi pendidikan yang ada sejak tahun 1994, ketika Indonesia meratifikasi perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services). Ini merupakan salah satu perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). GATS ini merupakan kesepakatan untuk melakukan pasar bebas salah satu tujuannya adalah untuk membuka peluang kompetisi dengan swasta agar bisa saling menyaingi kemudian saling meningkatkan kompetensi. Dalam poin perjanjian GATS salah satu sektor yang wajib untuk diliberalisasi adalah bidang pendidikan. Maka, sejak saat itu Indonesia mencoba sedikit demi sedikit melepaskan diri dari tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan. Atas dasar kemajuan dan globalisasi perguruan tinggi dikomersialiasasi.

Walhasil jika ingin mendapatkan fasilitas pendidikan harus merogoh kocek yang dalam, inilah yang menjadi ironi. Bagaimana bangsa ini bisa menjadi Indonesia Emas bila kualitas SDM-nya tidak ter-upgrade optimal akibat sulitnya akses pendidikan? Padahal, data menunjukkan tingkat lulusan S1 sampai S3 sangat tinggi di negara-negara maju. Sebut saja 6 negara dengan lulusan perguruan tinggi terbanyak yang dilansir oleh OECD (Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Dunia) di antaranya adalah 1. Kanada (60%), 2. Rusia (56,7%) 3. Jepang (52,7%), 4. Luksemburg (51,3%), 5. Korea Selatan (50,7%) dan  6. Amerika Serikat (50,1%). Ini menunjukkan perkembangan negara sangat berkorelasi dengan kualitas manusianya.

Solusi Islam

Islam sangat memperhatikan pendidikan, hal ini bisa dilihat dari banyak dalil-dalil yang mewajibkan menuntut ilmu dan memuliakan orang berilmu.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah Swt. akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Tidak hanya sebatas motivasi melainkan dalil ini menjadi landasan bagi negara Islam untuk menjamin pendidikan warga negaranya, bukannya malah menganggap bahwa pendidikan tinggi itu hanya kebutuhan tersier. Bentuk jaminan negara Islam bisa dilihat lewat potret sejarah ketika negara Islam berdiri selama 13 abad lamanya. Di zaman Rasulullah, beliau membebaskan tawanan perang dengan persyaratan mengajar masyarakat Madinah baca tulis. Untuk mendukung sistem pendidikan maka para pengajar diberi gaji yang tinggi. Di zaman Khalifah Umar bin Khattab gaji guru sebesar sebanyak 15 Dinar setara dengan Rp83 jutaan perbulan bila dikonversi harga emas sekarang. Pada tahun 457-459 H/1065-1067 M didirikan Madrasah Nizhamiyah yang peserta didiknya diberikan uang saku, padahal mereka sudah mendapatkan pendidikan gratis disertai fasilitas lengkap berupa asrama dan perpustakaan. Sangat kontras bila dibandingkan dengan fakta sekarang di mana banyak peserta didik yang bersekolah sambil bekerja karena kesulitan biaya.

Hal ini bisa terealisasi karena ditunjang juga oleh sistem ekonomi Islam juga. Dalam sistem ekonomi Islam sumber daya alam dikelola seusai syariat dengan menjadikan hak kepemilikannya diberikan kepada umat dan dikelola oleh negara bukan diprivatisasi dan diberikan kepada swasta.

Kesimpulannya, masalah UKT yang tinggi akan dapat diselesaikan bila Islam diterapkan secara keseluruhan dalam negara Khilafah.

Wallahu a'lam bishawaab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
dr.Ratih Paradini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gila Tergantung Kacamatanya
Next
Tapera: Kebijakan Zalim untuk Memenuhi Kebutuhan Rumah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram