Tapera bersifat pemaksaan bahkan bisa disebut pemerasan. Jika sebutannya adalah tabungan, berarti sifatnya pilihan. Akan tetapi negara langsung main potong dan diberi sanksi bagi yang tidak mau.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Negara tidak ada habis-habisnya membuat kisruh di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan dan makin minimnya pendapatan akibat biaya hidup yang kian mahal, pemerintah berencana menarik iuran lagi dari masyarakat. Kali ini yang disasar adalah semua pekerja baik ASN, karyawan BUMN dan swasta, pekerja mandiri, pekerja informal, hingga pekerja asing.
Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Sebagaimana dirilis cnnindonesia.com (01/06/2024), pemerintah bakal memotong gaji pekerja sebesar 2.5% setiap bulannya dan paling lambat disetor tanggal 10. Potongan tersebut diperuntukan bagi Tabungan Perumahan atau Tapera. Aturan berlaku bagi yang berusia minimal 20 tahun dan sudah berstatus kawin.
Sanksi akan diberikan baik kepada pekerja atau pemberi kerja yang menolak sebagaimana diatur dalam PP 20 tahun 2022. Mulai dari peringatan secara tertulis, denda administratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, atau pencabutan izin usaha.
Tapera Membuat Sesak
Hampir semua kalangan menolak sampai muncul berbagai pelesetan kepanjangan Tapera sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan yang semena-mena ini. Ada yang menyebut Tabungan Pemerasan Rakyat, Tambah Penderitaan Rakyat, atau Tabungan Pejabat dari Rakyat. Wajar karena di tengah menguatnya dolar, daya beli masyarakat yang turun, berat bagi pengusaha dan pekerja bertahan.
Ada beberapa poin yang memang perlu dikritisi dari Tapera ini:
Pertama, potongan negara sebelumnya sudah banyak. Selama ini gaji pekerja sudah dipotong dengan beragam program. Mulai dari pajak penghasilan (5—35%), jaminan hari tua (2%+3,7% perusahaan), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS kesehatan (1%+4% perusahaan). Yang diperoleh pekerja makin menyusut jika ditambah dengan beban iuran Tapera (2,5% dari pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja). Gaji jadi seperti air mengalir, sebentar saja dipegang karena cepat habis untuk membeli berbagai kebutuhan. Jika pun ada kenaikan, tidak biisa mengejar kenaikan berbagai barang pokok.
Kedua, peraturan ini tidak adil. Tapera diberlakukan tanpa mempertimbangkan apakah peserta sudah memiliki rumah atau tidak, membutuhkan atau tidak. Mereka yang sudah membeli rumah dengan cara dicicil, berarti bakal dobel pengeluaran untuk tujuan yang sama. Tidak ada jaminan kepastian pula dari pemerintah kapan peserta bisa memperoleh rumah. Semestinya rumah dibangun dulu, barulah masyarakat yang ingin membeli bisa mencicil kepada pemerintah. Ini baru adil. Lucunya lagi, meski diambil dari mereka berpenghasilan minimal UMR, tetapi yang bisa mengakses Tapera hanya yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta, bagi yang di Papua dan Papua Barat maksimal Rp10 juta.
https://narasipost.com/opini/06/2024/tapera-tabungan-pemalak-rakyat/
Ketiga, rawan dikorupsi. Ketika ada mobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar, sudah kerap terjadi korupsi. Sebagai contoh kasus korupsi di PT. Taspen, lembaga pengelola dana pensiun ASN. Mega korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dengan jumlah jumbo Rp16,8 triliun. Perampokan di PT Asabri, perusahaan yang mengelola dana pensiun anggota ABRI dan PNS di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Jumlah yang dikorupsi sangat fantastis yaitu Rp22 triliun.
Keempat, korupsi terus langgeng karena tidak ada hukuman tegas bagi para koruptor. Contoh kasus Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk yang terlibat dalam korupsi Jiwasraya dan Asabri. Alih-alih dihukum mati, malah divonis nihil dalam kasus Asabri dengan alasan sudah mendapat pidana hukuman seumur hidup dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya. Bukan rahasia lagi, para koruptor tetap bisa membeli kenyamanan meski dalam penjara.
Kelima, Tapera bersifat pemaksaan bahkan bisa disebut pemerasan. Jika sebutannya adalah tabungan, berarti sifatnya pilihan. Tidak semua harus melakukan. Akan tetapi negara langsung main potong, apalagi disertai ancaman sanksi bagi yang tidak mau. Di saat pelayanan kepada masyarakat masih sangat minim bahkan terkesan makin tidak dipedulikan, seharusnya pemerintah tahu diri untuk tidak lagi menambah beban masyarakat yang sudah sangat berat.
Karakter Kapitalis
Dalam acara Seminar Nasional yang bertajuk Prospek Ekonomi Indonesia di Pemerintahan Baru: Tantangan, Peluang, dan Catatan, pada 30 Mei 2024, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan bahwa negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat melalui pajak. Untuk itu masyarakat mestinya tidak keberatan membayar pajak karena negara bekerja untuk rakyat.
Faktanya meski sudah membayar pajak, rakyat tetap dikutip berbagai pungutan. Berbagai subsidi yang menjadi hak rakyat malah dicabut dengan alasan membebani APBN. Jika untuk urusan rakyat, pemerintah pelit, tetapi kepada pengusaha termasuk investor asing sangat royal. Untuk IKN, negara rela menggelontorkan Rp71,8 triliun. Bandingkan anggaran APBN untuk pengadaan perumahan rakyat, sepanjang 2024 hingga Mei ini, hanya Rp6 triliun.
Memang demikianlah karakter penguasa dalam sistem kapitalisme, minim empati pada rakyatnya sendiri. Padahal penguasa digaji dari saweran rakyat termasuk kelompok miskin. Namun, karena keberadaan penguasa dalam sistem demokrasi tidak lepas dari dukungan para kapital, akhirnya mereka bisa mengintervensi kebijakan sebagai bentuk balas budi.
Liberalisasi ekonomi adalah konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi. Kepemilikan negara dan rakyat habis dicaplok para kapital tanpa sisa. Mulai dari emas, perak, nikel, batubara hingga air lepas dari pengelolaan negara. Negara makin powerless di hadapan para kapital, tetapi makin galak kepada rakyatnya.
Pandangan Islam
Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar rakyat yang harus ditanggung negara. Dalam Islam, negara tidak boleh memaksa rakyat untuk iuran bagi pengadaan rumah. Rumah adalah salah satu bentuk nafkah yang harus diberikan laki-laki kepada yang berada dalam tanggungannya. Rumah harus menjadi tempat layak huni dari sisi syariat juga memberikan rasa aman dan nyaman. Penguasa mengatur mekanisme kepemilikan rumah mengacu pada syariat Islam agar tersedia dengan harga terjangkau bagi semua kalangan.
Negara tidak boleh mengadakan proyek perumahan demi keuntungan. Rasulullah saw. bersabda,
“Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.” (HR. Muslim)
Usaha negara dalam menyenangkan rakyat tidak hanya dalam persoalan perumahan, tetapi juga dalam hal pangan dan sandang. Para pencari kerja terutama kepala keluarga diberikan lapangan pekerjaan agar bisa memenuhi ketiga bentuk nafkah tersebut. Ketika kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, rakyat akan sejahtera.
Penguasa memikirkan nasib rakyat karena kedudukannya sebagai pelayan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Imam (penguasa) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyat.” (HR. Bukhari)
Semua sumber daya dioptimalkan untuk mewujudkan tata kehidupan sosial yang menenteramkan tidak hanya karena pemenuhan aspek materi, tetapi juga ketakwaan. Negara powerfull memberikan layanan terbaik karena dengan penerapan sistem Islam, negara memiliki kas dalam baitulmal dengan banyak sumber pemasukan sehingga tidak perlu lagi mengumpulkan recehan pajak atau iuran dari rakyat.
Wallahu a'lam bishawab.[]