Jerit rakyat diabaikan demi mewujudkan ambisi-ambisi keji para kapitalis. Bahkan ini salah satu dosa pemerintah yang dipertahankan secara turun-temurun hampir setiap pergantian rezim.
Oleh. Harumi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bak sinetron, derita Papua seolah tak berpenghujung. Serangkaian konflik yang terjadi seakan jauh dari kata tamat.
Muluskan Ambisi Freeport
Selain kabar dari Boven Digoel Papua Selatan yakni pembabatan hutan seluas 36.000 ha demi perkebunan sawit, konflik lainnya datang dari Papua Tengah PT Freeport Indonesia yang sedang dimanjakan pemerintah melalui PP No.25 tahun 2024 yang diterbitkan pada 30 Mei lalu.
PP No.25 tahun 2024 dirilis sebagai ganti dari PP No. 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam peraturan tersebut pada pasal 195 A dan B dijelaskan bahwa perusahaan-perusahaan tambang asing pemegang IUPK dapat memperpanjang kontraknya sampai seumur cadangan alias sampai habis dan dilakukan evaluasi setiap 10 tahun.
Meski ada beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi di antaranya mendivestasi sahamnya sebesar 10% kepada pemerintah Indonesia, inilah yang membuat Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas 61%, serta PTFI harus memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter baru di Papua. Namun, persyaratan ini dinilai hanya akal-akalan pemerintah demi mewujudkan keinginan Freeport. Mengingat Freeport diketahui memiliki tambang baru “Kucing liar” yang belum dieksplorasi dan diprediksi menyimpan kekayaan alam sangat besar.
Menjarah Hak Rakyat
Berdasarkan ringkasan laporan keuangan Freeport McMoRan, tambang Kucing Liar diperkirakan dapat menghasilkan 560 juta pon tembaga dan 520 ribu ons atau 1.474,17 kilogram emas per tahun.
PT Freeport Indonesia menyatakan setidaknya dibutuhkan 10 tahun lamanya hingga tambang ini siap untuk memulai aktivitas produksi. Oleh karena itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) diketahui telah memulai masa pengembangan sejak tahun 2022. Cadangan mineral di Tambang Kucing Liar bahkan belum akan habis hingga Izin Usaha Petambangan Khusus (IUPK) PTFI selesai pada tahun 2041. Sebab, perkiraan kandungan emas, tembaga, dan mineral lain di kawasan tambang tersebut akan bisa diproduksi hingga tahun 2053.
Selain Kucing Liar, PTFI sebenarnya sudah menggarap Grasberg Block Cave (GBC) yang merupakan cadangan tambang yang terletak persis di bawah open pit Grasberg. Selain itu, ada juga blok Deep Mill Level Zone (DMLZ) yang sudah dikembangkan sejak tahun 2016 dan diproyeksikan baru akan habis masa produksi pada 2040 mendatang. (Tvonenews, 2-5-2024)
Sunggu miris, karpet merah yang digelar pemerintah untuk Freeport tidak lain untuk menjarah hak rakyat. Terang saja, hal ini semakin menambah jerit rakyat di bumi bermandikan emas.
Abaikan Jerit Rakyat
Dalam keberhasilan asing menguasai SDA yang notabenenya milik masyarakat, ada peran aktif pemerintah dalam mewujudkan ambisi-ambisi keji para kapitalis. Bahkan ini merupakan salah satu dosa pemerintah yang dipertahankan secara turun-temurun hampir setiap pergantian rezim tidak ada yang berani mengusir para perampok SDA tersebut dengan berbagai alasan.
Perlu diingat sebelumnya pada 2020 kepemilikan saham mayoritas sebesar 51% tidaklah gratis melainkan pemerintah harus membayar kurang lebih mencapai US$3,85 miliar atau setara Rp55,8 triliun saat itu. Sementara pemerintah saat itu tidak mampu membayarkan nominal yang diminta, sehingga opsi yang dipilih adalah menerbitkan obligasi terbesar sepanjang sejarah untuk ditawarkan kepada pasar internasional. Walhasil, utang negara membengkak dalam waktu singkat, lagi-lagi masyarakatlah yang harus menanggungnya.
Padahal kontrak kerja PTFI berakhir pada tahun 2021 yang artinya tinggal menunggu sampai berakhir tahun 2021, maka seluruh eks wilayah PTFI menjadi miliki Indonesia tanpa harus membayar apa pun alias gratis. Sayangnya, penguasa dalam sistem kapitalisme tak peduli dengan jerit rakyat pribumi.
Di sisi lain, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektare tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH). (Kompas, 19-03-2018)
Selain pemanfaatan hutan tanpa izin, dalam dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tercatat bahwa PT. Freeport sejak tahun 1974 hingga 2018 telah mengalirkan limbah tailing melalui sungai Aghawagon dan sungai Ajkwa. Limbah ini kemudian ditempatkan di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 kilometer persegi.
Pembuangan tailing melalui dua sungai ini ternyata diizinkan oleh Pemerintah Provinsi Papua, melalui surat keputusan Gubernur Nomor 540 tahun 2002. Ada empat sungai yang masuk dalam izin itu, yaitu Aghawagon, Otomona, Ajkwa, dan Minajerwi. Dokumen ini juga menyebut, dalam perhitungan limbah tailing yang dihasilkan Freeport adalah 167 juta metrik ton perhari. (VoaIndonesia, 01/02/2023)
Umat Butuh Islam Kaffah
“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu ia meminta kepada beliau konsesi atas tambang garam. Beliau lalu memberikannya kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Apakah Anda tahu apa yang telah Anda berikan kepadanya (Abyadh)? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu mengambil kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tambang apa pun yang dapat mengganggu hajat hidup orang banyak dan jumlahnya berlimpah, maka haram dimiliki oleh pribadi juga haram diklaim oleh negara. Dalam hal ini negara wajib dalam mengelolanya, lalu hasilnya didistribusikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan yang sesuai dengan syariat Islam, pendapatan dari sektor pertambangan yang sangat besar itu termasuk dalam harta milik umum yang dikelola negara dan diserahkan kembali kepada masyarakat. Secara ringkas, perhitungannya keutungan emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD63,5 juta per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gros profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp29 triliun. Adapun tembaga, dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD8.822 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gros profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp159 triliun.
Untuk mewujudkan pengelolaan SDA yang berpihak kepada rakyat, maka negara ini harus diatur syariat Islam bukan oleh aturan dari sistem kapitalisme sebagaimana saat ini yang mengabaikan kemaslahatan malah justru membawa mudarat kepada rakyat.
Ditambah lagi Islam juga akan memberlakukan hukuman yang tegas sebagaimana yang telah ditentukan syariat Islam terhadap para koruptor dan pihak-pihak yang telah terbukti melanggar aturan Islam yang berkaitan dengan kekayaan milik umum (rakyat) dan merusak lingkungan. Proses penegakan hukum yang efisien membuat pelanggaran hukum tidak sampai berlarut-larut dalam jangka waktu lama.
Maka, penerapan syariat Islam dalam lingkup negara menjadi hal yang mendesak untuk diwujudkan di segala bidang kehidupan. Sebabnya jelas, Allah Swt. telah memerintahkan semua muslim tanpa kecuali untuk mengamalkan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah). Insyaallah tak akan dijumpai jerit rakyat di bawah naungan syariat Islam yang terbingkai dalam daulah Khilafah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.[]