Persoalan pangan yang sangat krusial ini masih didominasi oleh swasta atau korporasi yang memiliki kemampuan untuk mempermainkan harga.
Oleh. Afiynoor, S.Kom
(Kontributor NarasiPost.Com & Aktivis Dakwah Surabaya)
NarasiPost.Com-Peraturan terbaru yang terbit tentang harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium, yaitu sesuai Peraturan Bapanas (Perbadan) Nomor 5 Tahun 2024, membuat kenaikan harga beras yang merangkak naik sebelumnya telah ditetapkan menjadi aturan baru (Tirto.id).
Dengan adanya peraturan ini beras premium yang sebelumnya seharga Rp13.900 per kilo menjadi Rp14.900 per kilo untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan. Ternyata untuk harga beras medium HET juga meningkat dari harga sebelumnya Rp10.900 per kilo menjadi Rp12.500 per kilo. Padahal harga beras medium inilah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum.
Harga Beras Meroket
Beras adalah bahan makanan utama (pokok) dari masyarakat Indonesia sehingga naiknya harga beras tentunya memberi dampak yang cukup memberatkan masyarakat. Dengan naiknya HET beras kali ini, membuat rakyat semakin tercekik di tengah-tengah kenaikan harga gula, minyak, dan harga kebutuhan pokok lainnya.
Mengapa hal ini terjadi pada kita, di mana negeri kita adalah negeri yang terkenal dengan tanah pertaniannya yang subur? Bukankah seharusnya kita mampu untuk memenuhi kebutuhan beras secara umum tanpa harus menaikkan harganya? Apalagi di tengah-tengah kenaikan harga beras kali ini pemerintah masih membuka keran impor beras dari negara lain. Apa yang terjadi dengan ketahanan pangan negeri kita sehingga kita masih harus dihujani dengan produk beras negara lain?
Sebagaimana minyak, yang terjadi pada beras adalah hal yang sama, yaitu kelemahan negara dalam menangani persoalan pangan. Di mana persoalan pangan yang sangat krusial ini masih didominasi oleh swasta atau korporasi yang memiliki kemampuan untuk mempermainkan harga. Meskipun beras dihasilkan oleh para petani, tetapi untuk pengolahan dan pendistribusiannya masih berada di tangan swasta. Hal ini membuktikan bahwa peran negara sangat lemah. Termasuk dalam kebijakan impor beras, negara masih bergantung pada kesepakatan antarnegara dan belum bisa mandiri dalam memutuskan persoalan pangan di negeri sendiri.
Negara Abai
Seharusnya negara mulai membangun profil negara mandiri yang tidak mudah untuk dipaksa melakukan sebuah kesepakatan yang dapat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Termasuk profil negara mandiri salah satunya adalah kemampuannya dalam membangun ketahanan pangan. Karena pangan adalah kebutuhan mendasar dari manusia. Bayangkan jika kebutuhan mendasar rakyat sendiri negara tidak mampu untuk memastikan, khususnya ketersediaan pangan, jaminan apa yang bisa diberikan negara untuk memastikan bahwa rakyatnya tidak akan kelaparan?
Solusi dari naiknya harga beras bukanlah mencari alternatif makanan pokok lain yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Bukan menggantinya dengan singkong, sagu, ubi, dan lain-lain. Yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah membangun sebuah sistem yang menjamin ketersediaan pangan termasuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara harus segera menyediakan lahan pertanian yang cukup, baik dari sisi luasan lahan persawahan maupun teknologi pangannya.
https://narasipost.com/teenager/09/2023/harga-beras-naik-lagi-kok-bisa/
Tidak lupa negara juga harus menyediakan pupuk bagi para petani dengan harga terjangkau, jika perlu negaralah yang menyediakan pupuk tersebut sehingga petani bisa menekan harga jual padi yang berimbas pada terjangkaunya harga beras. Yang tak kalah penting adalah memastikan distribusi beras dari produsen ke konsumen berjalan lancar tanpa pihak ketiga seperti tengkulak ataupun kartel beras. Dengan demikian harga beras di pasaran akan menjadi lebih terjangkau dibanding jika harus melewati pihak ketiga terlebih dahulu.
Ketika Hukum Islam Diterapkan
Hal inilah yang telah dilakukan di masa pemerintahan Islam di mana Khalifah Umar bin Khattab memperbaiki saluran irigasi persawahan di Irak di masa paceklik. Sehingga bisa dipastikan tidak adanya kelaparan di wilayah yang terdampak. Hal ini adalah bentuk tanggung jawab dari negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab juga memastikan setiap warganya mendapatkan makanan yang layak sehingga beliau rela memanggul sendiri karung beras itu untuk diberikan kepada seorang ibu yang anaknya sedang kelaparan.
Sangat berbeda dengan saat ini di mana kapitalisme diterapkan. Hal ini terjadi karena kapitalisme membuat negara hanya berfungsi sebagai regulator saja sedangkan untuk persoalan yang lain diserahkan kepada korporasi. Tentu saja yang menjadi kepentingan korporasi adalah keuntungan semata, bukan kesejahteraan rakyat. Jadi wajarlah yang terjadi adalah kerusakan secara sistemis akibat sistem kapitalisme yang rusak. Rakyat dipandang hanya sebagai konsumen, bukan sebagai manusia yang harus diurusi dan dijamin kesejahteraannya.
Sudah saatnya kita harus mengganti sistem yang rusak itu dengan sistem kehidupan yang lebih baik. Yang memandang manusia sebagai manusia, bukan konsumen. Jika dengan naiknya harga beras semakin membuat angka kemiskinan meningkat, maka bukan tidak mungkin akan mengantarkan kepada rendahnya kualitas hidup masyarakat. Dan hal ini sangat aneh jika terjadi di negara kita yang terkenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi. []
Harga beras selalu naik dari waktu ke waktu. Harusnya kalau harga beras naik, petani diuntungkan. Namun, kesejahteraan memang tidak berpihak pada para petani hingga kini.
Petani dari dulu hidupnya miskin padahal menjadi penopang kebutuhan pangan. Negara tidak pernah berpihak pada petani sehingga makin ke sini, makin sedikit anak muda berminat jadi petani. Bagaimana tidak? Di saat panen, negara impor. Lalu harga pupuk mahal, lahan juga makin tergerus oleh pembangunan.