Embung Dieng, Solusi Kekeringan dan Banjir?

Embung Dieng

Jika pembangunan embung Dieng dikapitalisasi tentu berdampak pada warga yang harus merogoh kocek untuk sekadar menikmatinya

Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Guna mengantisipasi banjir yang sering terjadi dan memenuhi kesulitan air saat kemarau, pemerintah Wonosobo akan membangun embung Dieng seluas 4 hektare di kawasan wisata Dieng. Sebagaimana dilansir dari wonosobozone.com (11-6-2024), Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) Kabupaten Wonosobo, Nurudin Ardiyanto, mengatakan, bahwa pembangunan embung Dieng telah dimulai pada awal bulan Juni. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu selaku pelaksana kegiatan. demikian ungkap Nurudin saat ditemui di kantor Setda Wonosobo, Senin, 10 Juni 2024.

Rencananya, embung Dieng akan dibangun di dua lokasi. Pertama, di lahan aset pemerintah, di belakang Taman Syailendra, seluas 8 ribu meter persegi. Di lokasi ini bukan embung, tetapi kolam detensi karena cakupan areanya yang relatif lebih kecil. Sementara yang kedua berada di lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lokasinya tidak jauh dari wisata Telaga Warna dengan cakupan area sekitar 3,29 hektare.

Lahan yang dulunya sebagai Telaga Wurung ini cukup luas, tetapi karena belum difungsikan dengan baik, maka akan dibangun di tempat itu. Embung ini akan difungsikan sebagai sumber utama air pertanian, pusat konservasi sumber daya air, dan memperbaiki sistem irigasi di wilayah tersebut. Hal ini karena wilayah tersebut sering mengalami banjir saat musim hujan dan kelangkaan air pada musim kemarau.

Pembangunan diperkirakan akan menghabiskan anggaran sebesar Rp24 miliar yang dibiayai oleh Kementerian PUPR. Ke depan, diharapkan kolam detensi mampu menampung 3.284 meter kubik dan embung Dieng mampu menampung 4.064 meter kubik air per tahun. Lantas, mengapa harus membangun embung? Bukankah Wonosobo merupakan wilayah yang kaya akan sumber air?

Kering dan Banjir di Kota Kaya Air

Ironis memang, Wonosobo sebagai daerah yang memiliki lima gunung, dan banyak daerah resapan air, nyatanya acap kali mengalami banjir. Daerah pegunungan yang merupakan dataran tinggi sebagaimana Kota Wonosobo, harusnya kecil kemungkinannya untuk terserang banjir. Hal ini karena letak geografis Wonosobo memungkinkan air yang ada tidak akan menggenang, tetapi akan meresap atau terus melaju ke muara.

Selain itu, kekurangan air pun sejatinya tidak pantas dialami oleh wilayah Wonosobo, sebagaimana yang dialami oleh empat kecamatan pada Oktober 2023 lalu (metrotvnews.com, 22-10-2023). Hal ini karena Wonosobo merupakan daerah pegunungan yang berlimpah jumlah mata airnya. Sehingga, tanpa embung pun, jika pembangunan dilakukan dengan kaidah yang benar, maka akan tercukupi semua kebutuhan air warganya.

Namun sayang, ideologi kapitalisme buatan penjajah yang di terapkan di negeri ini, telah membuat rakyat menanggung banyak permasalahan dan derita. Banjir berulang terjadi, dan ironisnya kekeringan masih melanda warga di Kota Hujan Wonosobo. Banyak warga yang tidak terpenuhi kebutuhan airnya, walau sekadar untuk sanitasi. Bahkan, banyak petani yang harus berebut air untuk irigasi.

Tidak heran karena ideologi kapitalisme yang diadopsi negeri ini mengharuskan adanya paham liberalisme alias kebebasan. Di mana, sumber air yang merupakan Sumber Daya Alam (SDA) milik rakyat, dan harus dikelola pemerintah untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, telah diprivatisasi oleh segelintir orang atau perusahaan. Sementara, pemerintah hanya berperan sebagai pemberi izin yang memuluskan perusahaan untuk mengangkangi sumber-sumber air yang ada.

Padahal, pengelolaan SDA yang dilakukan swasta, tentunya tidak memprioritaskan bagaimana terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Karena bagi mereka, yang penting mendapat untung sebanyak-banyaknya. Akhirnya, mereka mengeksploitasi SDA dengan cara ugal-ugalan. Akibatnya, rusaklah hidrologi alam akibat eksploitasi SDA berupa air.

https://narasipost.com/opini/09/2022/islam-solusi-jitu-atasi-bencana-kekeringan/

Inilah dampak dari privatisasi SDA. Di mana, pembangunan untuk kebutuhan air diserahkan pada swasta. Mirisnya, banyak tempat yang telah diprivatisasi oleh swasta termasuk sumber air dan wilayah hutan yang merupakan resapan air. Padahal, siapa pun yang memprivatisasi SDA termasuk air, ia ibarat menguasai harta yang tidak pernah habis. Jika privatisasi SDA tidak dihentikan, niscaya kekayaan dimiliki oleh segelintir orang saja. Yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin kian merana.

Semua itu adalah akibat penerapan ideologi kapitalisme di negeri yang mengaku berideologi Pancasila ini. Di mana, kaum kapitalis dibolehkan memprivatisasi kekayaan alam termasuk sumber air, dan hutan. Bahkan, jika pembangunan embung Dieng pun melibatkan swasta, tentu akan terjadi kapitalisasi. Dampaknya, warga harus membayar berbagai pungutan jika ingin memanfaatkan atau sekadar mengunjunginya.

Pengaturan Air dalam Islam

Di samping agama, Islam juga merupakan sistem kehidupan yang sempurna dalam mengatur segala aspek kehidupan. Dalam sistem Islam, kekeringan maupun banjir yang berulang tidak bisa sekadar diselesaikan dengan teknis, tetapi juga mesti secara politis. Salah satunya, negeri ini harus memiliki pemimpin yang memiliki mafhum raa'wiyah (mindset pengurus). Sayangnya, pemimpin seperti ini tidak akan lahir dari sistem kapitalisme demokrasi. Pemimpin seperti ini hanya hadir jika pemerintah menerapkan sistem Islam.

Dalam sistem Islam, pemimpin adalah orang yang bertakwa. Ia akan berhati-hati dalam kepemimpinannya, karena ia tahu semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Rasulullah saw. bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Bentuk ketakwaan seorang pemimpin adalah menegakkan syariat Islam dalam pemerintahannya sebagai ketundukan pada Tuhannya, Allah Swt.. Sementara dalam mengatur air, syariat Islam menjelaskan bahwa,

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dari hadis ini, Syaikh Abdul Qodim Zallum dalam kitab Al-Amwal menjelaskan bahwa air adalah milik umat yang bisa dimanfaatkan secara langsung. Jadi, sumber air adalah milik umum, dan haram hukumnya untuk diprivatisasi sebagaimana hari ini. Karena itu pula, pemerintah bersistem Islam tidak akan memberikan izin sedikit pun pada pengusaha untuk mendirikan perusahaan air minum dengan memprivatisasi sumber air. Inilah solusi mendasar yang harus ditempuh pemerintah guna menanggulangi kekeringan saat kemarau, dan banjir di kala hujan. 

Meskipun begitu, pemerintah juga tidak menyampingkan solusi teknis. Di antaranya dengan membangun sumber-sumber air, serta memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menciptakan inovasi teknologi guna mencegah banjir maupun kekeringan. Dengan demikian, untuk mengatasi kekeringan dan banjir, tidak cukup diselesaikan secara teknis seperti dengan membangun embung, tetapi juga harus secara politis. Jika rakyat ingin sejahtera serta aman dari kekeringan dan banjir, maka tak ada pilihan lain kecuali negeri ini harus mencampakkan ideologi kapitalisme demokrasi yang gemar memprivatisasi SDA. Selanjutnya, pemerintah menerapkan ideologi Islam yang sudah pasti sempurna karena berasal dari Allah Swt., dan telah terbukti jaya puluhan abad lamanya.

Wallahua'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Erdiya Indrarini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tukar Tahanan, Bukti Tak Tegas dalam Hukuman
Next
Ensefalitis dan Gangguan Mental, Apa Bedanya?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
3 months ago

Kekurangan air di negeri yang kaya air sungguh miris ya. Tapi seperti itulah kalau privatisasi SDA sudah dilakukan. Daerah-daerah resapan air harus berubah fungsi untuk aktivitas lainnya.

Firda Umayah
Firda Umayah
3 months ago

Akibat salah menerapkan sistem dalam kehidupan, daerah yang seharusnya melimpah air pun bisa mengalami kekeringan. Miris sekali.

novianti
novianti
3 months ago

Maksudnya sumber-sumber air di Wonosobo ada yang sudah dikuasai swasta ,ya? Kalau yang pernah saya baca di Sukabumi ada 37 mata air dikuasai perusahaan Aqua. Masyarakatnya mengeluhkan sumurnya kering dan kekurangan air. Apakah seperti itu juga di Wonosobo? Sedih ya, ada sumber air tetapi masyarakat malah tidak bisa akses.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram