BPJS Kesehatan, Alat Memalak Rakyat?

BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan atau JKN sebagai syarat administrasi pengurusan layanan publik hanyalah kamuflase untuk memalak rakyat.

Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-BPJS Kesehatan atau JKN akan menjadi syarat mengurus perpanjangan masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM). Aturan ini akan diuji coba di tujuh daerah, mulai 1 Juni sampai 30 September mendatang. Wilayah daerah kepolisian yang menjadi uji coba aturan ini yakni Polda Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Aturan ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN atau BPJS Kesehatan. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, Nunung Nuryartono juga mengungkapkan bahwa aturan ini untuk meningkatkan prinsip dari JKN atau BPJS Kesehatan itu sendiri, yakni prinsip gotong royong. Ia juga mengungkapkan bahwa nantinya aturan tersebut diharapkan mampu untuk meningkatkan jumlah pengguna JKN.

Aturan tersebut termaktub dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 yang mengatur tentang Perubahan atas Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (CNNIndonesia.com, 03-06-2024).

Aturan Berpolemik

Dari awal kemunculan BPJS Kesehatan atau JKN menjadi syarat pengurusan administrasi layanan publik, seperti pembuatan SIM atau perpanjangan STNK, pada 2022 lalu telah mengalami polemik. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, kebijakan tersebut tidak relevan bahkan adanya syarat BPJS Kesehatan dalam pengurusan layanan publik dapat menghambat masyarakat untuk mendapatkan layanan publik. Ia juga menjelaskan bahwa aturan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (kompas.com, 21-02-2022).

Senada, anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan bahwa dirinya kaget dengan lahirnya Inpres tersebut. Ia mengatakan bahwa keberadaan kebijakan ini justru nantinya akan membuat rakyat terbebani dan sulit untuk mengakses layanan publik. Bagaimana tidak, ketika mereka ingin mengurus SIM, dia harus terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan terlebih dahulu, ketika tidak terdaftar maka pengurusan SIM akan tertunda.

Banyak pakar dan politisi menginginkan agar aturan tersebut dibatalkan. Namun, saat ini aturan tersebut justru dikukuhkan dalam undang-undang.

Kamuflase BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan atau JKN merupakan jaminan layanan kesehatan bagi masyarakat. Keberadaan dari BPJS Kesehatan ini terlihat seolah-olah begitu apik dan sangat bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat, sebab rakyat bisa mendapatkan jaminan kesehatan. Namun, ketika melihat fakta di lapangan, nyatanya jaminan tersebut tidak diberikan oleh negara maupun BPJS Kesehatan. Mengapa demikian? Karena faktanya sebuah jaminan harusnya dijaminkan atau sesuatu, baik barang maupun jasa, diberikan secara gratis atau tanpa kompensasi sedikit pun.

Namun, faktanya hingga saat ini negara atau BPJS Kesehatan tidak memberikan jaminan tersebut. Yang terjadi masyarakatlah yang menjamin diri mereka sendiri dengan premi atau iuran yang dibayarkan setiap bulannya. Dengan kata lain, penguasa tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dengan dalih jaminan kesehatan melalui BPJS.

Sejatinya BPJS Kesehatan atau JKN sebagai syarat administrasi pengurusan layanan publik, seperti perpanjangan SIM, hanyalah kamuflase untuk memalak rakyat yakni menarik cuan dari mereka. Rakyat dibuat tidak berkutik dengan kebijakan tersebut, rakyat harus memiliki SIM untuk syarat mengendarai, jika tidak mereka akan kena tilang yang jumlahnya cukup fantastis atau mereka dikatakan melanggar tata tertib lalu lintas . Di sisi lain, mereka juga diharuskan untuk mendaftar BPJS Kesehatan sebagai syarat untuk mendapatkan layanan publik tersebut.

https://narasipost.com/opini/03/2022/sistem-kapitalisme-mengurusi-rakyat-dengan-setengah-hati/

Alhasil, mau tidak mau masyarakat terperangkap dalam kebijakan yang memberatkan mereka. Apalagi diketahui bahwa pengelolaan BPJS Kesehatan tidak berbanding lurus antara premi atau iuran yang dibebankan dengan layanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS tersebut.

Fakta di lapangan, rakyat harus mengantre untuk mendapatkan layanan kesehatan. Mereka harus ribet mengurus administrasi untuk memenuhi syarat menerima layanan kesehatan yang termasuk dalam pembiayaan BPJS Kesehatan, sedangkan terkadang kondisi nyawa pasien sudah di ujung tanduk. Bahkan sering kali penerima BPJS mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sungguh penguasa seakan tidak kehabisan akal untuk memalak rakyatnya dengan berbagai kebijakan.

BPJS, Kapitalisasi Dunia Kesehatan

Semrawutnya tata kelola sistem kesehatan sejatinya tidak lepas dari sistem kehidupan yang diemban oleh negara ini, yakni sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini meniscayakan adanya kapitalisasi dalam dunia kesehatan. Layanan kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk diberikan kepada rakyat justru dijadikan sebagai ajang mencari cuan.

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan kapitalisme membuat suatu negeri terikat dengan sebuah perjanjian dengan dalih kesejahteraan global. Akan tetapi, sejatinya perjanjian tersebut justru menjadi alat untuk melakukan liberalisasi kepada negara anggotanya.

Seperti adanya General Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan salah satu perjanjian multilateral yang mengatur tentang perdagangan jasa di bawah World Trade Organization (WTO). Ada 12 sektor jasa yang masuk dalam perdagangan tersebut, di antaranya adalah sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, pendidikan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, jasa lainnya, dan tidak ketinggalan adalah jasa komunikasi.

Dari 12 sektor tersebut terlihat jelas bahwa kesehatan menjadi objek perdagangan global. Hal ini membuat sektor kesehatan telah dimainkan untuk menjadi ladang cuan. Begitu pula di Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota WTO sejak 1950. Hal ini membuat Indonesia harus mengikuti permainan global tersebut yakni mengapitalisasi sistem kesehatannya.

Di sisi lain, sistem ini membuat negara bukan lagi sebagai penanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya yakni kesehatan. Negara dijadikan sebagai pemalak rakyat melalui berbagai kebijakan yang tidak masuk akal, bahkan justru menyengsarakan rakyatnya. Negara hanya sebagai regulator yang tunduk akan kepentingan para korporasi.

Jaminan Kesehatan dalam Islam

Islam memandang bahwa kesehatan merupakan salah satu layanan dasar publik yang utama. Ini karena ketiadaan layanan kesehatan akan menimbulkan kemudaratan atau bahaya bagi masyarakat. Oleh karenanya, negara wajib menjamin terpenuhinya layanan kesehatan tersebut tanpa kompensasi alias diberikan kepada rakyat secara gratis. Bahkan proses pelayanan kesehatan harus dilakukan dengan layanan terbaik dan tidak berbelit, sebab prinsip utama layanan kesehatan adalah kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan. Ini sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah,

“Imam/Khalifah adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).

Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara gratis jelas membutuhkan biaya yang besar. Oleh karenanya, Islam memiliki pos pemasukan dan pengeluaran negara secara jelas dan tetap yang berada di bawah institusi baitulmal. Pembiayaan untuk memenuhi seluruh layanan dasar publik, salah satunya kesehatan, mulai dari penyediaan pendidikan kesehatan untuk menghasilkan para dokter dan bidan yang kompeten, pendirian laboratorium untuk riset dan penelitian, industri obat-obatan hingga sarana dan prasarana yang canggih untuk menunjang kesuksesan dalam dunia kesehatan diambil dari baitulmal. Pos pemasukan baitulmal untuk layanan publik didapatkan dari hasil pengelolaan sumber daya alam.

Namun, ketika kas baitulmal kosong, kewajiban pemenuhan kebutuhan kesehatan jatuh pada seluruh kaum muslim yakni dengan cara negara memberlakukan pajak (dharibah). Pajak ini khusus dan bersifat sementara. Maksudnya, pajak hanya diberlakukan kepada kaum muslim yang kaya dan untuk membiayai masalah yang genting pada waktu itu saja. Setelah kebutuhan yang tersebut telah terpenuhi, penarikan pajak dihentikan.

Khatimah

Sejatinya sengkarut sistem kesehatan saat ini merupakan akibat dari sistem yang diemban oleh negara. Sistem ini membuat negara yang kaya akan sumber daya alam menjadi miskin tidak berdaya dan rakyat pun dibuat menderita sebab tujuan dari sistem kapitalisme adalah keuntungan materi bagi penguasa dan kroninya, bukan kemaslahatan rakyat.

Oleh karenanya, sudah saatnya kaum muslim sadar bahwa satu-satunya yang bisa memberikan jaminan kesehatan adalah sistem Islam. Islam menjadikan negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar publik, salah satunya kesehatan. Wallahua'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
IUP untuk Ormas, Manfaat atau Mafsadah?
Next
Dunia Pendidikan di Tangan Sekularisme: Celaka, Guys!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram