"Sekolah sebagai sebuah lembaga yang seharusnya fokus pada pendidikan ilmu dan akidah siswa, nyatanya tak lepas dari gaya hidup hedonis yang mengutamakan prestise ketimbang prestasi. Rangkaian acara seremonial menjelang kelulusan yang glamor dan mewah marak diadakan, meskipun memberatkan wali murid. Sebuah prosesi yang mubazir dan tidak efisien."
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Beberapa tahun terakhir banyak masyarakat mengeluhkan prosesi wisuda yang diikuti siswa mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SMA. Awalnya wisuda hanya diterapkan pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi, namun euforia orang tua terhadap kelulusan putra putri tercinta, memandang perlu mengadakan prosesi wisuda di tingkat pendidikan yang lebih rendah. Jika awalnya hanya sekadar merayakan kelulusan, belakangan wisuda menjadi semacam hal wajib yang dibebankan kepada para siswa dengan biaya yang tidak sedikit.
Dilansir dari Cnnindonesia.com (17/06/2023), masyarakat di wilayah Yogyakarta yang keberatan dengan biaya wisuda mengajukan aduan keberatan kepada Forum Pemantau Independen Kota Yogyakarta dan Ombudsman RI daerah Yogyakarta.
Besarnya Beban Biaya
Banyak orang tua merasa keberatan dengan biaya wisuda yang dibebankan oleh sekolah. Besaran biaya ini cukup bervariatif, mulai dari Rp400.000 untuk tingkat TK sampai dengan Rp1.500.000 untuk tingkat SMA. Biaya tersebut untuk membeli kelengkapan atribut wisuda seperti jubah dan topi toga, selempang kelulusan, sewa gedung, konsumsi, buket untuk guru dan kakak kelas yang lulus, dll.
Wisuda yang dilaksanakan di hotel berbintang atau gedung mewah jelas membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar ketimbang diadakan secara sederhana di gedung sekolah. Sayangnya, banyak pemangku kebijakan sekolah yang mengabaikan fakta ini dan tetap menghelat prosesi demi gengsi dan ajang unjuk pamor sekolah.
Esensi Wisuda
Sebenarnya wisuda merupakan prosesi kelulusan mahasiswa dari sebuah universitas karena telah tuntas menempuh proses belajar. Prosesi yang sakral mengingat perjuangan yang tidak mudah dan proses panjang yang harus ditempuh seorang mahasiswa demi mendapat predikat lulus. Pada pelantikan wisuda, ada satu momen sakral yang tidak boleh dilewatkan, yaitu seremoni pemindahan tali toga dari kiri ke kanan. Hal ini merupakan simbolisasi harapan jika semasa kuliah lebih banyak menggunakan otak kiri atau hard skill, maka setelah lulus seorang sarjana akan lebih banyak menggunakan otak kanannya yang berhubungan dengan kreativitas, inovasi, dan berbagai soft skill lainnya.
Filosofi inilah yang mendasari perlunya prosesi wisuda hanya diterapkan di jenjang perguruan tinggi. Untuk jenjang pendidikan di bawahnya, sebaiknya cukup dengan acara sederhana sebagai pemberitahuan kepada orang tua tentang capaian hasil belajar anak selama menempuh pendidikan di sekolah.
Kontaminasi Gaya Hidup Hedonis
Sifat konsumtif di kalangan masyarakat saat ini tak pelak mendukung gaya hidup hedonis. Berlebih-lebihan, boros, dan pamer kekayaan (flexing) sudah dianggap hal yang lumrah. Semua ini terjadi akibat sistem kapitalisme. Di dalam sistem ini, pendidikan dianggap sebagai komoditas yang bisa dimonetisasi sebagaimana komoditas ekonomi lainnya. Penerapan sistem kapitalisme juga telah menjadikan lembaga pendidikan atau sekolah sebagai lahan bisnis yang menyebabkan sekolah lebih berorientasi mencari keuntungan berupa materi.
Sekolah sebagai sebuah lembaga yang seharusnya fokus pada pendidikan ilmu dan akidah siswa, nyatanya tak lepas dari gaya hidup hedonis yang mengutamakan prestise ketimbang prestasi. Rangkaian acara seremonial menjelang kelulusan yang glamor dan mewah marak diadakan, meskipun memberatkan wali murid. Sebuah prosesi yang mubazir dan tidak efisien.
Mirisnya lagi, prosesi glamor ini tidak diimbangi dengan pencapaian prestasi dunia pendidikan kita. Tingkat literasi kita masih sangat rendah. Menurut UNESCO berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia dengan minat baca masyarakat sebesar 0,001 persen. (barisan.co, 09/03/2023). Peringkat pendidikan Indonesia juga tak jauh beda. Berdasarkan data Worldtop20.org, pada 2023 pendidikan Indonesia berada di peringkat ke 67 dari 209 negara di dunia.
Pendidikan dalam Islam
Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Pendidikan adalah hak rakyat dan dijamin sepenuhnya oleh negara. Pendidikan adalah kebutuhan primer yang wajib dijamin oleh negara sebagaimana hak akan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Dengan demikian negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis bagi rakyat. Pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam Islam karena menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap individu muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Baihaqi)
Sistem pendidikan Islam berlandaskan akidah Islam. Aspek keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik. Sikap bersahaja dan kanaah juga harus diajarkan kepada anak didik sejak dini, karena Allah Swt. tidak menyukai hamba yang boros dan berlebihan. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat," (HR. Ahmad). Hadis ini menjelaskan pentingnya berhemat, orang yang selalu berhemat tidak akan menjadi beban orang lain atau menjadi miskin.
Sejatinya, setiap jenjang pendidikan adalah suatu proses yang berharga dan bersejarah. Sudah sepatutnya diapresiasi, asalkan tidak dengan cara yang berlebihan. Demi generasi masa depan, kita harus mengembalikan pendidikan ke arah pendidikan akidah dan karakter anak, serta menjauhkan mereka dari perilaku boros, konsumtif, dan berlebihan.
Wallahu’alam bish shawab[]
Ketika hedonis sudah masuk ke ranah pendidikan, ya jadinya seperti ini. Astaghfirullah
berharap bisa merasakan pendidikan berbasiskan sistem Islam.. tapi dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, nilai keislaman itu justru hendak dipadamkan.. mustahil.
Target pendidikan dalam sistem kapitalisme memang bukan membentuk kepribadian Islam. Pendidikan sekuler yang menjauhkan Tuhan, telah menghasilkan anak didik yang minim akhlak dan prestasi. Lebih menyedihkan, pendidikan justru jadi ajang bisnis. Maka tak heran, seremonial seperti wisuda yang menghamburkan biaya, justru banyak dilakukan.
Bukan hanya tradisi wisuda jenjang pendidikan dari TK hingga SMA yang memberatkan, namun masih banyak tradisi di dunia pendidikan yang makin hari, makin terasa berat bagi orang tua yang tidak mampu. Seperti pemberian amplop saat pembagian raport, iuran untuk kenang-kenangan berupa emas untuk wali kelas setiap kenaikan kelas. Bahkan tiap momen selalu iuran yang menurut orang tua tidak penting. Seperti merayakan ulang tahun guru, perayaan hari guru, dan lainnya. Namun faktanya sulit dihindari tradisi tersebut. Entah siapa yang memulai tradisi tersebut. Gaya hedonis di pertontonkan sejak tingkat pendidikan dasar.
Umat Islam terjebak dalam gaya hidup hedonis kapitalis hingga lupa esensi. Sempat ramai di sosmed tentang ini, bukan wisudanya tapi biaya yang harus dikeluarkan ketika wisuda itu lumayan. Karena tak semua orang tua mampu atau memiliki kelebihan uang. Ada yang sampai pinjam sana-sini. Jadi minim empati, miris.
Benar banget, setiap jenjang pendidikan itu adalah suatu proses yang berharga dan bersejarah. Sudah sepatutnya diapresiasi, asalkan tidak dengan cara yang berlebihan. Demi generasi masa depan, kita harus mengembalikan pendidikan ke arah pendidikan akidah dan karakter anak, serta menjauhkan mereka dari perilaku boros, konsumtif, dan berlebihan. Suatu hal yang berlebihan itu tidak akan baik dan berdampak buruk seperti halnya kelulusan saat ini yang menghamburkan kemeriahan diatas kesusahannya ekonomi sebagian orangtua siswa... Miris!!!!
Pendidikan dalam dunia kapitalisme menjadi ajang bisnis yg menggiurkan. Selama ada celah utk menghasilkan keuntungan sikat. Gak peduli kondisi muridnya ada atau tak berpunya. Disadari atau tdk dalam pendidikan sekuler liberal telah ajarkan jadi hedonis, boros, konsumtif dll.
Betul sist, gak hanya wisuda, study tour ke luar kota bahkan luar negeri, dan acara yang tidak ada relevansinya dengan proses belajar sebaiknya ditinjau ulang
Makin rindu dengan sistem Islam.