Perpanjangan Masa Jabatan KPK, untuk Kepentingan Siapa?

"Kapitalisme yang mengedepankan nilai materi sebagai standar kebahagiaan telah menyeret manusia untuk berlomba mendapatkannya tanpa memikirkan pertanggungjawabannya. Kekuasaan dimanfaatkan untuk mendapatkan materi, juga kepentingan kroninya."

Oleh. Suryani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Akhirnya gugatan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, tentang perpanjangan masa jabatan pimpinannya dari empat menjadi lima tahun dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan itu dibuat karena MK menilai jabatan pimpinan KPK selama empat tahun bersifat diskriminatif dan dipandang tidak adil bila dibanding dengan komisi dan lembaga independen lainnya. Putusan di atas langsung menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk DPR dan para pakar hukum tata negara. Mereka merasakan banyak keanehan yang sangat kental dengan nuansa politik.

Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai bahwa hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan tersebut telah menyimpang dari dua pasal UU KPK yang mengatur syarat batas usia calon pimpinan dan periodisasi jabatannya. Bahkan, ia menyatakan bahwa hal tersebut tidak masuk akal. (CnnIndonesia.com, 26/5/2023)

Kontroversi keputusan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK sangatlah wajar. Apalagi, Firli selama empat tahun menjabat tidak lepas dari perbincangan, karena berulang kali dilaporkan atas dugaan pidana maupun pelanggaran kode etik dan memiliki hubungan erat dengan para koruptor. Putusan MK disinyalir banyak pihak sebagai upaya penyelamatan. Mengingat, tahun ini jabatan Firli Bahuri cs akan berakhir.

Demikianlah, jabatan atau kekuasaan dalam sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme yang mengedepankan nilai materi sebagai standar kebahagiaan telah menyeret manusia untuk berlomba mendapatkannya, tanpa memikirkan pertanggungjawabannya. Kekuasaan dimanfaatkan untuk mendapatkan materi, juga kepentingan kroninya. Sehingga pembelaan bukan lagi didasarkan atas standar benar salah, tetapi atas dasar kepentingan. Selama memberikan maslahat, maka akan dibela walaupun nyata-nyata melakukan kesalahan.

Standar benar salah dalam kapitalisme menjadi bias karena mengikuti kepentingan. Di samping itu, kekuasaan atau jabatan sering kali digunakan untuk menekan yang lemah atau yang dianggap lawan.
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, telah menjadikan rasa takut kepada Allah dalam diri para pejabat seolah sirna berganti dengan kesibukan untuk memperkaya diri dan mempertahankan kedudukannya, bukan menjalankan amanah yang menjadi tanggung jawabnya. Maka wajar dalam sistem kapitalisme, seseorang yang mendapatkan amanah menyelesaikan korupsi, dirinya sendiri bisa korupsi, melindungi koruptor, melakukan suap-menyuap, bertindak diskriminatif, tidak berlaku adil, atau hal lainnya.

Berbeda dengan jabatan atau kekuasaan dalam Islam. Ia digunakan sebagai sarana untuk mengurusi urusan rakyat melalui hukum-hukum syariat yang diterapkan negara. Hal itu semata untuk melayani umat dan menegakkan keadilan. Sebagaimana permintaan Rasulullah saw. kepada Allah Swt. dalam surah Al-Isra ayat 80 yang artinya, "Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong."

Karena, tidak ada kemampuan untuk menegakkan agama dan keadilan kecuali dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan merupakan sarana untuk menerapkan hukum dan syariat Allah. Dalam Islam kekuasaan dan agama ibarat dua sisi mata uang. Bila kekuasaan tidak dibimbing agama, maka akan digunakan untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Sedangkan, agama tanpa kekuasaan berarti hilang penjaganya. Sehingga, banyak syariat Allah Swt. yang terabaikan seperti saat ini.

Kekuasaan atau jabatan dalam Islam hanya layak diberikan kepada orang-orang yang memiliki keimanan disertai kemampuan. Keimanan harus ada di poin pertama sebelum kemampuan. Mengingat, beratnya tanggung jawab dan hisab di akhirat. Sehingga kekuasaan dalam Islam tidak diperebutkan.

Maka dari itu, penguasa ataupun pejabat yang terpilih akan benar-benar orang yang mempunyai kemampuan yang mumpuni dalam mengurus negara dan rakyatnya, mempunyai keimanan yang kokoh, serta paham betul akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Sehingga tidak mudah tergiur oleh hal-hal yang melanggar syariat. Terkait hal ini, Rasulullah saw. dalam sebuah hadis pernah berkata kepada Abu Dzar radiallahu anhu, "Sungguh engkau itu lemah, sungguh jabatan/kekuasaan itu amanah. Sungguh amanah kekuasaan itu akan menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat kecuali yang mengambil amanah kekuasaan tersebut dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya." (HR Muslim)

Hadis ini menjadi dorongan ruhiyah yang kuat bagi para penguasa untuk senantiasa menjalankan amanahnya dan tidak mudah tergiur oleh iming-iming dunia. Apalagi menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Untuk memastikan hal tersebut negara senantiasa memastikan semua kebutuhan pokok mereka terjamin melalui gaji/tunjangan yang diterimanya, juga kebutuhan dasarnya berupa kesehatan, pendidikan, keamanan diperoleh secara gratis diberikan negara.

Selain itu, negara senantiasa melakukan monitoring jumlah kekayaannya. Agar bilamana ada kelebihan harta yang tidak wajar segera terdeteksi dan segara ditindak. Begitu juga umat senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan dan menjaga budaya amar makruf nahi mungkar. Ini menjadi ciri khas masyarakat dalam Islam, termasuk mengoreksi para penguasanya, dan hal tersebut memang sudah menjadi kewajiban setiap muslim. Semua berjalan karena elemen masyarakat memahami politik Islam dan merealisasikannya.

Hal ini hanya bisa terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah. Maka dari itu, kewajiban kita semua untuk sama-sama memahamkan masyarakat akan politik dan makna kekuasaan dalam Islam. Sehingga, umat paham dan merindukan kepemimpinan yang sahih untuk dapat mengurusi negara dan rakyatnya sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu alam bi ash sawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Suryani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tetanus, Benarkah karena Karat?
Next
Bullying dalam Bayangan Kelam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, perpanjangan masa jabatan KPK tak menjadi jaminan korupsi akan mampu diberantas tuntas. Selama jabatan tak ditopang oleh aturan dan keterikatan dengan syariat Islam, selama itu peluang kegagalan sistem demokrasi akan selalu hadir.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram