”Kebijakan Bioetanol tak layak untuk memenuhi kebutuhan energi di masyarakat, sebab agenda ini dijalankan dengan konsep kapitalisme neoliberalisme yang justru merenggut hak masyarakat untuk mendapatkan kemudahan mengakses sumber energi.”
Oleh. Hanum Hanindita, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bahan bakar minyak (BBM) jenis baru, yaitu Bioetanol rencananya akan dijual bulan ini oleh PT Pertamina (Persero). Bioetanol adalah Pertamax dicampur dengan etanol yang berasal dari produk samping tebu. Hal ini pertama kali diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati kepada awak media belum lama ini. Nicke mengatakan bahwa perusahaan akan menjual Bioetanol. Lalu muncul pertanyaan terkait harga Bioetanol saat dijual resmi. Apakah akan lebih mahal dari Pertamax ? VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso memperkirakan bahwa harga Bioetanol akan lebih mahal dari Pertamax, namun belum ditetapkan harga resminya. Presiden Joko Widodo telah merilis Program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi pada November 2022 dan diharapkan dapat menjadi solusi peningkatan jumlah produksi Bioetanol nasional yang semula 40 ribu kiloliter di tahun 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter di tahun 2030 dan menjadi potensi campuran BBM jenis minyak bensin (finance.detik.com, 09/06/23).
Perbedaan Bioetanol dengan Pertamax
Dilansir dari Pertamina.com, Pertamax adalah bahan bakar bensin berstandar internasional dengan angka oktan paling sedikit 92. Bahan bakar ini menjadi salah satu yang sangat direkomendasikan untuk kendaraan dengan kompresi rasio 10:1 sampai 11:1 atau kendaraan berteknologi setara Electronic Fuel Injection (EFI). Pertamax memiliki teknologi ecosave sehingga mampu membersihkan bagian dalam mesin. Pertamax Pertamina dengan angka oktan 95 juga dilengkapi dengan kandungan pelindung anti karat untuk dinding tangki kendaraan, ruang bakar mesin dan saluran bahan bakar, serta menjaga kemurnian dari campuran air supaya pembakaran berjalan lebih sempurna.
Sementara itu, Bioetanol merupakan bahan bakar yang diklaim ramah lingkungan sebab menggunakan campuran Pertamax (RON 95) dan 5 persen etanol. Peneliti dari Program Studi Teknik Mesin Universitas 17 Agustus 1945, Yos Nofendri pernah melakukan penelitian terkait sifat dan karakteristik Pertamax 95 persen dengan etanol sebanyak 5 persen pada 2018 di mana ini serupa dengan formulasi BBM Bioetanol Pertamina, hasilnya adalah sebagai berikut :
- Penurunan torsi dan daya mesin 5 persen.
- Menghemat pemakaian bahan bakar hingga 15,8 persen.
- Penambahan 5 persen etanol bisa meningkatkan efisiensi mesin sebanyak 10,9 persen.
Peluncuran Bioetanol, Kepentingan Siapa?
Pengembangan energi baru terbarukan termasuk Bioetanol ini termasuk program yang masuk ke dalam roadmap energi nasional. Pemerintah pun mengerahkan berbagai langkah dan kebijakan terkait pengadaan Bioetanol. Kemudian muncul pertanyaan apakah peluncuran Bioetanol mampu menjawab kebutuhan energi di masyarakat secara menyeluruh atau justru sebaliknya? Jika kita cermati banyak persoalan yang dihadapi dalam mewujudkan kebijakan transisi energi ini, bahkan konsep yang melatarbelakangi agenda ini pun bermasalah, dan juga kepentingan siapa yang sebenarnya ada di balik kebijakan terkait Bioetanol ini.
Pertama, bahan baku Bioetanol yang berasal dari produk samping tebu. Hal ini sungguh ironis, sebab hingga hari ini Indonesia sendiri masih melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri dan juga industri. Bahkan, Indonesia termasuk negara pengimpor gula terbesar di dunia. Artinya, produksi tebu di Indonesia sebagai bahan baku gula masih rendah sampai masih mengandalkan impor. Bisa dibayangkan jika program Bioetanol digencarkan oleh pemerintah sementara di sisi yang lain pemenuhan kebutuhan gula masih kurang, maka dari mana kita akan mendapatkan pemenuhan untuk Bioetanol.
Kedua dari sisi teknologi yang dibutuhkan untuk mengolah Bioetanol. Hal ini akan berdampak pada anggaran yang harus disediakan dalam jumlah yang besar. Mulai dari proses produksinya kemudian sampai dengan ke pendistribusian ke SPBU Bioetanol itu sendiri. Belum lagi kebutuhan dana lainnya. Sementara kita ketahui, Indonesia sendiri hingga kini masih terjebak dengan utang asing yang jumlahnya sangat tinggi.
Ketiga, harga yang ditawarkan ke masyarakat. Kebijakan ini sepatutnya kita pertanyakan apakah memang penyediaan energi dengan Bioetanol ini akan menjamin seluruh masyarakat Indonesia mampu menjangkaunya dengan harga yang murah. Sebagaimana pernyataan yang banyak disampaikan di media, Bioetanol ini harga jualnya masih tinggi. Jika demikian, Bioetanol hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja, masyarakat biasa tentu akan merasa berat. Kalau begini, tentunya program tersebut bisa dikatakan bukanlah untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Jika bukan untuk masyarakat, muncul pertanyaan kepentingan siapa yang dimenangkan dalam kebijakan ini? Sebagaimana kita ketahui saat ini sistem kapitalisme neoliberalisme tengah menjadi penguasa sesungguhnya di negeri ini. Dengan sistem inilah kemudian membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk mengambil alih pengadaan dan pendistribusian Bioetanol sehingga dijalankan dengan konsep korporatisasi. Konsep ini hanya akan berorientasi mencari keuntungan sementara pelayanan dalam rangka pemenuhan energi bagi masyarakat tidak akan menjadi prioritas perhatian. Penguasa di negeri ini hanya berperan sebagai regulator yang mengatur hubungan masyarakat dengan para pemilik modal. Inilah yang terjadi jika peran politik ekonomi dalam mengurus sebuah negara dikendalikan oleh kapitalis.
Maka dari sini, kebijakan Bioetanol tak layak untuk memenuhi kebutuhan energi di masyarakat, sebab agenda ini dijalankan dengan konsep kapitalisme neoliberalisme yang justru merenggut hak masyarakat untuk mendapatkan kemudahan mengakses sumber energi. Kebijakan ini tidak lepas dari hegemoni kapitalisme yang melakukan penjajahan secara ekonomi melalui penguasaan terhadap sumber daya energi milik negeri ini.
Konsep kapitalisme neoliberalisme memang telah membuka pintu lebar bagi pengusaha lokal maupun asing untuk mengelola dan memonopoli sumber energi. Hal ini menjadikan sebagian besar sumber daya negeri ini dikuasai oleh pengusaha yang berarti kehidupan masyarakat akan semakin terancam. Hal ini diperparah dengan kebijakan negara yang begitu memihak dengan kepentingan korporasi, sehingga lahirlah bermacam kebijakan yang penuh dengan kepentingan bisnis.
Islam Mengelola Sumber Daya Energi untuk Rakyat
Islam memiliki konsep dasar yang berlawanan dengan kapitalisme neoliberalisme dalam mengelola sumber energi, termasuk BBM. Di dalam Islam, penguasa berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan tidak bergantung pada konsep atau agenda yang dilancarkan oleh kapitalis global. Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatasi persoalan energi di negeri ini tanpa campur tangan asing. Sistem pengelolaan sumber daya energi dalam Islam dijalankan semata untuk kemaslahatan umat manusia. Pihak pengusaha lokal maupun asing tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengeruk sumber daya energi yang merupakan kepemilikan umum seluruh rakyat . Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput (hutan), dan api (energi).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Penguasa akan memanfaatkan sepenuhnya sumber daya energi yang Allah ciptakan, termasuk sumber daya migas. Ketika sumber daya migas dinilai menghasilkan emisi karbon yang tinggi maka negara berkewajiban menggunakan teknologi yang paling baik sehingga tidak dihasilkan emisi karbon. Bila negara mengembangkan energi alternatif, tentu tidak boleh mengembangkan dengan prinsip-prinsip yang merugikan umat. Misalnya memberikan efek kerusakan lingkungan, pencemaran, kesulitan bahan pangan, ketergantungan impor, dan lain sebagainya. Kemudian sumber daya energi harus dikelola dengan sistem ekonomi Islam. Energi adalah harta milik umum sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Prinsip yang digunakan di dalam pengelolaan sumber daya energi ini bertujuan hanya untuk pelayanan kepada umat, bukan dalam rangka bisnis.
Untuk bisa melaksanakan semua itu dimulai dengan diterapkannya sistem politik negara yang sahih yang sesuai dengan pandangan Islam. Negara berperan penuh sebagai pelayan yang mengurus segala kebutuhan umat sekaligus pelindung bagi mereka. Negara tidak boleh menjadi regulator yang berbisnis dengan rakyatnya. Hal yang tidak kalah penting adalah negara harus memiliki kemandirian sikap dan tidak boleh tunduk pada agenda kapitalisme. Dengan cara inilah maka ketahanan energi akan terwujud dan pemenuhan energi untuk masyarakat pun terpenuhi.
Wallahu a’lam bish-shawab.[]
sistem kapitalisme hanya akan selalu menguntungkan kaum kapitalis dan merugikan rakyat..
Sistem kapitalisme tak akan mendukung suara rakyat mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, bukan masyarakat seperti kita ini. Dan kita lah yang akan menjadi korban dari kerugian sistem kapitalisme. Itulah mengapa pentingnya kembali kepada aturan Islam agar semua masalah terselesaikan
Lagi kebijakan yang akan merugikan rakyat! Sistem kapitalisme selamanya tidak akan memihak kepada rakyat kecil. Segala SDA yang ada di negeri ini digunakan untuk kepentingan segelintir orang oleh penguasa yang licik lewat kebijakannya.