"Persoalan ini tidak hanya sebatas mengenai istilah "marketplace" yang tidak tepat karena menyejajarkan tenaga pendidik layaknya barang dagangan. Lebih dari itu, program ini sebenarnya lahir dari paradigma kapitalistik, sehingga pasarlah yang menentukan sistem pendidikan ini mau dibawa ke arah mana. Sementara, negara hanya sebatas regulator, bukan pengurus dan pelayan umat."
Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) kembali disorot usai mencetuskan ide barunya berupa Marketplace Guru untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun, benarkah program tersebut mampu mengatasi problem mendasar terkait ketidakmerataan guru? Lalu, bagaimana Islam memandang dalam persoalan tersebut?
Nadiem mengklaim bahwa Marketplace Guru sebagai upaya untuk mengatasi masalah tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun. Ia akui rencana tersebut telah dibahas bersama tiga kementerian lain, di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi, dan Kementerian Dalam Negeri. Bahkan, rencana ini telah disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI dan rencananya program ini akan rilis pada 2024.
Dijelaskan Nadiem, Marketplace Guru merupakan basis data dengan dukungan teknologi agar calon guru bisa diakses oleh semua sekolah. Platform ini disebut sebagai media atau wadah perekrutan guru, di mana pihak sekolah bisa mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan mengundangnya sesuai kebutuhan sekolah. (Liputan6.com, 3/6/2023)
Tak ayal, program baru yang disampaikan Nadiem menuai kritik dari Pengamat Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS), Triyanto. Ia menyampaikan penggunaan diksi "marketplace" dinilai menurunkan marwah guru sebagai pendidik dan membuat kedudukan guru semakin tidak terhormat. Padahal, guru merupakan profesi yang mulia sehingga tidak tepat jika guru ditempatkan layaknya barang dagangan.
Ia pun menegaskan bahwa Marketplace Guru tidak sepenuhnya mampu menangani persoalan guru, mengingat begitu kompleksitasnya persoalan tersebut yang dihadapi bangsa ini. Ada beberapa persoalan guru yang harus diselesaikan.
Pertama, perlu ditingkatkan kualitas calon guru, sebab tak dimungkiri kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru.
Kedua, tidak meratanya distribusi guru. Banyak sekolah mengeluh kekurangan guru, tetapi di sisi lain lulusan PPPK dan PPG justru kesulitan mendapatkan penempatan. Hal ini, menimbulkan pertanyaan besar, apakah pemerintah tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk membiayai hal tersebut?
Ketiga, adanya keterbatasan dana baik di sekolah negeri maupun swasta jika program Marketplace Guru dijalankan. Sekolah harus mampu membayar guru secara layak jika guru dipajang di marketplace. Namun, nyatanya tidak semua sekolah mampu untuk sampai pada tahap tersebut.
Tidak Menyelesaikan Persoalan Mendasar
Program Marketplace Guru sejatinya tidak mampu menyelesaikan persoalan mendasar terkait ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidik dan ketimpangan nasib guru honorer. Alih-alih menyelesaikan masalah, platform ini berpeluang memperkeruh persoalan, mengapa?
Pertama, jika sekolah diberikan wewenang dalam perekrutan ASN, maka sangat berpeluang terjadinya nepotisme dan menyuburkan transaksi "sogok-menyogok". Sebab, sekolah dengan kewenangannya bisa leluasa memilih guru yang dikehendaki baik melalui jalur kekerabatan ataupun menentukan bayaran lebih bagi siapa saja yang mampu.
Kedua, persoalan penyebaran guru tidak mampu diselesaikan dengan platform Marketplace Guru. Tersebab, tenaga pendidik honorer tentu tidak mau mendaftar ke sekolah-sekolah di pelosok desa karena tidak adanya jaminan kesejahteraan juga fasilitas sekolah jauh berbeda dengan di kota.
Pada akhirnya, sekolah-sekolah dengan fasilitas terbaiklah yang akan mampu merekrut tenaga pendidik berkualitas. Sebaliknya, sekolah yang memiliki keterbatasan baik dari sisi dana, fasilitas, serta jauh dari perkotaan harus siap menerima apa adanya. Ini artinya, Marketplace Guru justru makin mewujudkan kesenjangan antarsekolah.
Ketiga, teralihkannya spesifikasi dan kompetensi guru hanya pada prestasi-prestasi akademik seperti penelitian dan semacamnya, bukan pada kualitas pengajaran. Padahal, yang dibutuhkan pelajar adalah transfer ilmu dengan baik kepada mereka. Kondisi ini, bukankah bisa mengancam kualitas generasi?
Akar Persoalan
Jika diteliti kembali, persoalan ini tidak hanya sebatas mengenai istilah "marketplace" yang tidak tepat karena menyejajarkan tenaga pendidik layaknya barang dagangan. Lebih dari itu, program ini sebenarnya lahir dari paradigma kapitalistik sehingga pasarlah yang menentukan sistem pendidikan ini mau dibawa ke arah mana. Sementara, negara hanya sebatas regulator bukan pengurus dan pelayan umat.
Padahal, mendapatkan pelayanan pendidikan merupakan hak semua warga negara, baik kaya maupun miskin. Namun, jika pendistribusian guru itu diserahkan ke pasar, maka hanya yang kayalah yang mampu mendapatkan guru yang berkualitas.
Sistem kapitalisme juga menjadikan motivasi individu guru hanya meraih materi semata. Karena, pengabdian ilmu mereka dipandang sebagai layanan jasa yang di perdagangkan. Makin berkualitas, bayaran mereka pun akan makin mahal. Demikian pun dalam aspek kompetisi antarsekolah. Kompetisi ini menjadikan anak didik hanya fokus pada prestasi di banyak bidang. Sehingga, tujuan mulia dari sistem pendidikan untuk melahirkan anak didik yang bermanfaat untuk umat akhirnya terlupakan.
Bukti Negara Lemah
Program ini membuktikan kegagalan negara dalam mengatur distribusi guru. Seharusnya dengan kewenangan dan kemampuannya, pemerintah mampu mengatasi persoalan tersebut dengan mendistribusikan guru secara langsung ke setiap wilayah sesuai spesifikasi dan kompetensinya. Hal ini karena, pemerintalah yang memiliki data akurat sehingga ketimpangan guru akan terasa.
Tidak adanya jaminan kesejahteraan menjadi penyebab guru tidak mau ditempatkan di pelosok desa. Andai saja pemerintah menjamin semuanya, tentu persoalan ketimpangan guru tidak akan terjadi. Begitu pula, masalah guru honorer yang jumlahnya banyak, mereka akan cepat tersalurkan.
Persoalan tersebut mustahil teratasi dalam negara kapitalistik. Sistem keuangan negara ini sangat lemah, di mana seluruh pembiayaan penyelenggaraan negara hanya mengandalkan utang, akibatnya APBN terus mengalami defisit. Kondisi ini, pada akhirnya tidak akan mampu menyejahterakan para guru dan memberikan fasilitas sekolah yang berkualitas secara merata.
Islam Menjamin Kesejahteraan Guru
Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dijamin oleh negara tanpa ada perbedaan. Dengan kekuatan baitulmal, negara akan mengatasi ketimpangan fasilitas di kota maupun di desa dengan fokus pembangunan infrastruktur demi terwujudnya kemaslahatan umat, bukan pada pemilik modal. Walhasil, pembangunan sekolah akan masif dilakukan dengan fasilitas terbaik dan terdepan.
Dalam Islam, posisi guru dipandang mulia karena darinya, akan terlahir generasi yang berkepribadian Islam dan mampu menjadi mutiara umat. Oleh karena itu, kesejahteraan guru akan sangat diperhatikan sehingga guru akan fokus pada aktivitas belajar dan mengajar bukan pada hal yang lain. Sebagaimana pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, guru sejahtera dengan gaji yang besar. Hal ini telah disampaikan Imam Suyuthi
"Dari bentuk perhatian Sultan (Shalahuddin) terhadap pendidikan pada masa itu, beliau memberikan kepada setiap pengajar gaji sebesar 40 dinar setiap bulannya (sekitar Rp156 juta) dan untuk para pengelola madrasah sekitar 10 dinar (sekitar Rp39 juta). Selain gaji pokok, beliau juga memberikan tunjangan setiap harinya makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir (sekitar 10 kg).”
Tak hanya gurunya yang sejahtera, fasilitas sekolah pun dibangun dengan kualitas terbaik dan terdepan pada masanya. Seperti, Universitas Cordoba yang didirikan pada masa Bani Umayyah dengan perpustakaan yang megah hingga bisa menampung 400.000 pengunjung. Inilah yang menjadikannya terkenal dan diminati serta jadi rujukan banyak pelajar dari mancanegara.
Demikian pun, pada masa Khalifah Al-Hakam al-Muntasir, ada 27 sekolah yang didirikan, bahkan terdapat 70 buah perpustakaan, semuanya mudah diakses oleh seluruh warga negara termasuk anak miskin. Pelayanan pendidikan tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab penguasa Islam dalam rangka pengurusan urusan umat yang akan dimintai pertangungjawabannya di sisi Allah Swt.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ahmad, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Imam itu laksana penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)."
Kesimpulan
Jelaslah, solusi program Marketplace Guru untuk mengatasi ketimpangan dan ketidakmerataan guru di kota dan desa hanya mengonfirmasi kegagalan pemerintah dalam mengurus rakyatnya. Kegagalan ini akibat dari diterapkannya sistem pendidikan yang kapitalistik. Hanya ada satu cara untuk mengatasi problem tersebut yaitu dengan diterapkannya Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah. Wallahu a'lam bishawab.[]
Guru mah bukan barang dagangan yang bisa diperuntukkan, makin-makin sadis negeri ini itulah mengapa hukum Islam lah yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan.
Itulah sistem yang dapat merusak citra dan martabat, padahal guru adalah sosok yang mulia bukan alat negara yang diperuntukkan seperti halnya barang dagangan, memang betul ketika Islam tak diterapkan secara menyeluruh seperti inilah negara berkuasa diatas kekuasaannya. Miris sekali 🙂
Benar Umma..
Selama sistem kapitalisme ini bercokol di negara kita maka selamanya akan menuai persoalan tanpa batas. Saatnya Islam menggantikan sistem yang rusak ini.
Semakin tampak nyata sistem ini tidak memanusiakan manusia.
Khilafah solusi setiap permasalahan.