”Tak bisa dimungkiri, perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia yang menganggap bumi sekadar sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan subjek untuk dijaga demi kepentingan bersama secara berkelanjutan. Dan semua ini didukung paradigma kapitalisme yang diterapkan sejak lama oleh dunia.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perubahan iklim akibat peningkatan emisi karbon telah menjadi permasalahan pelik yang tak kunjung usai. Pasalnya, dampak krisis iklim ekstrem dapat terjadi di seluruh negara tanpa memandang batas teritorial.
Saat yang sama, aroma liberalisasi industrialisasi yang pro kapitalis menyengat dalam UU Cipta Kerja. Amanat konstitusi yang seharusnya dibentuk untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat, kini dikesampingkan atas dalih investasi. Tak berlebihan jika publik menyimpulkan bahwa rezim sengaja mendesain hukum untuk memudahkan para kapitalis, tanpa mempertimbangkan kerusakan iklim.
Demi pengendalian dan pencegahan terhadap dampak krisis iklim yang kian memburuk, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah Jokowi dan DPR RI untuk segera menyusun RUU (Rancangan Undang-Undang) Keadilan Iklim. Pikul Torry Kuswardono selaku Direktur Eksekutif Yayasan menyebutkan bahwa Perpres No.98/202 belum mampu menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Hal ini akibat regulasi tersebut hanya fokus pada mekanisme perdagangan karbon. (CNN Indonesia, 3/6/2023)
Lantas, apakah penyusunan aturan UU Keadilan Iklim dapat mengatasi krisis iklim? Mengingat kerusakan lingkungan selama ini diperparah oleh regulasi pragmatis akibat penerapan ekonomi kapitalisme.
UU Cipta Kerja, Sengkarut Regulasi di Negeri Demokrasi
Selain kontroversinya dalam mengatur ekonomi dan ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja diyakini akan meningkatkan pelanggaran pencemaran lingkungan yang dilakukan korporasi. Akibatnya, banyak pihak yang mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis lingkungan.
Misalnya, UU Cipta Kerja PP 22/2021 tentang Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang justru mengeluarkan limbah FABA sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Padahal FABA (Fly Ash Bottom Ash) adalah limbah batu bara yang sangat berbahaya dan beracun, serta dinilai karsinogenik. Pasal tersebut dinilai dapat membahayakan masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan batu bara. sebaliknya, justru meringankan tanggung jawab perusahaan atas pengelolaan limbah industri. (Voaindonesia.com, 2/4/2022)
Selain itu, adanya UU Cipta Kerja dinilai dapat mempersempit hak masyarakat adat dalam memberikan pandangan kritis terkait penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup dapat mengajukan keberatan dokumen Amdal jika mereka terbukti terkena dampaknya langsung. Akibatnya, ruang publik semakin sempit untuk menilai proses perancangan AMDAL, sehingga dapat melanggengkan korporasi mengeksploitasi SDA tanpa adanya langkah prosedural yang ketat.
Kemudian, Pasal 110A UU Cipta Kerja mengenai pemutihan atas keterlanjuran kegiatan usaha di kawasan hutan. Pasal tersebut dinilai berbahaya sebab dapat menghilangkan sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan, meskipun ia tidak memiliki izin dan telah beroperasi sejak sebelum diberlakukannya aturan. Pelaku hanya diberi waktu untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu 3 tahun.
Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga terdapat pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang menolak kegiatan pertambangan. Aturan ini jelas berpotensi menjadi pasal karet, sebab pelaku yang menolak kegiatan tambang akan diberi hukuman pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Alhasil, sejak 2020, masyarakat sekitar lokasi tambang yang telah melakukan aksi penolakan justru dihadapkan dengan aparat keamanan yang menekan aspirasi warga. Padahal, aktivitas pertambangan secara brutal berdampak besar-besaran terhadap ruang hidup, hak warga negara, dan kondisi ekologis.
Melalui UU Cipta Kerja tersebut, membuktikan bahwa demokrasi sejatinya tidak ingin melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Hukum digunakan bukan untuk melindungi warga negara dan lingkungan hidup, melainkan digunakan rezim untuk mengkriminalisasi rakyatnya dengan menunjukkan keberpihakannya terhadap sekelompok oligarki. UU Cipta Kerja tidak hanya merusak struktur sosial masyarakat dan kemandirian ekonomi warga, bahkan merusak lingkungan hidup.
Buah Penerapan Kapitalisme
Sebenarnya banyak hal yang menyebabkan perubahan iklim, seperti penggundulan hutan, penggunaan bahan bakar fosil, pembuangan limbah industri, dan lain-lain. Perubahan iklim akibat aktivitas manusia tersebut telah menimbulkan berbagai dampak buruk, seperti kekeringan, naiknya permukaan laut, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Tak bisa dimungkiri, perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia yang menganggap bumi sekadar sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan subjek untuk dijaga demi kepentingan bersama secara berkelanjutan. Dan semua ini didukung paradigma kapitalisme yang diterapkan sejak lama oleh dunia.
Realitasnya, politik sekuler yang diterapkan negeri ini hanya memproduksi regulasi yang menguntungkan rezim penguasa dan para kapitalis asing. Maklum, dalam demokrasi, kursi kekuasaan dibeli dengan harga mahal dan modalnya berasal dari sponsorship yang merupakan para pebisnis multinasional.
Oleh karena itu, wajar jika kebijakan yang dibuat selalu berkelindan dengan kepentingan oligarki sebagai wujud balas budi. Semua ini merupakan ciri khas sekuler demokrasi dengan ekonomi kapitalismenya. Inilah bukti, ketika manusia sebagai makhluk yang lemah menghapus peran Sang Pencipta sebagai Maha Pengatur maka akan menghasilkan sistem zalim yang membawa petaka.
Dalam demokrasi, ungkapan “Suara rakyat suara Tuhan” sejatinya hanya sebatas slogan untuk melegitimasi kezaliman para penguasa. Walhasil, solusi apa pun yang ditawarkan hanya akan menyebabkan eskalasi masalah. Pada akhirnya, gagasan perbaikan iklim melalui RUU Keadilan Iklim hanyalah rencana absurd yang akan dikangkangi para kapitalis.
Butuh Solusi Komprehensif
Islam sebagai ideologi yang dirancang Sang Pencipta tidak hanya fokus menjaga eksistensi manusia, tetapi juga sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-‘Araf ayat 56,
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya.”
Lingkungan adalah penyangga kehidupan semua makhluk di bumi. Untuk itu, Islam memiliki solusi fundamental untuk mengatasi krisis iklim.
Dalam praktiknya, Islam mewajibkan negara untuk mengelola harta milik umum, seperti batu bara, nikel, dan lain-lain. Semua ini agar negara tidak dimonopoli oleh swasta. Sehingga, negara dapat mengelolanya sesuai ketentuan syariat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Kemudian hasilnya akan dikembalikan kepada umat dalam bentuk siap pakai. Seorang khalifah sebagai pelaksana hukum syariat akan melakukan beberapa langkah untuk menertibkan industrialisasi, antara lain:
Pertama, kawasan industri yang berpolusi akan dialokasikan jauh dari pemukiman warga, demi menjaga kesehatan rakyatnya dari berbagai bahaya. Termasuk mengawasi dan mencegah agar tidak terjadi kebocoran polutan ke lingkungan di luar batas yang diperbolehkan. Ilmuwan spesialis akan menentukan batas-batas tersebut, untuk meminimalisasi emisi karbon, sehingga aktivitas industrialisasi tidak mengganggu keseimbangan ekologi.
Kedua, negara akan mengendalikan fasilitas-fasilitas industri, pertanian, dan sumber polusi lainnya (baik yang statusnya milik pribadi maupun publik) untuk menggunakan sistem yang ramah lingkungan.
Ketiga, negara akan berperan aktif mengurangi limbah industri dengan mendukung penuh inovasi daur ulang limbah. Sedangkan untuk sisa limbah yang tidak dapat didaur ulang akan dibuang di tempat pembuangan sampah yang jauh dari pemukiman.
Keempat, negara Islam akan menegakkan sanksi secara adil bagi pelaku yang sengaja merusak lingkungan, seperti penebangan dan perburuan liar.
Selain itu, negara juga melakukan pendekatan persuasif dengan aktif membina masyarakat agar peduli lingkungan. Bahkan, negara Islam akan berusaha menjaga bumi dengan mencegah negara-negara tetangga mencemari lingkungan dan mendesak agar bersama-sama mencegah krisis iklim. Negara Islam hadir memimpin dunia dalam kebaikan dan keamanan secara maksimal, semata-mata demi mewujudkan rahmat bagi seluruh alam berdasarkan hukum syarak.
Khatimah
Krisis iklim sejatinya akibat paradigma kapitalisme yang memandang bumi sebagai objek eksploitasi untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya. Untuk itu, Rancangan UU Perubahan Iklim tidak akan mampu membawa perbaikan iklim secara signifikan selama kebijakan pemerintah masih sulit diajak mandiri dan menolak SDA dikelola para kapitalis.
Wallahu a’lam bishawab[]
Kapitalisme hanya membentang karpet merah untuk rakyat saat kampanye. Setelah itu berubah bagai drakula penghisap darah. #IndonesiamilikAllah
Jika masih menerapkan sistem kapitalisme, maka yang akan di wariskan pada anak, cucu dan generasi penerus adalah dampak kerusakan alam yang harus mereka rasakan. Maka sudah selayaknya generasi saat ini membuat perubahan, dengan menerapkan sistem Islam, agar bisa memperbaiki kerusakan alam yang ditimbulkan kaum kapitalis dan sekutunya.
Kapitalisme adalah biang kerok segala permasalahan. Selama kapitalisme yang menjadi pijakan, kebaikan tidak akan terwujud. Kapitalisme mewujudkan manusia- manusia rakus yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan pundi-pundi uang. Singkirkan kapitalisme ganti dengan Islam, ini adalah solusi satu-satunya
Perubahan iklim ekstrem akibat ulah manusia sendiri yang rakus dan yang merasakan dampaknya jelas seluruh dunia tak terkecuali. Inilah kapitalisme nyatanya memandang dunia sebagai objek eksploitasi semata bukan untuk dijaga kelestariannya.
Selama sistem kapitalisme bercokol jadi aturan kebijakan negeri tak akan bisa selamat dari kezaliman. Sebab setiap keputusan yg dihasilkan oreantasi provit dan fee. Hanya sistem Islam yg serius menjaga manusia, lingkungan serta SDA. Kini saatnya umat bangkit dg pemikiran Islam kaffah dan memperjuangkannya tegak di muka bumi ini.
Betul, kapitalisme adalah induk segala kerusakan. Kapitalisme melahirkan berbagai kebijakan zalim yang hanya berburu untung, tanpa peduli kelestarian lingkungan. UU perbaikan iklim pun tidak akan mampu menjadi solusi, pasalnya mereka pula yang menjadi perusak lingkungan. Saatnya menjadikan Islam sebagai solusi.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan kembali pada manusia itu pula. Seperti kerusakan yang ada saat ini. Parahnya, kerusakan yang terjadi karena sistem kapitalisme akan berdampak kepada semua manusia dan juga alam sekitar sekalipun masih ada mereka yang peduli terhadap lingkungan.
Yups memang benar, tak bisa kita pungkiri perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia yang menganggap bumi sekadar sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan subjek untuk dijaga demi kepentingan bersama secara berkelanjutan. Apalagi kapitalisme yang berkeinginan untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya dari iklim. Itulah pentingnya kebijakan pemerintah, selama pemerintahan sulit diajak untuk mandiri maka tak akan ada perubahan.