Inkonsistensi Demokrasi dalam Pembubaran Kajian Khilafah

"Kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat terbukti tak dapat diberikan pada kaum muslimin yang mengkaji ajaran agamanya."

Oleh. Pipit NS
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pengajian atau kajian adalah suatu hal yang harusnya lumrah dilakukan di negara demokrasi. Hal ini tidak terjadi di desa Sumbersuko, Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Sekelompok warga membubarkan pengajian tentang bagaimana Khilafah mengakhiri hegemoni dolar Amerika dengan dinar-dirham. Menurut sekelompok warga tersebut, warga membubarkan pengajian tersebut dikarenakan pengajian tersebut tidak mengantongi izin dari Kepala Desa atau aparat keamanan setempat. Selain pembubaran dari sebagian warga, pembubaran ini juga diapresiasi oleh Kabid Humas Polda Jatim Kombes Dirmanto. Bahkan, Polda Jatim mengerahkan segala elemen untuk mengawasi pengajian yang dianggap melenceng menurut pihaknya (Detik.com, 21-6-2023).

Pembubaran ini tampaknya tak sejalan dengan bagaimana seharusnya demokrasi bekerja. Demokrasi meniscayakan kebebasan manusia untuk berkumpul, bukan hanya sebagian kelompok, tetapi juga kelompok yang dianggap memiliki pendapat yang berbeda. Dalam hal ini, sekelompok orang yang membicarakan Khilafah sebagai solusi progresif atas hegemoni dolar Amerika pada negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Ketidaksepakatan atas pembubaran ini juga diungkap oleh seorang pakar hukum pidana, Prof. Mudzakkir, S.H., M.H., beliau mengatakan tiga poin ketidaksepakatannya terkait pembubaran pengajian tersebut. Pertama, pengajian tersebut merupakan salah satu pengajian agama yang jelas sah diselenggarakan. Kedua, perkumpulan tidak perlu melakukan izin melainkan lapor saja untuk penjagaan keamanan. Ketiga materi yang dibawakan merupakan ajaran Islam, yang bebas dipelajari oleh setiap orang Islam itu sendiri.

Berdasarkan poin ketidaksepakatan di atas terbukti bahwa demokrasi memang sebuah sistem yang inkonsisten. Kebebasan yang digemborkan nyatanya tak diberikan pada semua pihak. Kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat terbukti tak dapat diberikan pada kaum muslimin yang mengkaji ajaran agamanya. Bahkan, pengawasan terhadap aktivitas pengkajian justru dilakukan. Sebaliknya, demokrasi justru terbukti membebaskan perilaku yang mengancam eksistensi manusia seperti homoseksualitas.

Tak cukup dengan inkonsisten, kebebasan dalam demokrasi nyatanya hanya ide tak masuk akal. Bagaimana tidak? Manusia yang bebas melakukan segala sesuatu dengan harapan memperbaiki kehidupannya, nyatanya hanya akan meninggalkan kerusakan. Manusia yang terbatas, tidak akan dapat mempertimbangkan dengan sempurna akibat dari segala sesuatu di luar pengindraannya. Dari sini jelas bahwa demokrasi memang menyalahi fitrah manusia yang terbatas, manusia yang memikirkan sendiri bagaimana mereka harus hidup hanya akan terjebak pada peraturan buatan mereka dan sebagiannya akan menggunakan aturan tersebut untuk memenuhi kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan yang lain.

Allah Swt., Maha Pencipta, satu-satunya yang berhak dan berkapasitas untuk membuat hukum bagi manusia. Dialah satu-satunya zat yang mengetahui bagaimana seluk beluk manusia itu sendiri. Sehingga, seluruh pengaturan yang diturunkan-Nya jelas akan mengantarkan manusia pada keadaan terbaik mereka. Inkonsistensi dalam demokrasi tak akan terjadi karena semua standar hanya berdasarkan syariat-Nya. Bukan menurut timbangan manusia.

Standardisasi kehidupan yang adil menurut syariat tak akan bisa terwujud, selama kaum muslimin masih menoleh pada demokrasi, sistem yang jelas menjadikan aturan manusia sebagai aturan hidup. Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya menjadikan syariat-Nya sebagai penentu segala keputusan dan sistem hidupnya. Sistem hidup mulai dari segala aktivitas ibadah, sampai tata aturan yang mengatur banyak orang, yaitu negara. Sistem yang menerapkan seluruh aturan Islam itulah yang disebut Khilafah.

Menurut Imam al Azhari dalam Tahdzib al-Lughah, al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan itu dapat ditemukan dalam beberapa ayat Al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30 yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…”

Begitu pula QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62. Sedang di Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, asal usul kata Khilafah kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah Khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah Khilafah dan Imamah. Imam al-Mawardi mendefinisikan Khilafah dengan "Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi". Jelas bahwa Khilafah memiliki landasan normatif dan historis yang kokoh bahwa ia merupakan ajaran Islam.

Apakah Khilafah membahayakan? Bisa jadi. Hegemoni dolar Amerika yang dapat diakhiri dengan dinar-dirham melalui tegaknya Khilafah akan mengakhiri juga kekuasaan negara pengusung demokrasi pada negeri-negeri kaum muslimin. Hal ini tentu saja membahayakan bagi pengusung demokrasi itu sendiri. Sedangkan bagi kaum muslimin yang mengimani segala aturan yang Allah turunkan padanya, tentu Khilafah menjadi sebuah harapan umat akan keselamatan mereka di dunia dan akhirat.

Jika memang menurut manusia Khilafah dituduh biang perpecahan, nyatanya Khilafah selama tiga belas abad telah menjadi rumah bersama di mana umat beragama tenteram di bawah naungannya. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Pipit NS Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bintang Pemuda
Next
Buka Aurat Kok Rame-Rame?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
10 months ago

Sistem demokrasi memang hipokrit. Segala yang berbau Islam pasti ditentang. Sedangkan di luar Islam didukung dan diapresiasi.

Sartinah
Sartinah
10 months ago

Demokrasi memang berwajah ganda. Di satu sisi memberikan kebebasan berpendapat, tapi di sisi lain mengekang kebebasan bagi kaum muslim. Aneh emang, di negeri ini sesuatu yang sudah nyata sesat dan menyesatkan malah dipelihara, tapi sesuatu yang jelas-jelas memberi pemahaman Islam kaffah justru dibubarkan, dianaktirikan. Oh, demokrasi ...

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
10 months ago

Nampak sekali inkonsistensi demokrasi terhadap agama Islam. Ajaran Islam mereka jadikan stempel klo ada maunya. Semisal sumpah jabatan, atau jelang pemilu buat dulang suara rakyat. Mirisnya, masih ada saja orang yg percaya sm demokrasi yg jelas syirik akbar.

Sherly
Sherly
10 months ago

Democrazy memang inkonsisten

R. Bilhaq
R. Bilhaq
10 months ago

Dakwah Islam dibubarkan, aktifitas kaum L987 dibiarkan, miris. inilah demokrasi.. yuk ah, ganti sistem bobrok dengan sistem Islam..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram