"Sifat mata uang yang diadopsi sistem kapitalisme ini, yang notabene menjadi salah satu pilar utama tegaknya sistem ekonominya, memiliki banyak kelemahan. Di antaranya, fiat money berbasis pada kepercayaan bukan pada nilai intrinsiknya, meniscayakan adanya intervensi, sifatnya fluktuatif dikarenakan tidak memiliki stabilitas mandiri, rentan krisis, dan tekanan politik."
Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Mata uang adalah bagian dari simbol negara. Bila kita buka kembali lembar sejarah, hampir di seluruh dunia pernah menggunakan satuan emas dan perak sebagai mata uang. Bahkan, jauh sebelum Islam datang, yakni di zaman Imperium Romawi dan Persia, termasuk orang-orang Arab jahiliah.
Pun, saat terjadi krisis moneter pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat terdorong menetapkan sistem moneter berbasis emas dan perak, yang dikenal dengan The Bretton Woods Agreement and System tahun 1944. Praktiknya, sistem moneter tersebut melandaskan sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS yang mengacu pada satuan standar emas. Di mana, setiap 1 ons emas (setara 30 gr) ditetapkan harga sebesar USD35.
Namun, saat terjadi perang Vietnam, sistem ini akhirnya ditinggalkan. Sebab, perekonomian AS menanggung defisit akibat ketidakseimbangan neraca pembayaran yang akut. Walhasil, Presiden Nixon memutuskan untuk tidak menyandarkan nilai dolar AS dengan emas, sekaligus resmi mengakhiri sistem Bretton Woods pada tahun 1971. Artinya, Amerika Serikat tidak lagi berkewajiban untuk menukar dolar AS yang dimiliki negara lain dengan emas.
Inilah momen yang mengantarkan dolar sebagai mata uang yang kuat, dimulainya sistem kurs mengambang atau floating exchange rate, serta menjadikan sistem moneter ini sebagai alat penjajahan ekonomi. Tak ayal, dolar AS melangkah maju menduduki takhta sebagai ‘King Dollar’, yang mendominasi panggung dunia dalam transaksi internasional dan resmi menjadi mata uang dunia.
'King Dollar’ Terancam Turun Takhta
Tak dimungkiri, dalam kurun waktu yang panjang, dolar AS menjadi raja dalam hal transaksi keuangan global, sekaligus menjadi mata uang paling kuat di dunia. Keunggulannya diklaim memiliki ketahanan, keamanan, serta kestabilan. Faktanya, kini perlahan mulai ditinggalkan. Sebagaimana fenomena dunia hari ini bergerak ke arah dedolarisasi, mengusik hegemoni dolar dalam transaksi global, serta terancam turun takhta.
Fenomena de-dollarization ini merupakan upaya otoritas negara melalui keputusan politiknya, untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang Amerika Serikat dalam transaksi internasional. Ya, gerakan dedolarisasi ini telah dilakukan sejumlah negara di dunia, hingga memosisikan dolar AS ke level terendahnya. Menurut data IMF, pangsa dolar Amerika Serikat hanya 58,4% dari total cadangan devisa global. Kini, yuan berhasil menggeser posisi dolar AS dalam transaksi perdagangan lintas negara, sejak Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Tak ayal, fenomena dedolarisasi pun dinilai mampu mengantarkan Amerika pada akhir hegemoninya. (CNNIndonesia.com, 3/5/2023)
Aliansi BRICS Mengikis Hegemoni Dolar AS
Gerakan dedolarisasi yang notabene menjadi fenomena ekonomi global ini, diinisiasi oleh aliansi BRICS yang merupakan akronim negara-negara berkembang yang tergabung di dalamnya, yakni Brasil, Rusia, Cina, dan Afrika Selatan (South Africa). Beberapa faktor yang menjadi trigger sejumlah negara, untuk meninggalkan dolar AS dan memilih strategi pembayaran baru di antaranya, ketidakpastian global sebagai implikasi dari tingginya inflasi dalam beberapa tahun terakhir. Lalu, fluktuatif dan sensitifnya mata uang dolar AS memengaruhi isu geopolitik global, yang disebabkan defisitnya neraca pembayaran Amerika Serikat. Kemudian, buntut sanksi Negeri Paman Sam yang diberlakukan pada negara-negara bermasalah dengan AS, seperti Rusia.
Kini, hegemoni dolar AS dalam transaksi global mulai goyah. Sebab, mulai diimbangi penggunaan yuan dan mata uang lokal BRICS. BRICS yang notabene forum ekonomi negara berkembang ini, dinilai memiliki peluang besar untuk mengikis hegemoni dolar AS dengan menciptakan mata uang sendiri, terlebih dengan adanya bumbu Cina dan Rusia. Di mana, mata uang keduanya semakin menguat. Seperti yang disampaikan Anggota Parlemen Rusia, Alexander Babakov, bahwasanya, saat ini BRICS akan segera merealisasikan rencana penggunaan mata uang tunggal baru sebagai alternatif. Secara resmi akan diumumkan paling cepat 23 Agustus 2023 pada KTT BRICS, yang akan digelar di Afrika Selatan.
Di sisi lain, dalam pandangan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Louise Yellen, bahwasanya dengan sifatnya yang sama, sementara dolar AS sebagai mata uang global, maka menciptakan mata uang alternatif bukanlah perkara yang mudah. Namun, BRICS tetap bersikukuh. Pasalnya, mata uang BRICS akan disandarkan pada emas dan komoditas berharga lainnya, seperti logam tanah jarang atau rare earth element. Jelas, upaya ini bukan sekadar bias aksi semata, sebab dedolarisasi kian nyata.
Faktanya, hasil riset Capital Macroeconomic Institute menunjukkan, dropnya porsi penggunaan dolar AS sebagai mata uang cadangan negara-negara di dunia, yakni 10 kali lebih cepat pada tahun 2022. Pasalnya, gerakan ini pun didukung dan diikuti negara-negara ASEAN, OPEC, dan negara-negara berkembang lainnya. Termasuk Indonesia, telah memulai langkah dedolarisasinya melalui Bank Indonesia dalam kerangka kerjasama serupa, yakni Local Currency Settlement (LCS) dan Local Currency Transaction (LCT), dengan sejumlah negara. Di antaranya, Cina, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Australia, Thailand, dan Singapura. Maka, rencana perluasan keanggotaan pun menjadi salah satu agenda besar BRICS. Banyak pihak menilai, aliansi BRICS mampu melengserkan dolar AS, serta digadang-gadang menjadi tatanan dunia baru.
Berkaca dari Kegagalan Bretton Woods
Bila kita cermati lebih dalam, pernyataan Janet Yellen tidak sepenuhnya salah. Sejatinya, BRICS berkaca dari kegagalan momentum yang monumental Bretton Woods. Meskipun mata uang BRICS disandarkan pada satuan emas dan komoditas berharga lainnya. Namun, jika memiliki sifat yang sama yaitu fiat money alias uang kertas, jelas tidaklah efektif dan tak menyolusi. Sebab, sifat mata uang yang diadopsi sistem kapitalisme ini, yang notabene menjadi salah satu pilar utama tegaknya sistem ekonominya, memiliki banyak kelemahan. Di antaranya, fiat money berbasis pada kepercayaan bukan pada nilai intrinsiknya, meniscayakan adanya intervensi, sifatnya fluktuatif dikarenakan tidak memiliki stabilitas mandiri, rentan krisis, dan tekanan politik.
Bahkan, ide mencetak uang besar-besaran merupakan bagian solusi sistem jemawa. Seperti asumsi teori moneter modern, bahwasanya dengan mencetak uang sebanyak mungkin, negara tetap bisa menjalankan roda perekonomian tanpa khawatir dengan defisit yang tinggi, bahkan saat terjadi krisis. Pasalnya, dalam pandangan kapitalisme, pendekatan fiskal dinilai mampu mengendalikan laju inflasi. Faktanya, pencetakan uang besar-besaran akan mengantarkan pada kehancuran ekonomi, seperti yang terjadi pada masa orde lama di Indonesia dan Zimbabwe.
The Best Choice
Secara universal, manusia mengakui emas dan perak sebagai logam mulia berharga, serta memiliki nilai stabil. Meskipun pada praktiknya emas dan perak telah digunakan sebagai alat transaksi jauh sebelum Islam datang. Namun, emas dan perak identik dengan Islam. Dalam kitab Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah, di mana Kerajaan Romawi dan juga negeri-negeri pengikutnya, telah menjadikan emas (dinar) sebagai dasar mata uang mereka.
Pun, Kekaisaran Persia dan negeri-negeri yang menjadi pengikutnya, telah menjadikan perak (dirham) sebagai dasar dalam mata uangnya. Termasuk orang-orang Arab jahiliah, khususnya Quraisy. Artinya, perniagaan menggunakan dinar dan dirham telah dipraktikkan oleh pedagang Persia dan Romawi yang melakukan hubungan niaga dengan pedagang dari Makkah, khususnya Quraisy.
Ketika Islam datang, Rasulullah saw., menyetujui dan mengakui (taqrir) berbagai muamalah dengan dinar (Romawi) dan dirham (Persia), sekaligus menetapkannya sebagai mata uang. Sebagaimana hadis sahih riwayat An Nasa’i dan Abu Daud yang telah meriwayatkan Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Timbangan yang dipakai yaitu timbangan penduduk Makkah. Sedangkan, takarannya mengacu takaran penduduk Madinah.”
Di mana, hadis ini mengindikasikan adanya taqrir dari Rasulullah saw., terkait penggunaan dinar dan dirham dalam transaksi perniagaan, serta pengakuan sebagai mata uang legal secara syar’i. Pun, sebagai mata uang resmi dari Daulah Khilafah Islamiah, serta menjadi bagian instrumen sistem moneter negara. Maka, sejarah telah mencatat, bahwa semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam, satuannya ialah emas dan perak. Maka, Islam menerapkannya mulai dari masa tegaknya kekuasaan Islam di Madinah yang dikepalai oleh Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan keberlangsungannya di masa khulafaurasyidin hingga Kekhilafahan Utsmaniyah.
Karena zatnya berupa logam mulia, satuan mata uang dinar dan dirham memiliki banyak keunggulan. Pertama, sistem mata uang yang kokoh. Kedua, memiliki nilai nominal dan nilai intrinsik tinggi yang terkandung di dalam zatnya. Ketiga, menjamin kestabilan moneter. Keempat, menciptakan keseimbangan neraca pembayaran. Kelima, memiliki kurs yang stabil antarnegara. Keenam, memelihara kekayaan emas dan perak. Ketujuh, memiliki nilai stabilitas secara mandiri, sehingga menutup peluang negara lain untuk mengintervensi dan mengontrol situasi ekonomi negeri-negeri kaum muslimin, dengan memantau peredaran mata uangnya. Kedelapan, menghindari tekanan politik melalui mata uang. Kesembilan, dikaitkan dengan beberapa hukum Islam. Dengan semua kelebihannya yang tidak bisa dimiliki oleh mata uang berbahan kertas, maka emas dan perak adalah pilihan terbaik.
Tentu saja, untuk menetapkannya sebagai satuan mata uang internasional, harus disertai keputusan politik dari sebuah negara yang memiliki bargaining position politik yang tinggi secara global. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw., ketika membangun kekuasaan Islam dalam institusi negara. Dengan kekuatan politik yang tinggi, maka akan terlahir kebijakan-kebijakan yang bersifat mandiri, serta tak bisa diintervensi negara lain. Sehingga, menguatkan posisi dinar dan dirham pada takhta mata uang dunia.
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]
AS seperti melakukan pembodohan besar-besaran.. bagaimana tidak? mereka menjual dolarnya ke berbagai negeri, sedangkan secara bersamaan AS mencaplok banyak emas dari negeri-negeri kaum muslimin..
Dedolarisai sistem yang rentan resesi. Standar keuangan yang stabil hsnta ada pada Dinar dan dirham dalam sistem ekonomi Islam
Segera akhiri sistem ekonomi ribawi kapitalisme ganti dg sistem ekonomi Islam dan kembali gunakan dinar dan dirham sebgi mata uang negara. Sebab hanya itu yg bisa stabil dalam hal penbayaran dll.
Fiat Money memang rawan krisis karena tidak di backup dengan emas dan perak. Sangat berbeda dengan mata uang dinar dirham yang telah Rasulullah saw. ajarkan.
Dedolarisasi bukanlah solusi bagi dunia. Jika banyak negara termasuk Cina ingin melepaskan ketergantungannya terhadap dolar, hal itu bukan semata2 demi kemaslahatan. Namun, demi kepentingan negara masing2. Meski dolar berganti, krisis tetap akan jadi tradisi jika masih menyandarkan pada mata uang dengan standar kertas. Saatnya kembali menjadikan dinar dan dirham sebagai alat tukar yang stabil terhadap goncangan inflasi.
Dinar dan dirham telah terbukti keunggulannya. Saatnya kembali ke mata uang yang tahan banting.
Kita membutuhkan perubahan yang dapat menyelamatkan dunia dari krisis yang melanda dengan membangun kekuasaan Islam dalam institusi negara. Karena sistem Islam dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mandiri, serta tak bisa diintervensi negara lain. Sehingga, menguatkan posisi dinar dan dirham pada takhta mata uang dunia. Setiap masalah hanya sistem Islam lah solusinya....
Umat butuh segera institusi politik alternatif yang mampu menyelamatkan dunia dari krisis yaitu sistem Islam. Sistem Islam memiliki sistem ekonomi yang khas dan mampu menghadapi berbagai krisis, menggunakan mata uang Dinar dan dirham yang stabil. Kapitalisme sudah terbukti rapuh dan sedang ambruk.