” Dengan alasan apa pun negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta maupun asing. Negara juga tidak dibenarkan hanya berfungsi sebagai regulator ataupun operator.”
Oleh. Diah Puja Kusuma
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis baru yang akan diluncurkan oleh PT Pertamina di tengah proses transisi energi menuju energi bersih dinilai dapat mewujudkan kemandirian energi di Indonesia. Karena dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta upaya untuk mendapatkan masa depan Indonesia yang rendah emisi dan memiliki ketahanan iklim di tahun 2023, yaitu dengan menurunkan emisi gas rumah kaca. Dengan hal ini, Nickie Widyawati selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) mengatakan bahwa BBM jenis baru tersebut adalah Bioetanol Research Octane Number (RON) 95. (tribunnews.com, 17/06/2023)
Jika dilihat, upaya pemerintah untuk meluncurkan BBM Bioetanol RON 95 yang berbahan Pertamax dicampur dengan nabati etanol berasal dari produk sampingan tebu sebagai opsi bahan bakar yang dapat digunakan oleh masyarakat tentu patut diapresiasi. Apalagi dampak dan manfaat yang dijelaskan oleh Direktur Utama PT Pertamina, sangat baik bagi lingkungan dan udara sekitar. Sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan terutama dibidang pertanian. Selain itu, BBM Bioetanol diklaim dapat menghemat devisa negara, karena Indonesia akan mengurangi kegiatan impor BBM dari negara lain jika BBM jenis ini diproduksi. Namun, apakah peluncuran BBM jenis baru ini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat?
Memang benar, Bioetanol memiliki potensi yang sangat besar. Hanya saja masih banyak tantangan untuk pengimplementasian Bioetanol dengan campuran bahan bakar minyak, terutama dengan produksi Bioetanol di Indonesia yang masih rendah. PT Pertamina pun menjelaskan bahwa harga Bioetanol akan lebih tinggi dari harga Pertamax. Faktanya, Pertamax dibandingkan Pertalite tentu lebih mahal harga Pertamax. Tetapi masyarakat mayoritas lebih memilih Pertalite sebagai bahan bakar, sebab harganya sesuai dengan kantong masyarakat yang hidup dalam kondisi menengah ke bawah. Jika BBM Bioetanol lebih mahal dari Pertamax maka bukankah dengan harganya yang mahal justru akan membuat rakyat makin terbebani?
Sebenarnya, hal yang tidak wajar jika negara yang kaya akan sumber daya minyak tetapi tetap melakukan impor dari luar. Rencana pemerintah pun memproduksi Bioetanol untuk dicampur dengan bahan bakar minyak sehingga dapat menekan impor minyak mentah merupakan solusi pragmatis. Pasalnya, Indonesia masih memiliki sumber energi fosil yang melimpah. Maka, persoalan utama energi di Indonesia bukan karena Indonesia miskin cadangan sumber energi fosil yang mengharuskan impor minyak mentah, bahkan mengembangkan energi baru nonfosil. Tetapi persoalan utamanya adalah terletak pada tata kelola energi yang keliru yaitu pengelolaan sumber daya alam berbasis liberalisasi yang ditandai dengan kedatangan investor asing yang melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia.
Padahal, seharusnya negara mampu mengelola secara mandiri tanpa campur tangan asing. Tentu hal ini mustahil dilakukan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sebab sistem ini melegalkan liberalisasi sumber daya alam termasuk migas. Artinya, pengelolaan hingga distribusi migas boleh diserahkan pada swasta maupun asing. Alhasil, sumber energi fosil yang melimpah tidak bisa dinikmati rakyat dengan harga yang murah bahkan gratis serta mudah untuk diakses.
Berbeda dengan pandangan Islam bahwa status migas adalah harta milik umum. Negara hanya bertindak sebagai pengelola yang diberikan mandat oleh rakyat agar dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Hasil pengelolaan tersebut dikembalikan pada rakyat dengan distribusi BBM secara merata dengan harga yang murah. Dengan alasan apa pun negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta maupun asing. Negara juga tidak dibenarkan hanya berfungsi sebagai regulator ataupun operator.
Karena itu, tata kelola energi dalam negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah) yang dipimpin oleh khalifah tentu akan bertanggung jawab secara langsung dan sepenuhnya dalam pengaturan urusan umat. Selain itu Khalifah memiliki peran sebagai pemelihara urusan rakyat yang tidak berorientasi pada keuntungan. Sebab dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa, "Seorang khalifah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap rakyatnya."
Selanjutnya pengelolaan sumber daya alam dalam Islam meniscayakan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap energi murah, mudah, dan aman. Di samping menjamin terwujudnya kedaulatan dan ketahanan energi yang penting bagi kemajuan bidang industri, serta pemanfaatan energi ini digunakan terlebih dahulu untuk kebutuhan politik dalam negeri dan luar negeri secara mutlak. Jika produksi energi melebihi kebutuhan maka pemerintah dapat menjual ke luar negeri dalam rangka optimalisasi penerimaan negara. Semua hasil penjualannya pun digunakan untuk keberlanjutan energi itu sendiri dan kepentingan seluruh rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang gratis.
Dengan demikian, semua ini akan mudah terealisasi jika negara ini meninggalkan sistem kapitalisme dan beralih kepada sistem Islam kaffah yang terbukti mampu memandirikan negara dalam mengelola migas. Wallahu’alam bisshowab.[]
Jika negara mampu mengelola kekayaan alam yang ada dengan mandiri tentu tak akan pusing mencari solusi seperti saat ini.