BBM Bioetanol: Ilusi atau Solusi Kebutuhan Energi dalam Negeri?

”Negara dalam sistem kapitalisme sekadar berperan sebagai regulator, yang setiap regulasi yang dibuat hanya untuk kepentingan para kapitalis ditandai dengan adanya UU SDA yang mewajibkan ekspor minyak mentah ke luar negeri”

Oleh. Mutiara
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kebutuhan energi masih menjadi masalah besar dalam negeri, dimana bahan bakar minyak menempati posisi dominan untuk kebutuhan energi tersebut. Sekarang ini, Indonesia masih sangat bergantung pada impor BBM, bahkan setengah dari kebutuhan BBM nasional mengandalkan pasokan dari luar negeri. Sebagai negara importir minyak, harga BBM dalam negeri bergantung pada harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Apabila harga minyak dunia naik, maka akan pula berdampak pada harga BBM dalam negeri, yang lebih jauh lagi dapat memengaruhi kenaikan harga-harga lainnya seperti transportasi dan logistik.

Untuk mengurangi tekanan impor minyak tersebut, pemerintah melalui Pertamina Persero sebagai salah satu bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), berencana meluncurkan terobosan baru yaitu Bioetanol. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalam Media Briefing Capaian Kinerja 2022, bahwa pada bulan Juni 2023 ini akan launching produk baru bernama Bioetanol yang merupakan campuran Pertamax dengan etanol (Jambiekspres, 11/06/2023). Untuk memastikan program ini dapat berjalan, Kementrian ESDM telah mengkonsolidasikan beberapa produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Etanol Indonesia (Apsendo). Langkah tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian produksi BBM Bietanol tidak mengganggu suplai tetes tebu untuk industri pangan, khususnya gula (Katadata.com, 09/06/2023). Karena saat ini produksi Bietanol masih berfokus pada molase gula.

Selain dapat menekan impor BBM, Bioetanol dinilai lebih ramah lingkungan karena berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan partikel PM2.5. Walaupun demikian, diperkirakan harga BBM Bioetanol akan lebih tinggi dari Pertamax, sebab menurut Fadjar Djoko Santoso selaku VP Corporate Communication, BBM Bioetanol ini memiliki RON (Research Octane Number) lebih tinggi dibandingkan Pertamax (CNN, 09/06/2023). Belum lagi persoalan bahan baku yang masih menggunakan gula, di mana 90% kebutuhan gula Indonesia didapatkan melalui impor sebab produksi gula dalam negeri masih sangat rendah. Bisa dibayangkan bila Bioetanol berbahan dasar gula ini terus digalakkan, maka akan turut bersaing dengan kebutuhan gula sebagai bahan pangan. Jika seperti itu, sebenarnya luncuran BBM Bioetanol ini apakah untuk kepentingan rakyat atau bukan? Jika harganya lebih tinggi dari Pertamax, maka sama saja akan semakin mencekik rakyat, pun harga-harga lainnya juga akan turut meningkat.

Sebenarnya, persoalan utama energi di Indonesia bukanlah karena Indonesia miskin minyak sehingga mengharuskan mencari alternatif baru untuk pemenuhan kebutuhan energi dan mengurangi tekanan impor. Sebab, sumber daya energi fosil seperti minyak dan gas masih melimpah di Indonesia yang diprediksi akan habis berturut-turut 12 dan 49 tahun lagi jika dianggap tidak ditemukan cadangan baru. Tetapi kemungkinan besar dengan masifnya ekplorasi cadangan minyak, masih akan ditemukan cadangan minyak yang lain.

Persoalan sebenarnya adalah terletak pada tata kelola yang keliru di mana pengelolaan energi dalam negeri didasarkan pada liberalisasi. Buktinya, sumber daya alam berupa minyak tidak dikelola secara mandiri oleh negara, melainkan membuka keran seluasnya terhadap pihak asing untuk mengelolanya. Sangat mustahil pengelolaan tersebut dilakukan secara mandiri, apabila negeri ini masih menerapkan kapitalisme. Sistem kapitalisme melegalkan liberalisasi sumber daya alam sehingga meniscayakan pengelolaan serta distribusi dilakukan oleh swasta atau asing, alhasil rakyat menikmati bahan bakar minyak dengan harga yang mahal. Begitu pula jika hasil minyak mentah yang dikelola oleh pertamina tidak cukup, maka negara akan melakukan impor. Negara dalam sistem kapitalisme sekadar berperan sebagai regulator, yang setiap regulasi yang dibuat hanya untuk kepentingan para kapitalis ditandai dengan adanya UU SDA yang mewajibkan ekspor minyak mentah ke luar negeri. Begitu pula energi terbarukan seperti Bioetanol yang diklaim sebagai solusi untuk menekan impor dan memenuhi kebutuhan energi fosil dalam negeri tidak lepas dari kapitalisasi swasta. Sangat mustahil mewujudkan kemandirian energi dalam negeri jika konsep yang dipakai masih kapitalisme. Program energi bersih dan berkelanjutan juga hanya akan menjadi ilusi bila paradigma kapitalisme masih menguasai. Seperti program Bioetanol dari biji jarak yang mangkrak.

Berbeda halnya jika konsep yang dipakai adalah Islam. Dalam Islam, negara atau penguasa adalah raa’in (pengurus rakyat). Sebagaimana sabda Rasullah saw. “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari). Dengan begitu, negara akan mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati dan menjadikan amanah seorang penguasa sebagai ladang pahala sehingga pengelolaan sumber daya alam tentu akan berpijak pada syariat. Sumber daya alam seperti migas sebagai sumber energi utama dalam negeri merupakan harta milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara dan tidak boleh dimonopoli oleh pihak tertentu, hal ini berdasarkan pada hadis Rasulullah saw. “Manusia berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, api dan air” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Oleh sebab itu, pengelolaan serta distribusinya akan terjangkau dan dapat dinikmati dengan mudah serta murah oleh seluruh rakyat. Sistem politik luar negeri Islam juga memastikan negara tidak mudah disetir oleh asing termasuk kebijakan ekspor minyak mentah yang dapat membebani rakyat.

Bila energi fosil dinilai dapat mencemarkan lingkungan, maka negara wajib mengembangkan teknologi terbaik guna menekan dampak negatifnya serta menggandeng para pakar dibidangnya. Selain itu, bioenergi bila diperlukan juga tidak akan dilarang selama tidak mendatangkan dharar (mudarat) bagai rakyat seperti langkanya bahan pangan. Negara juga akan mendukung penuh pengembangan penelitian dan teknologi agar bioenergi tidak bersaing dengan kebutuhan pangan rakyat. Dengan begitu, niscaya kemandirian energi dan energi berkelanjutan bukan lagi ilusi bila Islam dijadikan dasar dalam sebuah negara. wallahualam bisshawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Mutiara Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gelombang PHK Menerpa Indonesia, Benarkah karena Resesi Eropa?
Next
Benarkah BBM Bioetanol Memandirikan Negara dalam Mengelola Migas?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Tata kelola yang tidak tepat menyebabkan banyak masalah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram