“Sekali lagi, menaikkan harga tiket untuk biaya pemeliharaan juga bukan solusi satu-satunya. Andai pun penurunan devisa dari Borobudur terjadi, bukankah negeri ini masih memiliki cadangan devisa dari seluruh objek wisata nasional dan ekonomi kreatif?”
Oleh. Sartinah
(Tim Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perputaran aktivitas manusia tidak terbatas waktu dan tempat. Kelelahan dan kepenatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Kelelahan ini pula yang menuntut manusia untuk sejenak rehat dan melepas penat. Salah satunya dengan mengunjungi berbagai sanggraloka yang terbentang dari timur ke barat negeri ini. Namun, apa jadinya jika hasrat mengunjungi destinasi wisata justru terganjal mahalnya harga?
Tiket ‘Selangit’
Tiket naik ke stupa Candi Borobudur tengah ramai diperbincangkan. Kenaikan harga tiket tersebut diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram pribadinya pada Minggu, 5 Mei 2022. Terang saja, kenaikan drastis tersebut membuat rakyat terperangah. Pasalnya, tiket untuk turis lokal ditetapkan sebesar Rp750 ribu, untuk turis mancanegara sebesar US$100 (Rp1,4 juta), sementara untuk pelajar sebesar Rp5.000,00. (Detik.com, 05/06/2022)
Namun, respons masyarakat yang keberatan dengan tarif baru tersebut, membuat Luhut mengklarifikasi pernyataannya. Dia mengatakan, tarif tersebut belum final dan akan meminta pihak-pihak terkait untuk mengkaji kembali besaran tarif baru untuk turis lokal agar bisa diturunkan. Lantas, apa sejatinya alasan pemerintah menaikkan tiket ke Candi Borobudur? Benarkah demi menjaga kelestarian situs, atau justru demi kepentingan ekonomi semata?
Wacana yang sudah terlanjur dilempar ke publik tak pelak memantik berbagai respons. Di antaranya dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Tulus menilai kenaikan tersebut sangat eksploitatif karena terlalu besar. Dia pun meminta agar pemerintah membatalkan wacana kenaikan tiket tersebut. Menurutnya lagi, kebijakan tersebut kapitalistik dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang mengklaim ingin menggerakkan sektor pariwisata. (Tempo.co, 05/06/2022)
Tak Ingin Rugi
Ada beberapa alasan yang dikemukakan pemerintah terkait kenaikan tiket ke Candi Borobudur. Pertama, untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur hanya 1.200 orang saja per hari. Kedua, demi menjaga kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Ketiga, adanya kajian dari banyak ahli bahwa situs tersebut sudah mengalami pelapukan hingga perlu menaikkan tiket untuk melakukan pembatasan pengunjung. Keempat, adanya aksi vandalisme dari pengunjung, penyelipan benda-benda tertentu disela-sela batu candi, dan tidak menghargai situs bersejarah umat Buddha.
Terkait alasan pemerintah menaikkan harga demi dalih pembatasan pengunjung dan pemeliharaan Candi Borobudur, ada beberapa catatan untuk merespons hal tersebut.
Pertama, terkait penjagaan candi sebagai kekayaan sejarah. Menjaga situs bersejarah yang sudah berumur ribuan tahun merupakan hal yang baik. Namun, hal itu tidak perlu dengan menaikkan tiket secara ugal-ugalan. Sebenarnya ada 1001 cara yang bisa dilakukan pemerintah. Misalnya saja dengan melakukan pembatasan kuota kunjungan, khususnya bagi pengunjung rombongan dengan melakukan reservasi terlebih dahulu.
Opsi lain yang bisa dilakukan adalah menutup akses sampai di tingkat pertama, kemudian menggratiskan pengunjung di halaman candi. Bukankah situs sejarah seharusnya bisa dikunjungi dengan biaya semurah mungkin bahkan gratis? Apalagi bagi umat Buddha yang butuh akses ibadah di sana. Menaikkan harga layanan yang justru memiskinkan masyarakat bukanlah solusi tepat. Akibatnya justru akan merugikan pemasukan negara dan masyarakat sekitar lokasi yang menggantungkan hidup dari berdagang barang dan jasa.
Kedua, terkait biaya pemeliharaan dan perawatan Candi Borobudur. Perlu diketahui, pemerintah mengeluarkan anggaran dari APBN sebesar Rp3 miliar setiap tahunnya untuk biaya perawatan Borobudur. Memang benar, selama pandemi Covid-19 sektor pariwisata termasuk Borobudur juga terkena dampak yang berakibat pada penurunan pemasukan negara. Mungkin saja pemerintah menganggap menurunnya pemasukan negara dinilai tidak sebanding dengan biaya perawatan yang dikeluarkan APBN. Karena itu, menaikkan tiket menjadi solusi instan yang dikeluarkan pemerintah.
Sekali lagi, menaikkan harga tiket untuk biaya pemeliharaan juga bukan solusi satu-satunya. Andai pun penurunan devisa dari Borobudur terjadi, bukankah negeri ini masih memiliki cadangan devisa dari seluruh objek wisata nasional dan ekonomi kreatif? Bukankah nilai PDB pariwisata dan ekonomi kreatif yang dimiliki negeri ini juga besar?
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), penghasilan devisa pariwisata tahun 2021 melampaui target US$0,37 atau setara dengan Rp5,2 triliun. Sedangkan untuk devisa ekonomi kreatif mencapai US$18,89 miliar atau Rp270.170 triliun.
Sementara itu nilai PDB pariwisata dan ekonomi kreatif pada 2021 sebesar 4,2 persen. Jumlah tersebut naik dibanding tahun 2020 yang hanya sebesar 4,05 persen. Dengan pencapaian devisa sebesar itu, apakah negara akan rugi jika mengeluarkan tiga miliar saja setiap tahunnya? Mengapa memilih menaikkan tiket yang justru berpotensi memiskinkan rakyat?
Kapitalisasi Pariwisata
Tak bisa dimungkiri, pariwisata negeri ini menjadi salah satu daya tarik bagi turis lokal maupun asing. Di sisi lain, daya tarik pariwisata dianggap sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Apalagi jika pariwisata sudah dipertemukan dengan kepentingan para pengusaha. Maka tidak mengherankan jika pengembangan pariwisata menjadi tren global yang terus diopinikan ke seluruh dunia termasuk negeri ini.
Besarnya devisa dan PAD yang dihasilkan dari bisnis pariwisata membuat banyak pihak terutama pemerintah mati-matian mengembangkan pariwisata sebagai sektor andalan dalam menyumbang devisa. Pariwisata memang menjadi andalan negeri ini setelah sektor migas dalam rangka pembangunan ekonomi. Walhasil, pariwisata pun dianggap sebagai sumber kemakmuran, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperluas lapangan pekerjaan.
Memang benar, adanya kunjungan turis di tempat wisata akan membangkitkan berbagai aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Seperti makan, berbelanja, menginap, menyewa kendaraan, dan lain-lain. Namun, tak bisa dimungkiri pula jika wisatawan banyak yang memesan minuman beralkohol, mencari tempat untuk berzina, dan lain-lain yang berpotensi membuat bertumpuknya segala jenis kemaksiatan di tempat wisata.
Kapitalisme Mengokohkan Penjajahan
Terfokusnya pembangunan di sektor pariwisata membuat pemerintah melupakan pengembangan sektor strategis yakni sumber daya alam lainnya. Negara terus berburu pemasukan recehan dari sektor pariwisata yang notabene merupakan sektor nonstrategis. Sementara sektor strategis dibiarkannya berpindah penguasaan dan dieksploitasi oleh swasta. Padahal, jika negara mau mengembangkan dan mengelola SDA lainnya seperti pertanian, perikanan, kehutanan, energi, dan kekayaan lainnya secara sungguh-sungguh, hal itu akan lebih besar manfaatnya dibandingkan hanya menggenjot sektor pariwisata.
Inilah sejatinya hasil dari penerapan sistem kapitalisme liberal di negeri ini. Kapitalisme telah membuat semua sektor yang berpotensi menjadi pemasukan negara dikomersialisasikan. Sedangkan liberalisme membuat sektor-sektor strategis yang seharusnya dikelola negara justru bebas dimiliki oleh para kapitalis. Kapitalisme pulalah yang menyebabkan lahirnya kastanisasi layanan terhadap masyarakat.
Walhasil, impian pariwisata sebagai sumber kemakmuran, kesejahteraan rakyat, dan tersedianya lapangan pekerjaan hanyalah isapan jempol semata. Pemilik keuntungan sebenarnya adalah para pemilik hotel, restoran, penginapan, dan lain-lain yang notabene adalah pemilik modal. Malah yang terjadi justru liberalisasi akut di semua sektor. Disadari atau tidak, liberalisasi adalah penjajahan gaya baru atas aset-aset negeri ini.
Pengaturan Pariwisata dalam Islam
Pengelolaan pariwisata yang berkiblat pada sistem kapitalisme telah nyata menjadikan materi atau keuntungan sebagai prioritas utama. Pengelolaan seperti ini tidak akan terjadi jika negara memilih sistem yang benar untuk mengelola pariwisata. Sistem tersebut harus berasal dari Sang Pencipta manusia sekaligus alam semesta yakni Allah Swt. Sistem tersebut adalah Islam.
Islam memiliki paradigma yang khas dalam memandang pariwisata. Dalam Islam, pengelolaan pariwisata dilakukan dengan satu tujuan, yakni dakwah dan propaganda. Hal ini bertujuan untuk mengokohkan keimanan seorang hamba kepada Rabb-nya. Selain itu, dakwah dan propaganda dalam pariwisata diharapkan akan membuat seorang hamba takjub saat menikmati keindahan ciptaan-Nya. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 20, “Katakanlah: Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Islam pun tidak akan membiarkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan di dalam negara, termasuk sektor pariwisata. Selain itu, banyaknya objek-objek wisata yang terbentang dari ujung timur ke barat akan dijadikan sarana untuk menyebarkan Islam. Baik pariwisata seperti hutan, pantai, pegunungan, air terjun, maupun berupa cagar budaya. Semua bisa menjadi sarana dakwah.
Wisatawan bisa berasal dari kaum muslim dan nonmuslim. Bagi wisatawan muslim, setelah mereka disuguhkan keindahan ciptaan Allah Swt., maka akan semakin mempertebal keimanannya. Demikian juga dengan wisatawan nonmuslim yang awalnya hanya berniat menikmati keindahan, tetap akan dijamu dengan dakwah Islam di area wisata. Maka tak heran, pariwisata akan menjadi ajang transfer pemikiran.
Sedangkan untuk pariwisata yang terkait cagar budaya, maka hal itu akan menjadi ajang penyampaian bukti-bukti sejarah kejayaan Islam. Hal itu dilakukan agar seseorang yang masih memiliki keraguan akan sejarah Islam, kembali yakin dengan adanya benda-benda peninggalan sejarah. Misalnya, museum Al-Qur’an sejak zaman sahabat hingga kini akan dimanfaatkan sebagai wisata edukasi.
Di sisi lain, negara (Khilafah) tidak akan menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi. Meskipun pariwisata sejatinya bisa menjadi sumber devisa. Hal ini karena pariwisata dalam Islam diperuntukkan sebagai sarana dakwah. Sedangkan untuk membiayai perekonomian, negara sudah memiliki sumber-sumber lain yakni dari sektor perdagangan, pertanian, industri, dan jasa. Sumber-sumber inilah yang akan menjadi tulang punggung negara untuk membiayai perekonomian. Sumber lainnya yang juga tidak kalah besar berasal dari jizyah, kharaj, fai, zakat, ganimah, dan dharibah.
Khatimah
Pariwisata yang dikelola dengan paradigma kapitalistis hanya akan membawa negeri ini jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal. Untuk membuat pariwisata diatur sesuai paradigma Islam, negeri ini mesti merombak seluruh pandangan dan tata kelolanya dengan sudut pandang Islam. Sebab, pengelolaan pariwisata dengan standar Islam akan mendatangkan keberkahan dan jauh dari murka Allah Swt.
Wallahu a’lam bi ash shawwab.[]