"Seharusnya sudah saatnya rakyat membuka mata, membaca kebenaran dan kejanggalan yang ada. Sudah saatnya kita mencium aroma kepentingan berbalut politik licik para pemain sandiwara politik di panggung pemilu. Sudah saatnya rakyat bangkit dari keterpurukan, bebas dari kepentingan penguasa serakah dan terlepas dari belenggu sistem batil yang tidak memanusiakan manusia."
Oleh. Ati Nurmala
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Partai politik layaknya perahu bagi pasangan calon yang hendak mencalonkan diri dalam pemilu. Partai politik merupakan organisasi yang mengordinasikan para pasangan calon untuk bersaing dalam pemilihan umum dan berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Karena untuk bisa menjadi pemenang dalam pemilu (Pemilihan umum) serta bisa menguasai pemerintahan, baik kepala daerah, presiden ataupun pimpinan lainnya partai politik harus bisa menyosialisasikan partainya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sebanyak mungkin. Sebuah parpol harus bisa meyakinkan kepada publik bahwa partai politiknya berjuang untuk kepentingan umum dan masyarakat.
Maka, untuk mendapat dukungan tersebut dinilai perlu bagi partai politik membentuk koalisi atau kerja sama demi mendapat suara terbanyak pada pemilu yang akan dilangsungkan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu saat ketua umum partai Golkar, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa partainya resmi menjajaki koalisi dengan dua partai lainnya. Pada pertemuan yang digelar di rumah Heritage Jakarta, Kamis (12/5/2022), ketiga partai yang menyepakati untuk melakukan kerja sama ini antara lain Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka menyebut keputusan untuk membangun koalisi ini bukan tanpa pertimbangan matang. Hasil pemilu legislatif (Pileg) 2019 yang menjadi acuan sekaligus menjadi syarat koalisi ini dianggap telah memenuhi kriteria untuk mengusung Capres (Calon presiden) dan Cawapres (Calon wakil presiden) pada pemilu 2024 mendatang. Sebagaimana syarat yang tertulis dalam pasal 221 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Teknis lainnya dapat diusulkan parpol atau gabungan parpol. Sedangkan syarat yang tercantum pada pasal 222 bahwa parpol atau gabungan parpol harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada (Pileg) pemilu legislatif sebelumnya. Dalam hal ini, ketiga partai yang bergabung menjalin kerja sama mereka dengan nama Koalisi Indonesia Bersatu itu telah mengalkulasikan secara rinci bahwa harapan memenangkan pemilu 2024 sangat tinggi.
Grafik hasil Pileg 2019 menunjukkan, partai Golkar mendapatkan 85 kursi di parlemen setara dengan 14,7 persen. PAN mendapatkan 44 kursi di Senayan setara dengan 7,6 persen. Sedangkan PPP berada di bawah PAN dengan capaian 19 kursi di parlemen atau 3,3 persen. Berdasarkan UU Pemilu, Koalisi Indonesia Bersatu bisa mengusung paslon Capres dan Cawapresnya pada Pilpres 2024. Sebab, jumlah kumulatif perolehan kursi dari ketiga partai tersebut di parlemen adalah 26,82 persen. Sementara itu berdasarkan suara nasional, koalisi ini mendapatkan 23,93 persen. Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa ketiga partai ini sepakat bakal melanjutkan program-program dari kepemimpinan presiden sebelumnya. Meski koalisi telah terbentuk, tapi Wakil Ketua DPP PPP, Arsul Sani, menyebutkan sejauh ini pembicaraan mengenai Capres dan Cawapres belum dibahas. Hal ini sebagaimana yang dituturkan Asrul, "Setelah hal-hal yang menyangkut platform koalisi tersebut bisa diselesaikan, maka baru kita membicarakan soal paslon yang akan diusung,” kata Arsul kepada Kompas.com, Jumat (13/5/2022).
Sebenarnya berbagai fenomena yang menghiasi perjalanan politik negeri ini tak lepas dari asas kepentingan semu penguasa. Sebab dalam demokrasi asas politik adalah kepentingan dan manfaat bukan yang lain. Fenomena koalisi jadi oposisi atau oposisi masuk koalisi dalam politik demokrasi saat ini lumrah terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin, “Tidak ada makan siang gratis. Tidak ada koalisi yang tulus. Semua berbalut kepentingan dan saling mendukung.” ini menekankan bahwa dalam politik tidak ada kebaikan yang cuma-cuma, semua ada nilai dan timbal baliknya. Dalam politik tidak ada lawan yang abadi, tapi kepentingan yang abadi. Parpol yang tadinya menentang menyatakan pendapat atau mengkritik kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa kini bungkam. Sebab politik di bawah naungan sistem demokrasi hanya akan berjalan di atas prinsip politik transaksional. Sudah fitrah bawaan politik demokrasi hanya berputar pada koalisi, jatah kursi, dan kepentingan kelompok lainnya. Maka, sudah pasti mereka yang menentang pun memilih untuk mengamankan kursi.
Faktanya, dalam demokrasi saat ini tidak ada pertai politik yang benar-benar berjuang untuk kemaslahatan rakyat. Mereka menempatkan rakyat sebagai alat mendulang suara untuk menjadi penguasa, suara rakyat dibutuhkan pada saat kompetisi pemilu berlangsung. Setelahnya suara mereka terabaikan, tak peduli sesering apa rakyat melakukan demonstrasi sebagai wujud aspirasi, tidak mengubah apa pun dan tidak ada pergerakan apa pun untuk memenuhi tuntutan rakyat tersebut. Bahkan sejak jauh-jauh hari saat musim pemilu para partai politik seolah menampakkan kepedulian mereka untuk membangun opini umum tentang partainya yang menjadikan kepentingan rakyat hal utama untuk menciptakan kesejahteraan. Namun, ini lagi-lagi untuk merebut suara rakyat demi memenangkan pemilu. Semuanya hanya formalitas belaka, mereka menggunakan janji manis untuk mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat agar memperoleh suara terbanyak saat pemilu. Bukan yang lain.
Seharusnya sudah saatnya rakyat membuka mata, membaca kebenaran dan kejanggalan yang ada. Sudah saatnya kita mencium aroma kepentingan berbalut politik licik para pemain sandiwara politik di panggung pemilu. Sudah saatnya rakyat bangkit dari keterpurukan, bebas dari kepentingan penguasa serakah dan terlepas dari belenggu sistem batil yang tidak memanusiakan manusia. Bagaimana tidak, di saat rakyat berjuang menanggung beban pajak yang kian meningkat, harga bahan pokok yang terus meroket, beragam penyiksaan dan penindasan yang tiada berujung, tapi mereka yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyat justru sibuk berebut kursi kekuasaan. Mereka lebih sibuk mengurusi persiapan pemilu dari pada mengurusi kebutuhan dan permasalahan yang berkecamuk di masyarakat. Di mana letak nurani para pejabat? Pilpres akan dilaksanakan dua tahun lagi, tapi parpol dan wakil rakyat sudah sibuk berdiskusi dan berkoalisi lebih dini. Padahal mengurusi Covid-19 yang kian bercabang pun tak kunjung teratasi. Hasrat kekuasaan dan cinta dunia telah mematikan empati dan hati nurani mereka yang diamanahi mengurusi kemaslahatan umat.
Demikianlah gambaran partai politik yang lahir dari sistem demokrasi sekuler. Berbeda dengan partai politik di bawah naungan daulah Islam. Dalam Islam partai politik berperan untuk melakukan perubahan masyarakat yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Partai politik yang benar adalah partai yang menyandarkan fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode) pada asas yang benar. Karena jika asasnya salah, maka dapat dipastikan arah gerakan partai tersebut juga salah. Maka orang-orang yang bergerak dalam partai tersebut haruslah memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Ikatan yang mengikat mereka harus berbasis Islam bukan sekadar ikatan organisasi apalagi sekadar kepentingan.
Jika partai yang dibangun berbasis ideologi yang benar, mereka akan meraih dan menempuh tujuannya berdasarkan asas tersebut. Tujuan partai politik yang sahih adalah untuk mendidik dan membina umat dengan pemahaman yang lurus yang sesuai dengan perintah Allah Swt.
Asas partai politik Islam dibangun atas empat asas, yakni:
Pertama, fikrah atau pemikiran yang benar. Kedua, thariqah atau metode yang ditempuh partai untuk mencapai tujuannya. Ketiga, anggota-anggota partai dan sejauh apa keyakinan mereka terhadap fikrah dan thariqah. Keempat, cara untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. Oleh karena itu, tugas partai politik Islam yang sahih adalah mengembalikan kehidupan Islam dan mewujudkan kebangkitan pemikiran Islam ke tengah-tengah umat dan menyebarkan dakwah Islam keseluruhan penjuru dunia.
Keberadaan kelompok atau partai diperintahkan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang-orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan merekalah orang-orang yang beruntung."
Dalam ayat tersebut keberadaan kelompok yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar merupakan kewajiban. Aktivitas politik terwujud pada kegiatan amar makruf nahi mungkar yakni menyeru kepada Islam dan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Apabila ada penguasa yang kebijakannya tidak sesuai hukum syarak dan tidak sesuai dengan kepentingan umat maka partai politik akan meluruskan, bukan diam apalagi mendukungnya melakukan kemaksiatan. Amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada umat juga kepada penguasa yang menjalankan kekuasaannya. Inilah tugas partai politik yang sesungguhnya, bukan alat untuk memuaskan hasrat kepentingan dan meraih kekuasaan belaka. Tapi untuk membimbing umat agar mereka kembali kepada Islam rahmatan lil'alamin. Mengajak mereka untuk mengenal Islam sebagai satu-satunya solusi tuntas atas setiap permasalahan dan membuat mereka merindukan tegaknya keadilan serta berupaya untuk mengembalikan lagi kehidupan Islam ke tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab.[]