"Sejatinya permasalahan ketenagakerjaan ini tidak berdiri sendiri, namun berkaitan dengan sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, penguasa hanya berperan sebagai regulator, yakni pembuat kebijakan semata. Standar yang digunakan dalam menetapkan kebijakan adalah manfaat dan materi belaka. Sehinggga hubungan penguasa dan rakyat sebatas hitungan untung dan rugi. Bukan untuk diurusi, justru rakyat dianggap sebagai beban yang memberatkan apabila harus diurusi menggunakan kas negara."
Oleh. Wa Ode Selfin
(Pegiat Literasi dan Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.com- Kerja serius gaji bercanda. Gambaran kondisi para tenaga honorer di Indonesia. Lumrah diketahui bersama, besarnya tuntutan kerja tak sebanding dengan upah yang diperoleh. Terbaru, dikeluarkan kebijakan horor yang berupaya menghapuskan posisi tenaga honorer karena jumlahnya yang kian membludak, sedang upahnya di bawah UMR.
Dilansir dari Detik.com (05/06/2022), pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya keputusan itu, maka Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis antara lain PNS dan PPPK. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo, menyatakan bahwa kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Tjahjo menerangkan, per Juni 2021, masih terdapat 410.010 orang Tenaga Honorer Kategori II (THK-II). Kendati masih terdapat 410.010 pegawai honorer, tapi jumlah mereka akan berkurang tahun ini. Sebab, terdapat 51.492 orang di antaranya yang lulus seleksi CASN 2021, dan kini sedang dalam proses pengangkatan. Dengan diangkatnya 51.492 orang itu menjadi PNS atau PPPK, maka masih tersisa 358.518 pegawai honorer. Mereka yang tersisa inilah yang berpotensi kehilangan pekerjaan saat status pegawai honorer dihapus pada 28 November 2023.(Republika.co.id, 05/06/2022)
Kebijakan penghapusan tenaga honorer ini disambut baik oleh berbagai kalangan karena di satu sisi bertujuan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan tenaga honorer yang selama ini diberi upah di bawah UMR. Namun, di satu sisi kebijakan ini berdampak pada hilangnya kesempatan kerja untuk mereka yang tidak lulus seleksi CPNS. Sekitar 300.000an lebih yang akan terancam kehilangan pekerjaan. Kendati demikian, benarkah langkah yang diambil pemerintah ini akan menjadi solusi untuk mengatasi tingginya jumlah tenaga honorer?
Kebijakan Horor, Buah Diterapkannya Sistem Kapitalisme
Persoalan tenaga honorer memang sejak lama menjadi persoalan yang pelik. Pengangkatan pegawai honorer sudah sejak lama dilakukan oleh instansi pemerintahan, baik di pusat maupun daerah untuk merekrut SDM yang dapat membantu ASN dengan pertimbangan sebatas memenuhi kebutuhan semata. Dikeluarkannya kebijakan ini justru membahayakan hilangnya pekerjaan bagi para honorer yang tidak lulus dalam tes CPNS. Terlebih tenaga honorer diangkat menjadi PNS atau PPPK harus melalui tes seleksi CPNS. Yang mana kebijakan ini sungguh tak adil bagi mereka yang sudah tahunan bahkan puluhan tahun mengabdi. Jika pemerintah serius untuk menangani persoalan ini, kenapa tidak memberi upah yang cukup bagi para honorer, kalau justru menghapuskan yang lainnya, bukankah itu kebijakan yang mengenaskan?
Seperti pernyataan yang dikeluarkan oleh Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2), Sahrudin Anto, bahwa penghapusan tenaga honorer bagai bom molotov dari pemerintah untuk membumihanguskan honorer, karena sudah belasan bahkan puluhan tahun mereka mengabdi, namun hancur karena gagalnya pemerintah me- menage kepegawaian. (Metrotv)
Senada dengan itu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penghapusan tenaga honorer di lingkungan pemerintahan, sebab selama ini para tenaga honorer telah berperan membantu kinerja pemerintahan daerah. (Kompas.com, 09/06/2022)
Jika kita menelisik, kebijakan penghapusan tenaga honorer memberi kesan bahwa pemerintah berlepas diri dari tanggungjawab untuk menyejahterakan masyarakat, yakni dengan menyediakan lapangan kerja dengan upah yang layak. Bukan hal yang mustahil jika negara mampu menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat termasuk para tenaga honorer yang nasibnya kian terlunta-lunta, tanpa harus ada kebijakan menghapuskan sebagian dari tenaga honorer. Hanya saja APBN tak mampu untuk menanggung beban tersebut. Justru para honorer direkrut dengan upah yang diberi dari instansi yang bersangkutan.
Padahal, andai semua mau menyadari, Indonesia adalah negeri khatulistiwa yang berlimpah sumber daya alamnya. Betapa Indonesia mempunyai banyak hasil bumi, laut, dan udara. Mulai dari minyak bumi, nikel, emas, aspal, dan lain sebagainya. Hanya saja keberlimpahan SDA tersebut justru dikelola dan dinikmati oleh asing dan para korporasi. Tidak diperuntukkan demi kesejahteraan masyarakat. Alhasil, tak heran semakin curam jurang antara si kaya dan si miskin, sebab yang sejahtera hanyalah mereka para kapitalis. Terlebih lagi untuk honorer, para pegawai yang berstatus non-ASN. Kebijakan penghapusan tenaga honorer ini seolah menjadi solusi, namun justru untuk meminimalisasi para honorer yang jumlahnya kian meningkat.
Sejatinya permasalahan ketenagakerjaan ini tidak berdiri sendiri, namun berkaitan dengan sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, penguasa hanya berperan sebagai regulator, yakni pembuat kebijakan semata. Standar yang digunakan dalam menetapkan kebijakan adalah manfaat dan materi belaka. Sehinggga hubungan penguasa dan rakyat sebatas hitungan untung dan rugi. Bukan untuk diurusi, justru rakyat dianggap sebagai beban yang memberatkan apabila harus diurusi menggunakan kas negara. Seperti yang terjadi pada tenaga hononer, bahkan dituduh sebagai beban negara.
Demikianlah, realita sebuah negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Sebuah sistem kehidupan yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetapkan sebuah aturan yang bersumber dari akal yang terbatas. Padahal manusia sebagai makhluk memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam hal membuat atuaran. Lantas, masihkah berharap pada kepemimpinan sistem kapitalisme?
Pegawai Sejahtera dalam Naungan Khilafah
Dalam negara Khilafah, seluruh aturannya dilandaskan pada akidah Islam. Seluruh aturan yang dikeluarkan oleh negara berdasarkan pada hukum syariat. Untuk masalah ketenagakerjaan, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja bagi setiap orang yang mampu bekerja agar memperoleh pekerjaan. Dalam Khilafah, rekrutmen pegawai negara tidak mengenal istilah tenaga honorer karena mereka akan direkrut sesuai kebutuhan rill negara. Negara akan menghitung jumlah pekerja yang diperlukan untuk menjalankan urusan administratif dan pelayanan publik.
Siapa pun yang bekerja dalam instansi pemerintahan akan diatur sepenuhnya di bawah hukum ijarah. Para pegawai dijamin kesejahteraannya oleh negara. Sebab aturan yang dipakai adalah aturang slSang Pencipta. Sehingga tidak heran kebijakan yang ditetapkan pemimpin akan berpihak pada rakyat bukan pada segelintir penguasa. Dengan tata kelola ekonomi, negara memberikan upah yang layak bagi para pegawai sesuai dengan kinerja kerjanya. Sebagai contoh pada masa Khalifah Abdul Aziz, gaji para pegawai negara ada yang mencapai 300 dinar atau setara Rp114.750.000. Khilafah mampu menggaji dengan jumlah yang fantastis, sebab sistem keuangan Khilafah berbasis Baitulmal. Yang mana dalam Baitulmal terdapat pos pemasukan negara yang bersumber dari harta fai, kharaj, ghanimah, jizyah dan sejenisnya. Dari pos ini Khilafah mampu menyelesaikan masalah tenaga honorer, yang tidak akan mampu diselesaikan oleh sistem kapitalisme.
Begitulah gambaran kepemimpinan dalam negara Khilafah. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme demokrasi untuk mengentaskan problema tenaga honorer, terkhusus untuk seluruh persoalan yang menimpa umat manusia?
Wallahu’alam bissawab.[]