"Negara dalam sistem ini pula yang senantiasa memandang keuntungan dari berbagai hal meskipun didapat dari barang haram dengan zat yang berbahaya. Kalau pun ada tindakan, negara hanya bertindak pada produsen atau distributor yang tidak punya izin, sementara yang sudah berizin tetap dibiarkan."
Oleh. Ai Siti Nuraeni,
(Pegiat Literasi dan Kontributor Narasipost.com)
NarasiPost.Com- Bagaikan macan ompong, keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian miras yang telah disahkan pada 2021 lalu tidak membuahkan hasil berarti. Hal itu karena minuman keras (miras) masih beredar luas di Ciwidey juga wilayah Kabupaten Bandung yang lain. Beberapa anggota DPRD serta masyarakat mendesak aparat terkait untuk segera turun tangan memberantas perdagangan miras.
Dasep Kurnia Gunarudin selaku anggota DPRD Kabupaten Bandung menyayangkan Perda yang sudah dibuat ini tak kunjung dilaksanakan oleh Pemkab Bandung. Sebuah fakta menunjukkan meskipun razia dilakukan dan berhasil mengangkut empat truk miras, namun tidak membuat toko penjual itu ditutup. Saat ini mungkin masyarakat masih memercayakan masalah ini pada aparat, tapi kemungkinan pergerakan massa yang bertindak sendiri akan tetap ada jika aparat dinilai tidak bisa menangani persoalan ini dengan sebaik mungkin. (Eljabar.com.,20/05/2022)
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, sudah sepantasnya Indonesia memberikan perhatian khusus untuk mengatur peredaran miras. Selain karena diharamkan dalam agama Islam, miras juga diketahui memberikan efek buruk pada generasi, tidak baik bagi kesehatan, bahkan dapat menghilangkan nyawa dan menjadi penyebab terjadinya tindak kriminal.
Adapun pengaruh miras pada generasi muda Indonesia telah sangat merusak. Sebuah riset yang dilakukan pada tahun 2014 oleh Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) menunjukkan 23 persen remaja adalah pengonsumsi miras. Jika saat itu jumlah remaja mencapai 63 juta jiwa maka 14,4 juta remaja di antaranya terkontaminasi miras. Sungguh sebuah angka yang begitu besar.
Melihat fakta ini, yakni pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk membatasi peredaran miras di tempat tertentu yang sudah mengantongi izin. Dengan begitu, harusnya peredaran miras bisa dikontrol dan akses remaja pada barang haram ini bisa dibatasi. Namun, remaja yang kadung kecanduan miras semakin 'kreatif' dengan kesenangan negatifnya ini, buktinya mereka tetap bisa mendapatkan miras ini bahkan membuat dan meracik sendiri miras dengan berbagai bahan yang jelas bukan untuk dikonsumsi (oplosan), seperti deterjen, pembersih lantai, dan lain-lain agar bisa mabuk dan menghilangkan masalah.
Dari aspek kesehatan, konsumsi miras atau minuman beralkohol tidak baik untuk kesehatan karena bisa merusak berbagai organ penting di dalam tubuh di antaranya paru-paru, jantung, dan ginjal. Bahkan penggunaan dalam jangka panjang bisa memicu kerusakan organ hati dan juga sel di otak.
Selain secara zatnya yang berbahaya, efek alkohol yang bisa menghilangkan kesadaran juga akan membawa dampak yang tak kalah mengerikan. Banyak tindak kriminal seperti pencurian, pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan karena pelakunya dalam pengaruh miras.
Begitu pula dalam tinjauan syariat (agama), mengonsumsi miras adalah sebuah tindak kemaksiatan yang diharamkan oleh Allah Swt. Sayangnya, pemahaman umat mengenai hukum halal dan haram tidak lagi tergambar setelah diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Akibat sistem inilah pergaulan remaja menjadi bebas tanpa ada batasan sehingga remaja beranggapan bahwa menenggak miras itu adalah hal yang keren karena perbuatan itu juga dilakukan oleh idola mereka.
Akibat sistem rusak ini pula, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat terutama generasi muda seakan tidak punya kekuasaan dalam menghentikan secara total penyebaran miras. Negara dalam sistem ini pula yang senantiasa memandang keuntungan dari berbagai hal meskipun didapat dari barang haram dengan zat yang berbahaya. Kalau pun ada tindakan, negara hanya bertindak pada produsen atau distributor yang tidak punya izin, sementara yang sudah berizin tetap dibiarkan.
Begitu pula dengan aspek kesehatan, negara kapitalis tidak akan menjadikannya sebagai halangan untuk meraih untung serta manfaat karena asas perbuatannya adalah materi, bukan ruhiah atau moral. Dari sini, kalaupun misalnya kemiskinan serta kematian rakyat bisa mengantarkan pada keuntungan berlipat, maka kapitalis tak akan ragu untuk memanfaatkannya.
Dalam agama Islam setiap hal yang memabukkan atau bisa menghilangkan kesadaran dari akal maka dikategorikan sebagai khamr. Banyak atau sedikitnya zat ini dikonsumsi oleh seorang muslim itu menyebabkan peminumnya melakukan dosa besar karena jelas telah diharamkan oleh Rasulullah saw. Meskipun awalnya berasal dari bahan yang halal seperti biji-bijian atau buah-buahan, jika dalam prosesnya menghasilkan alkohol, maka produk tersebut tetap disebut khamr.
Selanjutnya, karena miras menyebabkan mabuk, maka peminumnya akan kehilangan kontrol atas akal sehatnya, meningkatkan keberanian, menghilangkan rasa takut, tapi perbuatan yang dilakukan malah menjadi ngawur. Maka tak jarang ditemukan orang dalam pengaruh miras melakukan kejahatan seperti mencuri, memerkosa, berkelahi sampai membunuh. Pantaslah Islam menyebut miras ini sebagai ummul khabaits (induk keburukan) karena satu keburukan yakni mabuk akan berakibat pada kejahatan dan dosa besar lainnya seperti berzina dan membunuh. Sebagaimana sabda Nabi saw. berikut:
"Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barang siapa meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR. ath-Thabrani )
Oleh karena itu, individu muslim tidak akan menjadikan miras sebagai aktivitas kesenangan unfaedah melepas penat atau lari dari masalah. Karena ia betul-betul memahami bahwa itu adalah aktivitas yang dilarang yang akan mendatangkan murka Allah Swt. Bahkan pelakunya akan mendapat sanksi ta'zir dari negara penerap syariat seperti jilid/cambuk 80 kali sebagaimana yang dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
Adapun hukuman yang diberikan pada produsen serta distributor miras/khamr akan lebih berat lagi dari sekadar cambuk karena bahaya yang ditimbulkan lebih besar dan meluas. Sebab, hukuman (sanksi) dalam syariat Islam berfungsi sebagai pencegahan (jawabir) bagi masyarakat luas dan hukuman (jawazir) bagi pelaku. Maka dengan begitu, rakyat akan merasa tenang dan tidak perlu turun tangan langsung untuk melakukan razia miras.
Semua regulasi dalam sistem Islam demikian terperinci dilakukan negara dalam tanggung jawabnya menjaga umat dari kegiatan yang haram. Nabi saw. telah melaknat sepuluh golongan berkaitan dengan khamr, yakni:
"Orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan dalam tatanan negara, Islam telah menjadikan pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab penuh dalam urusan rakyat dan berfungsi untuk menjaga akal rakyatnya. Sehingga dalam perihal miras negara akan melarang rakyatnya minum miras, menghentikan produksi serta pendistribusiannya, tanpa khawatir kas negara akan berkurang. Aturan Islam berkaitan dengan khamr ini juga akan bisa membangun mindset yang benar pada masyarakat nonmuslim sehingga mereka menyadari kebaikan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini mereka masih boleh mengkonsumsinya namun dengan aturan yang ketat agar tidak keluar dari lingkungan mereka. Perbandingan kehidupan kapitalisme saat ini dengan Islam terdapat perbedaan real tentang ri'ayah suunil ummah oleh negara. Maka, jika kita masih mempertahankan sistem kapitalisme yang minim pengurusan terhadap publik, kesejahteraan dan keamanan bagi mereka hanya ilusi belaka.
WaLlaahu a'lam bish shawaab.[]