"Beginilah cara sekularisme mengajak manusia meninggalkan agamanya, tanpa perlu memurtadkannya. Cukup dengan membuat manusia tak mengenal hukum-hukum Allah, dan membiarkan kehidupannya diatur oleh hawa nafsunya sendiri. Sehingga apa pun yang menyenangkan hatinya serta memenuhi keinginannya akan ia lakukan tanpa berpikir benar atau salah dalam pandangan agama."
Oleh: Silvia Anggraeni, S.Pd
(Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.com- Geger pernikahan seorang pria dengan domba di Gresik, Jawa Timur. Pernikahan itu kemudian diadukan ke polisi. Video pria menikahi domba itu diunggah di YouTube Rey Toet TV berjudul "Viral! Pernikahan Pria Asal Gresik Menikahi Seekor Domba katanya Dapat Wangsit". Pengunggah video menyebut pernikahan itu hanya demi konten. (detikNews.com, 08/06/2022)
Perilaku manusia kian hari kian mencengangkan. Semua mengagungkan kebebasan hingga boleh berbuat tanpa perlu berpikir batasan. Apalagi demi uang, semua cara pun dihalalkan. Di era yang penuh tipu daya dan gemerlap dunia, harta seolah menjadi tujuan utama. Cara instan pun ditempuh agar kekayaan dapat menggunung secepatnya. Dan menjadi konten kreator adalah pekerjaan yang menjanjikan banyak cuan. Alhasil, mereka berlomba menarik minat penonton dengan menciptakan konten yang tak biasa bahkan kontroversial.
Seperti pepatah Arab: “Kencingi sumur zamzam, maka engkau akan terkenal." Hal yang sungguh tak lazim, namun mampu mengantarkan pada ketenaran. Walau harus terkenal dalam hal yang negatif, tapi keuntungan yang menjanjikan membuat orang mau melakukannya. Dalam benaknya hanya ada soal keuntungan semata. Dan pesatnya laju media sosial menjadi pendukung mereka dalam mencapai tujuannya.
Ibarat pisau bermata dua, tak hanya bermanfaat bagi sumber informasi, media sosial juga bisa memberi efek negatif jika tak bijak dalam menggunakannya. Seperti kasus di atas, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan seekor kambing, tujuannya tak lain agar video tersebut menjadi viral. Perbuatan ini melampaui batas dan menjadikan agama sebagai bahan gurauan.
Pernikahan merupakan salah satu bentuk sunah Rasulullah. Ia merupakan janji suci yang disaksikan oleh penduduk langit dan bumi. Pernikahan juga salah satu bentuk ibadah. Maka, menggunakannya sebagai sarana permainan jelas sebuah perbuatan dosa.
Dalam Al-Qur'an ditegaskan, “(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai olok-olokan dan senda gurau. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini.” (QS al-A’raf [8]: 51)
Beginilah cara sekularisme mengajak manusia meninggalkan agamanya, tanpa perlu memurtadkannya. Cukup dengan membuat manusia tak mengenal hukum-hukum Allah, dan membiarkan kehidupannya diatur oleh hawa nafsunya sendiri. Sehingga apa pun yang menyenangkan hatinya serta memenuhi keinginannya akan ia lakukan tanpa berpikir benar atau salah dalam pandangan agama.
Inilah fakta memilukan dari sisi individu yang menganut sekularisme. Lalu bagaimana dengan negara yang berasaskan sekularisme seperti saat ini? Maka, wajar jika beragam masalah bermuculan tak terselesaikan. Karena semua aturan berasal dari keinginan si empunya jabatan.
Salah satu contoh kegagalan negara yang nyata adalah soal kepengurusannya terhadap media sosial. Media yang seharusnya memberi manfaat berupa informasi dan edukasi kepada masyarakat, kini justru bebas tak terkendali serta berisi tontonan sampah yang berpotensi merusak moral bangsa. Negara seharusnya berperan dalam mengedukasi umat soal etika menggunakan media sosial. Dan penyaringan terhadap konten yang layak tayang di media. Sehingga semua tontonan masyarakat dipastikan berkualitas dan berisi hikmah yang dapat menambah wawasan serta keimanan.
Hukum yang diterapkan dalam demokrasi pun tak melindungi agama Islam dan para penganutnya. Sanksi yang diberikan kepada para penista agama terkesan hanya sebuah basa-basi semata. Bahkan di dalam negara yang mayoritas penduduknya muslim sekali pun, umat muslim tetap tak mendapatkan jaminan perlindungan yang semestinya. Alhasil, beragam penodaan ajaran agama Islam terus bermunculan.
Saatnya Islam diterapkan agar kehidupan berjalan aman sebagaimana mestinya. Sehingga setiap individu memiliki rasa takwa dan menjadikan Islam sebagai landasan hidupnya. Dalam Islam semua perbuatan akan diminta pertanggungjawabannya. Hal ini yang menjadikan umat muslim tak sembarang bertindak. Ada standar halal dan haram yang menjadi pengendali, sebab tujuan utama hidupnya adalah menggapai rida Ilahi. Termasuk dalam bersosial media, seorang mukmin akan menggunakannya sebagai sarana untuk menebar kebaikan. Karena sesungguhnya setiap detik dan laku akan dihisab, maka ia takkan menggunakan waktu hidupnya untuk hal yang sia-sia apalagi berbuat dosa.
Dan yang paling penting adalah peran negara dalam menjaga agama. Khilafah sebagai sistem yang menerapkan syariat Islam tentu mempunyai hukum yang tegas untuk menjaga kemuliaan ajaran agama Islam dari segala hal yang mencemarinya. Termasuk menindak tegas para pelakunya. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Hamid II saat memimpin Daulah Turki Utsmani, ketika itu seorang bernama Henri de Bornier menghina Nabi saw lewat pentas drama komedi. Sang Sultan lalu mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama tersebut di seluruh Prancis. Beliau pun memanggil seluruh duta negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu dibiarkan menunggu hingga berjam-jam di depan pintu. Kemudian sang Sultan datang dengan berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, dengan penuh wibawa dan nada mengancam.
Sang sultan berkata: "Seandainya Prancis tak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan Khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada di tanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah Swt melimpahkan keburukan pada kalian".
Inilah bukti betapa pentingnya keberadaan seorang Khalifah, para penista agama akan mendapatkan hukuman yang berat bahkan hukuman mati. Hukuman ini akan mencegah kasus serupa terulang kembali.
Wallahu alam bisshowab[]