"Dari apa yang dilakukan Ketua DPR dalam rapat menjadi gambaran nyata sosok penguasa dalam sistem kapitalis yang terkesan antikritik. Dewan Perwakilan yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat nyatanya tidak bebas bersuara ketika hendak menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan penguasa."
Oleh. Irma Faryanti
( Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Seolah tak lelah menuai kontroversi, ketua DPR Puan Maharani kembali beraksi. Dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada hari Selasa 24 Mei lalu, cucu proklamator RI tersebut kembali mematikan mikrofon anggota dewan yang tengah melakukan interupsi, dengan alasan rapat sudah berlangsung selama tiga jam. (Tribun-Timur.com, Rabu 25 Mei 2022)
Ini adalah kali ketiga Puan melakukan aksi serupa. Sebelumnya ia pernah mematikan mikrofon anggota komisi X dari fraksi PKS, Fahmi Alaydroes, saat membahas persetujuan Jenderal Andika Perkasa sebagai panglima TNI. Juga pada rapat pengesahan UU Cipta kerja, anggota DPR RI dari partai Demokrat, Irwan Fencho pun mengalami nasib yang sama.
Menanggapi hal tersebut, Lucius Karius selaku Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebutnya sebagai suatu sikap otoriter yang bisa merugikan Puan sendiri. Padahal aturan tata tertib DPR sendiri telah memberi izin bagi anggota dewan untuk melakukan interupsi. Jadi, tidak ada yang salah dari sikap anggota dewan yang mengungkapkan pendapatnya walaupun isi interupsinya kadang tidak sesuai dengan topik yang tengah dibahas, namun tidak ada salahnya didengarkan terlebih dahulu.
Apa yang disampaikan Lucius berbeda dengan Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsuddin. Ia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Puan adalah tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin untuk menertibkan jalannya rapat. Terlebih, pihak yang melakukan interupsi sebelumnya telah diberi kesempatan untuk berpendapat.
Dari apa yang dilakukan Ketua DPR dalam rapat menjadi gambaran nyata sosok penguasa dalam sistem kapitalis yang terkesan antikritik. Dewan Perwakilan yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat nyatanya tidak bebas bersuara ketika hendak menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan penguasa. Padahal sejatinya, jika kembali pada ide kebebasan yang diagungkan dalam sistem demokrasi hal itu jelas diperbolehkan karena kebebasan berpendapat sangatlah dijunjung tinggi.
Sistem kapitalisme mengharuskan setiap ketetapan yang dimusyawarahkan dalam rapat harus sesuai arahan, tidak bisa diputuskan begitu saja hingga merugikan kepentingan para pemilik modal. Penguasa cenderung berpihak pada para kapital, sekalipun harus mengorbankan rakyatnya sendiri.
Inilah watak asli sosok pemangku jabatan di negeri ini, kekuasaan yang dimilikinya digunakan untuk memuluskan keinginan segelintir orang. Alih-alih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak, yang ada mereka sibuk menjaga eksistensi diri hanya demi keuntungan pribadi.
Kapitalisme memosisikan kekuasaan sebagai keberuntungan, bukan sebagai amanah yang kelak berat hisabnya di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu, berlomba memenangkan kursi kekuasaan menjadi hal yang biasa. Setelah berkuasa seringkali menunjukkan sikap antikritik, berbeda jauh dengan sikap mereka ketika butuh suara rakyat.
Bagi orang yang paham, kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat berat tanggung jawabnya, sehingga bukanlah sesuatu yang layak dibanggakan. Abu Bakar dan Umar bin Khaththab ketika dibai'at sebagai pemimpin kaum muslimin merasa sangat khawatir dengan amanah kepemimpinan, keduanya meminta kepada rakyatnya untuk meluruskan jika berbuat bengkok dari syariat.
Bahkan dalam sistem Islam, ada lembaga yang disebut dengan majelis umat, memiliki tugas melakukan muhasabah kepada penguasa jika melakukan penyimpangan dari syariat atau menzalimi rakyat. Mereka adalah representasi dari umat yang memahami betul apa yang terjadi dan dibutuhkan oleh umat. Oleh karenanya, ketika terjadi kezaliman, maka koreksi pun akan segera disampaikan. Jika tidak didapati perubahan, maka permasalahan akan dibawa hingga ke Mahkamah Madzalim yang berwenang menyelesaikan persengketaan antara rakyat dengan jajaran pemilik kekuasaan atau pemangku kebijakan.
Peristiwa muhasabah pernah terjadi di masa Rasulullah saw. yaitu saat penduduk Yaman melaporkan bacaan yang dilantunkan Muadz bin Jabal r.a. ketika menjadi imam salat, karena terlalu panjang bacaan suratnya. Nabi saw. bersabda dalam HR Bukhari Muslim:
"Wahai manusia, kalian harus bergegas (bersama untuk salat). Siapa yang menjadi imam salat, hendaknya ia memperpendek, sebab di situ ada yang sakit, lemah dan orang-orang yang memiliki hajat."
Sebagai perwakilan rakyat, majelis umat berhak menyampaikan muhasabah -nya kepada penguasa, walaupun masukannya tidak bersifat mengikat dan tidak berwenang menentukan kebijakan. Acuan yang digunakan tetap harus dijalankan berdasarkan hukum syariat Islam, sehingga keharmonisan di antara keduanya dalam mewujudkan kemaslahatan umat bisa terlaksana. Penguasa dalam sistem Islam tidak boleh antikritik tapi harus mendengarkan setiap masukan sebagai bahan perbaikan.
Majelis umat tidak dibentuk untuk memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu, tidak dimanfaatkan untuk bagi-bagi proyek, juga tidak membuat aturan atau perundang-undangan. Majelis umat dibentuk semata-mata sebagai wadah aspirasi umat agar disampaikan kepada penguasa demi kemaslahatan semua pihak.
Demikianlah Islam menempatkan kekuasaan. Kewajiban penguasa adalah menerapkan seluruh aturan Islam sehingga tercipta Islam sebagai rahmatan lil 'alamiin. Keadilan, kesejahteraan, keamanan terwujud dan dirasakan oleh segenap masyarakat. Sementara rakyat sendiri berkewajiban melakukan muhasabah terhadap penyimpangan dan tindakan zalim penguasa.
Wallahu a'lam Bishawwab[]