“Sistem kapitalisme telah menggerus integritas pejabat publik. Para pejabat tak lagi memegang prinsip ‘amanah’ kala mengurusi urusan rakyat. Andaipun ada, jumlahnya tidak sebanding dengan mereka yang memiliki prinsip bahwa kekuasaan adalah lahan basah mengeruk keuntungan.”
Oleh. Sartinah
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bak jamur tumbuh di musim hujan, mafia tanah terus bertambah dan menggurita di antero negeri. Mereka bekerja secara sistematis hingga ke birokrasi pemerintah. Mirisnya, banyak di antara mereka adalah oknum pejabat pemerintah sendiri yang berhasrat mendapat cuan secara instan dan besar. Mereka pun tersebar dari pelosok daerah hingga ke jantung ibu kota, yakni Jakarta.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni berinisial LD selaku notaris dan MTT selaku mafia pengadaan tanah. Selain kedua tersangka, eks pejabat UPT Tanah Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta yang berinisial HH, juga telah ditetapkan sebagai tersangka. HH berperan sebagai pemberi resume appraisal (penilaian) terhadap sembilan bidang tanah di Kelurahan Setu, Cipayung, Jakarta Timur.
Kongkalikong Mafia Tanah
Kasus mafia tanah di Cipayung berawal dari tahun 2018 lalu, yakni ketika Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan di Kelurahan Setu, Cipayung, Jakarta Timur. Pembebasan tersebut dilakukan terhadap sembilan bidang tanah untuk kepentingan pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta. Dalam kasus tersebut diduga telah terjadi mark up (penggelembungan) harga tanah yang telah merugikan negara miliaran rupiah.
Patut diketahui, praktik mark up mustahil terjadi tanpa adanya kongkalikong antara pihak-pihak terkait. Hal ini pun terjadi saat pembebasan lahan di Cipayung, Jakarta Timur. Ada kerja sama antara tersangka HH (eks pejabat UPT DKI Jakarta), LD (selaku notaris), dan MTT (selaku mafia pengadaan tanah).
HH yang berperan sebagai pemberi nilai appraisal terhadap sembilan bidang tanah yang akan dibebaskan Pemprov DKI Jakarta, sengaja melakukan kecurangan. Pasalnya, resume nilai appraisal yang diberikan HH ternyata telah ditetapkan sebelum melakukan negosiasi harga dengan para pemilik tanah. Resume tersebutlah yang kemudian digunakan untuk melakukan pengaturan harga tanah oleh tersangka LD.
Selain memainkan nilai appraisal, HH juga disebut melakukan beberapa langkah ilegal yang bertentangan dengan undang-undang. Di antaranya: Pertama, tidak menyertakan dokumen perencanaan pengadaan tanah. Kedua, tidak ada peta informasi tata kota dari Dinas Tata Kota saat pembebasan lahan. Ketiga, tidak mengajukan permohonan informasi kepada Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD). Keempat, tidak ada persetujuan dari Gubernur DKI Jakarta.
Dari proses kongkalikong tersebut, para pemilik tanah mendapatkan ganti rugi pembebasan lahannya sebesar Rp1,6 juta per meter. Padahal, anggaran yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk pembebasan lahan tersebut sebesar Rp2,7 juta per meternya. Dari total dana yang dibayarkan Dinas Kehutanan DKI Jakarta yakni Rp46,49 miliar tersebut, para pemilik tanah hanya mendapat total pembayaran sebesar Rp28,72 miliar. (Kompas.com, 19/06/2022)
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Ashari Syam, uang hasil mark up anggaran pembebasan lahan yang berhasil dinikmati oleh para tersangka yakni sebesar Rp17,7 miliar. Para tersangka diduga melanggar Peraturan Gubernur Nomor 82 Tahun 2017 pasal 45 dan pasal 55 tentang Pedoman Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. (Kompas.com, 19/06/2022)
Dari sini, jelaslah bahwa para mafia tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembebasan lahan di negeri ini. Fakta tersebut hanyalah satu kasus dari banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh aktor mafia tanah. Lantas, apa sebenarnya penyebab maraknya mafia tanah di negeri ini? Mengapa mudahnya para pejabat melakukan mark up ? Bagaimana pula pandangan Islam terhadap pejabat yang tidak amanah?
Modus Korupsi
Mafia tanah sering kali dikeluhkan karena sepak terjangnya merugikan masyarakat. Namun, sepak terjang para mafia tanah yang terbilang rapi dan terstruktur ternyata sulit diungkap. Hal ini diduga karena ada campur tangan oknum birokrasi pemerintah yang turut membantu memuluskan aksi para mafia tanah. Maklum saja, tanah memang menjadi salah satu investasi dan komoditas ekonomi yang menggiurkan.
Menurut Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian, ada empat penyebab maraknya praktik mafia tanah di Indonesia. Pertama, iklim pembangunan di negeri ini masih bergantung pada investasi. Fakta ini menjadi faktor utama banyaknya kejahatan mafia tanah yang terjadi. Bahkan, Presiden Jokowi pernah membuat pernyataan akan mencopot kapolda yang tidak mendukung investasi. Pernyataan tersebut menyiratkan pesan bahwa praktik mafia tanah banyak dilindungi oleh aparat keamanan terutama dari kepolisian.
Kedua, informasi pertanahan tertutup. Informasi terkait pertanahan di Indonesia yang masih tidak transparan membuat aparat penegak hukum hingga publik tidak mempunyai kontrol atas informasi mengenai pertanahan. Ketiga, adanya keterkaitan antara pengusaha, pemerintah setempat, BPN, dan sebagainya yang membuat mafia tanah tetap eksis.
Keempat, penegakan hukum yang lemah. Penegakan hukum yang lemah menjadi ironi di negeri ini. Apalagi jika bersinggungan dengan wilayah perkebunan milik para konglomerat di daerah tersebut. Misalnya terkait perusahaan sawit, Roni menyebut, seluruh tahapan pembangunan perkebunan sawit, mulai dari izin lokasi, izin usaha, pelepasan hak sampai penerbitan HGU dan sebagainya, tidak ada pengawasan.
Krisis Integritas
Kongkalikong antara pejabat pemerintah dengan mafia tanah bukan hal aneh di negeri ini. Bahkan dalam banyak kasus, oknum-oknum di lingkaran kekuasaan justru menjadi aktor utama sebagai mafia tanah. Kasus mark up eks pejabat pertanahan DKI Jakarta adalah salah satu contohnya. Sebelumnya, KPK juga menetapkan beberapa tersangka atas kasus dugaan mark up pembelian lahan untuk ‘Program DP 0 Rupiah’ Pemprov DKI Jakarta oleh BUMD DKI Jakarta. Dalam kasus tersebut ada indikasi kerugian negara sebesar Rp1 triliun. Kasus-kasus serupa terus saja muncul meskipun pemerintah telah membentuk satgas antimafia tanah untuk mencegah indikasi penyelewengan.
Mark up memang menjadi salah satu modus korupsi yang banyak muncul di tahun 2021. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, selain mark up, ada tiga modus korupsi lainnya yaitu penyalahgunaan anggaran, kegiatan atau proyek fiktif, dan penggelapan uang. Empat modus tersebut banyak terjadi di dua sektor yakni pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan dari anggaran pemerintah. Kedua sektor tersebut sangat rawan korupsi karena berurusan dengan jumlah uang yang sangat besar.
Mudahnya para pejabat melakukan mark up hingga miliaran rupiah, menunjukkan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Di bawah sistem kapitalisme sekuler, koruptor semakin kreatif, modusnya pun kian beragam. Sekularisme telah membuat perkara halal dan haram hanya disematkan dalam urusan akhirat. Sementara untuk perkara dunia, halal dan haram bukanlah standar.
Sistem ini pula yang telah menggerus integritas pejabat publik. Para pejabat tak lagi memegang prinsip ‘amanah’ kala mengurusi urusan rakyat. Andaipun ada, jumlahnya tidak sebanding dengan mereka yang memiliki prinsip bahwa kekuasaan adalah lahan basah mengeruk keuntungan. Fakta banyaknya pejabat yang terlibat tindak pidana korupsi dengan berbagai modusnya, menjadi bukti konkret bahwa negeri ini tengah dilanda krisis pejabat amanah.
Padahal, banyak pejabat yang memiliki sederet gelar di belakang namanya. Artinya, mereka adalah orang terpelajar. Sayangnya meski banyak pejabat yang dianugerahi kepintaran, hal itu justru dijadikan jalan untuk membuat praktik korupsinya kian sempurna. Sebagaimana sebuah ungkapan berbahasa Belanda yang menyebut, “grotergeest, hoe groter beest” (makin tinggi kepintarannya, makin besar kebinatangannya). Korupsi yang terjadi di negeri ini memang banyak dilakukan oleh orang pintar dan memiliki kekuasaan. Pada akhirnya korupsi menjelma menjadi industri ilegal yang dijalankan oleh para elite birokrasi, politisi, dan para cukong sebagai mesin industrinya.
Islam Mencetak Pejabat Amanah
Tak seperti kapitalisme yang menciptakan kegelapan sistem hidup, Islam justru datang membawa cahaya. Tak hanya mampu mencetak pribadi yang bertakwa, Islam juga membentuk para pejabat amanah dambaan umat. Sebab, Islam tegak di atas landasan akidah yang menjadi dasar dari seluruh aturan hidup manusia. Landasan ini pula yang menjadikan para pejabat bekerja sesuai tuntunan syariat.
Untuk membentuk sekaligus menjadi politisi sejati, Islam telah menetapkan beberapa panduan, di antaranya: Pertama, perjuangannya hanya semata-mata untuk membela kepentingan umat dan Islam. Sebab, politik tak selalu dipahami sebagai kekuasaan semata. Politik adalah usaha untuk mengurusi kebutuhan umat. Seorang muslim tidak akan serampangan mengikrarkan diri sebagai orang yang mampu memikul amanah politik rakyat. Sebab, konsekuensinya tidak hanya dipertanggungjawabkan terhadap orang yang dipimpin saja, tetapi juga kepada Allah Swt.
Kedua, harus ideologis. Artinya, setiap permasalahan politik yang terjadi haruslah dilihat dari kacamata Islam. Yakni, bagaimana Islam menghukumi persoalan tersebut, halal ataukah haram. Jika haram, maka tidak boleh ada kompromi karena hal itu sudah pasti terlarang. Misalnya saja terkait keharaman bagi seseorang atau kelompok untuk menguasai kepemilikan publik. Hal ini disandarkan pada hadis riwayat Ahmad, “Manusia berserikat terhadap tiga hal, air, padang rumput, dan api. Harganya adalah haram.”
Ketiga, setiap politisi harus menyadari bahwa dia adalah bagian dari umat. Usaha untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan makmur harus disadari sebagai tujuan bersama. Karena itu, tugas para politisi adalah menumbuhkan kesadaran dalam diri masyarakat sehingga terbentuk hubungan timbal balik yang nyata dalam bentuk kontrol masyarakat kepada pemerintah.
Di sisi lain, Islam memiliki sanksi tegas terhadap para pejabat yang diberikan otoritas mengurus harta rakyat, tetapi mengkhianatinya. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, “Tidaklah seseorang yang diberi amanah mengurusi rakyatnya, lalu tidak menjalankannya dengan penuh loyalitas, melainkan dia tidak mencium bau surga.”
Selain itu, Allah Swt. Juga memberi peringatan kepada para penguasa agar tidak bekerja sama dengan pihak-pihak yang ingin memakan harta orang lain dengan cara batil. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2] ayat 188, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Khatimah
Sistem kapitalisme sekuler terus memproduksi para pejabat yang krisis amanah. Perilaku koruptif para pejabat nyatanya berkelindan dengan penerapan sistem sanksi yang tidak membuat jera. Negeri ini butuh perubahan revolusioner agar perilaku koruptif tidak lagi menjadi tradisi. Satu-satunya solusi dan pilihan terbaik adalah kembali kepada Islam sebagai sistem hidup. Di bawah naungan Islam akan lahir para pejabat berkarakter mulia yang mendedikasikan loyalitasnya untuk umat dan Islam.
Wallahu a’lam bi ash shawab.[]