"Pilar ketahanan keluarga melalui sinergisitas antara individu, masyarakat, dan negara saat ini sulit terealisasi. Sebabnya adalah sistem yang diadopsi negara yaitu demokrasi kapitalisme menihilkan ketiga peran tersebut. Ketenangan serta kenyamanan mereka telah dirampas para kapital berlabel pengusaha atau penguasa bermantel pengusaha. Hak primer serta hak kolektif masyarakat pun kini telah dikapitalisasi, bahkan aset umum yang harusnya mereka nikmati turut dirampas kapitalis dalam bentuk privatisasi dan swastanisasi."
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4 dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pertengkaran yang berujung penganiayaan hingga hilangnya nyawa manusia kerapkali terjadi dan selalu menjadi topik berita kriminal. Pelakunya kebanyakan datang dari anggota keluarga itu sendiri, bisa ayah, ibu, anak, paman, atau lainnya. Motif pembunuhan pun tak jauh dari sakit hati, dendam, kecewa, atau karena harta warisan.
Awal Juni lalu (6/6), Polresta Bandung mendapat laporan tentang kematian tak wajar ES (65). Ia ditemukan warga tergeletak tak bernyawa di kebun pisang. Setelah 4 hari dimakamkan, kejanggalan itu pun santer dibicarakan keluarga korban hingga Kapolresta Bandung, Kombes Kusworo meringkus seorang pemuda berinisial GR (25) yang ternyata anak kandung korban dari istri ketiganya. Menurut pengakuan pelaku, hilangnya nyawa ES dipicu pertengkaran gara-gara korban tidak memberi beras kepada adiknya, ingkar janji membelikan baju, dan akumulasi kekecewaan pelaku karena korban tidak bertanggung jawab pada keluarga. (Jabar.idntimes.com, Senin/6/6/2022)
Keharmonisan Pupus, Sistem Rapuh harus Dihapus
Membentuk keluarga harmonis memang tak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan sinergisitas antara individu, masyarakat, serta negara sehingga masing-masing bisa menjalankan perannya secara maksimal. Jika peran-peran ini tidak berfungsi, maka kasus serupa atau tindak krimininal lainnya akan terus berulang. Akibatnya, ketahanan keluarga semakin rapuh, nasib generasi semakin terpuruk.
Dalam ranah keluarga, ayah adalah pemimpin yang berperan bukan semata memberi nafkah tapi juga berkewajiban memberi pendidikan, baik formal atau nonformal demi terwujudnya peran anggota keluarga yang lain seperti isteri yang juga seorang ibu, mesti memiliki karakter positif, tangguh, cerdas, berkepribadian, dan bertanggung jawab dengan perannya karena akan menjadi gerbang lahirnya generasi cemerlang. Begitu pula seorang anak, karena ia merupakan aset masa depan dan peradaban, keluarga-lah sekolah pertamanya. Jika tak diawali pendidikan yang benar dalam keluarga, tak terarah cara pandangnya, akhlaknya, sosialnya, maka faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan teman sepergaulan akan membawanya pada arah yang salah, durhaka pada orang tua, antikritik, atau bersikap anarkis terhadap lingkungan sekitarnya.
Faktor-faktor ini tidak bisa berdiri sendiri dan berbuah keharmonisan hakiki tanpa hadirnya peran negara. Negara sebagai institusi pengatur urusan rakyat harus menjalankan fungsinya dengan benar. Kebijakannya, perhatiannya, serta hukum yang dibuatnya harus bisa berkontribusi terwujudnya ketenangan serta kenyamanan individu keluarga dan masyarakat. Di antaranya dengan memberikan hak primer mereka seperti makanan pokok dan sekundernya secara menyeluruh, kepala per kepala. Juga terpenuhinya hak mereka yang bersifat kolektif secara optimal bahkan nol biaya semisal pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Untuk memenuhi kebutuhan publik secara optimal, negara bisa memanfaatkan aset yang menjadi miliknya atau dari hasil mengelola berbagai aset umum dan kekayaan alam. Oleh karena itu negara tidak boleh memberikan hak pengelolaannya pada swasta atau asing yang bertujuan memperkaya diri sendiri atau memakmurkan kelompok tertentu yang berakibat pada kesenjangan sosial antara agniya dan rakyat biasa.
Sayangnya, pilar ketahanan keluarga melalui sinergisitas antara individu, masyarakat, dan negara saat ini sulit terealisasi. Sebabnya adalah sistem yang diadopsi negara yaitu demokrasi kapitalisme menihilkan ketiga peran tersebut. Ketenangan serta kenyamanan mereka telah dirampas para kapital berlabel pengusaha atau penguasa bermantel pengusaha. Hak primer serta hak kolektif masyarakat pun kini telah dikapitalisasi, bahkan aset umum yang harusnya mereka nikmati turut dirampas kapitalis dalam bentuk privatisasi dan swastanisasi. Negara, tak lagi mampu berdiri tegak menjadi pengurus ataupun pelindung rakyat, akan tetapi menjadi penjaga eksistensi kapitalis bermodal besar. Akhirnya, fungsi negara menjadi pupus karena sistem rapuh demokrasi kapitalisme enggan dihapus.
Keluarga Utuh Perlu Sistem yang Tangguh
Negara yang mampu mengatasi persoalan masyarakat, mengembalikan peran individu serta masyarakat sesuai fitrahnya hingga terpenuhinya rasa aman mereka adalah negara yang berpijak pada sistem yang didesain secara syamil dan kamil , yaitu Islam. Pemimpinnyalah yang akan menjalankan kesempunaan Islam tersebut secara komprehensif.
Pemimpin dalam institusi Islam telah terkena taklif syarak sejak terpilihnya. Maka, ia wajib menjalankan tugasnya mengurus urusan rakyat (riayah suunil ummah) sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Al-imam (pemimpin) itu adalah penggembala/pengurus. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepengurusannya (rakyat)." (HR. Bukhari)
Dengan tanggung jawab ini, pemimpin dalam institusi Islam (negara) akan benar-benar memberikan pelayanan publik secara optimal di samping tetap menjaga ketakwaan individu masyarakat secara kontinu melalui pendidikan, dakwah dan jihad.
Pelayanan negara bisa dirasakan masyarakat berupa terpenuhinya hak primer dan kolektif seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan gratis, serta perlindungan keamanan secara maksimal. Agar terpenuhinya pelayanan ini, negara akan mengalokasikan dana dari Baitulmal yang bersumber dari zakat, ghanimah, fa'i, dharibah, kharaj, hasil pengelolaan SDA dan sebagainya.
Di masa Rasulullah saw. ada seorang Yahudi tua yang buta yang senantiasa beliau beri makan setiap hari bahkan beliau sendiri yang menyuapinya hingga kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar ra. setelah beliau wafat. Lalu saat Rasulullah saw. mendapat hadiah tabib dari raja Mesir Muqauqis, beliau peruntukkan juga untuk rakyatnya, atau menetapkan satu kebijakan yang berkaitan dengan baca tulis yang diajarkan 1 tawanan perang kepada 10 orang anak muslim sebagai syarat kemerdekaannnya. Bahkan Rasulullah dan pasukannya pun menunjukkan pembelaannya ketika seorang muslim dibunuh karena membela kehormatan muslimah yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi bani Qainuqa.
Teladan riayah suunil ummah yang dicontohkan Rasulullah saw. ini diikuti pula oleh Khulafaurrasyidin seperti Abu Bakar as Siddik dan Umar bin Khattab ra., hingga masa kekhalifahan Utsmani. Termasuk juga bagaimana seorang pemimpin itu harus menjadi Muhafizd (penjaga) tegaknya maksud syariat di tengah umat yakni penjagaan terhadap agama, akal, jiwa, harta, dan negara dengan cara penegakan sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar maksud syariat, contohnya sanksi qisas bagi pembunuhan yang dilakukan secara sengaja atau membayar diyat (denda) jika pihak keluarga korban memaafkan. Hal ini karena Allah Swt. dan Rasul-Nya telah menegaskan akan urgensitas penjagaan nafs manusia dibanding hancurnya dunia.
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi." (QS. Al-Ma'idah [5]:32)
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Sungguh, hilangnya dunia itu lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasa'i 3987, Tirmidzi 1455, disahihkan oleh al-Albani)
Wallahu a'lam bi ash Shawwab[]