“PPN sembako dan tax amnesty adalah kebijakan ironi. Ketika barang yang dikonsumsi oleh masyarakat luas dipajaki, namun di sisi lain pemerintah justru memberikan pengampunan pajak kepada segelintir orang yang berpotensi tidak tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.”
Oleh. Ahsani Annajma
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Orang bijak, taat pajak". Barangkali slogan ini sudah tak asing lagi terdengar di telinga rakyat Indonesia. Hidup bahagia dan sejahtera di bumi khatulistiwa tak kunjung tiba. Tujuh puluh enam tahun Indonesia merdeka, namun kemerdekaan itu tak nyata dirasakan oleh rakyat. Buktinya, negara yang dijuluki "gemah ripah loh jinawi" masih tak membuat kondisi rakyat menjadi indah. Sepanjang tahun ini, rakyat kian didera dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Naiknya harga BBM, sembako, listrik, ditambah dengan pungutan pajak yang rutin harus dibayar rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tertuang bahwa pendapatan negara ialah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri. Dari pengertian ini, wajarlah bila pemerintah sedemikian rupa berusaha menciptakan target-target yang dapat dipajaki. Sekalipun bertentangan dengan perundang-undangan yang ada.
Kebijakan Ironi
Realisasi penerimaan pajak tahun lalu berhasil memenuhi dari target yang ditentukan Rp125,4 miliar tembus Rp144 miliar. Bahkan lebih tinggi dari target yang ditentukan dalam APBN sebesar 103.9%. Untuk tahun 2022, pemerintah berencana untuk menetapkan target penerimaan yang lebih tinggi dari tahun 2021. Hal ini dilakukan dengan menggenjot penerimaan negara dari pajak, di mana tahun ini merupakan tahun terakhir defisit APBN boleh melebihi 3 persen dan tahun 2023 defisitnya sudah harus di bawah 3 persen. Maklum, utang menumpuk dan APBN sering mengalami defisit. Alhasil, tagar #PajakKitaUntukKita pun benar-benar jadi jurus andalan tak lain dan tak bukan untuk menggenjot income dari pajak, meski konsekuensinya rakyat yang harus terus dikorbankan.
Teranyar, pemerintah pun pernah berniat memungut PPN dari barang sembako yang menjadi kebutuhan hidup rakyat sehari-hari. Sementara, di sisi lain pemerintah juga pernah berwacana memberikan relaksasi pajak bagi orang kaya. Misalnya relaksasi PPnBM, pajak property, hingga tax amnesty (pengampunan pajak) ini juga sempat membuat geger masyarakat (Cnnindonesia.com, 10/06/21).
PPN sembako dan tax amnesty adalah kebijakan ironi. Ketika barang yang dikonsumsi oleh masyarakat luas dipajaki, namun di sisi lain pemerintah justru memberikan pengampunan pajak kepada segelintir orang yang berpotensi tidak tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Ekonomi Kapitalisme Sekuler
Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalisme, memang sudah sangat piawai mencekik rakyatnya atas nama pajak. Sekali menjadi singa, tidak akan menjadi kucing. Barangkali, itulah peribahasa yang tepat atas kebijakan zalim yang dipakai penguasa untuk menerkam rakyatnya. Demi memenuhi target penerimaan pajak yang tinggi, pemerintah memberikan strategi, di antaranya dengan menaikkan beberapa jenis pajak seperti, tarif pajak pertambahan nilai (PPN), PPh, dan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Tercatat, penerimaan pajak negara hingga April tahun ini mencapai Rp567,69 triliun, hampir lima puluh persen dari target penerimaan APBN. Hal ini pun diperkuat oleh pernyataan Staf Ahli Menteri Keuangan, Yon Arsal bahwa perolehan kas negara sampai April 2022 makin mendekati target APBN dan meningkat setiap bulannya. Adapun sumber penerimaan tersebut berasal dari PPh nonmigas, PPh migas, PPN dan PPnBM, PBB dan pajak lainnya (Liputan6.com, 27/05/2022).
Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai “tulang punggung” pendapatan negara. Bila kas negara mengalami defisit, maka secara otomatis pemerintah akan membuat kebijakan baru atau makes higher provit dari pajak. Mirisnya, proporsi penerimaan dari pajak umumnya ditarget jauh lebih tinggi dibanding dari pendapatan negara dari nonpajak. Demikianlah di negeri ini berbagai hal mesti akan dijadikan objek pajak.
Bukannya meringankan, justru pemerintah makin kreatif menciptakan varian baru pajak untuk memeras rakyat hingga tetes terakhir keringat. Maka wajar jika rakyat bertanya-tanya, sebetulnya kebijakan pajak ini menguntungkan siapa? Jangan-jangan pemerintah memang berpikir tentang apa lagi yang dapat diperas dari rakyatnya? Karena yang paling mudah ternyata adalah pajak. Ketidakmandirian dalam mengelola sumber-sumber pendapatan selain dari pajak dan utang menjadikan rakyat sebagai “ sasaran empuk” untuk membiayai belanja negara. Ironis, Indonesia yang dikenal kaya sumber daya alamnya, tak seharusnya menjadikan pajak sebagai “alat pemeras” rakyat di berbagai sektor. Negara bernapaskan paham kapitalis-sekuler, merelakan para investor asing mengelola kekayaan SDA dengan bebasnya. Membiarkan mengisap kaum yang lemah dan tak berdaya, tak menghiraukan nasib rakyat karena kepentingan mereka menjadi prioritas tertinggi. Pemangku kekuasaan membuat kebijakan-kebijakan yang justru melanggengkan aktivitas mereka di Indonesia. Mudahnya para cukong berinvestasi mengelola SDA di Indonesia menandakan keberpihakan penguasa dan negara terhadap mereka. Fatalnya, negara kehilangan pos-pos pemasukan yang depositnya besar. Sehingga wajar, untuk membiayai infrastruktur atau menutupi defisitnya belanja negara, diperoleh dengan cara berutang kepada Bank Dunia. Kemudian pembayaran utang yang berbunga kelak dibebankan kepada rakyat dengan mekanisme pajak. Sungguh zalim!
Sistem Ekonomi Paripurna
Sistem Islam memiliki Baitulmal sebagai pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim. Adapun sumber-sumber pendapatan negara yang diterima oleh Baitulmal cukup banyak selain dari sumber daya alam, yakni dari fai’, ghanimah , anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya di antaranya: pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat, yang ada ketetapan khusus untuk pengelolaannya. Sehingga sumber pemasukan yang banyak inilah sejatinya negara memiliki kekayaan untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara tidak perlu terjerumus dalam utang dan riba yang menjerat, apalagi mencekik rakyat dengan pajak.
Dalam sistem Islam, pajak disebut dharibah . Syariat telah mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua: yaitu kebutuhan-kebutuhan yang difardukan atas Baitulmal untuk sumber-sumber pendapatan tetapnya, dan kebutuhan-kebutuhan yang difardukan atas kaum muslim sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, pajak (dharibah) memang diniscayakan, tetapi tidak dalam setiap keadaan, melainkan diberlakukan ketika keadaannya darurat saat kondisi Baitulmal tidak mampu memenuhi kebutuhan negara yang mendesak seperti jihad dan bencana alam. Dharibah ini hanya dipungut kepada muslim yang kaya saja dan tak dijadikan sebagai sumber utama atau tulang punggung penerimaan Baitulmal. Bila seorang imam (khalifah) memungut pajak tidak sesuai ketentuan syariat, apalagi menzalimi rakyat, maka hukumnya haram. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak secara zalim.” (HR. Abu Dawud)
Inilah cara Islam memungut dharibah dengan cara yang makruf.
Memang tidak mudah mengubah keadaan hari ini menjadi sesuai dengan Islam, mengingat sistem yang diadopsi negara saat ini bukanlah sistem Islam. Di sinilah letak urgensi dakwah Islam kaffah, agar umat paham bahwa hanya Islam yang mereka butuhkan, yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk bagaimana negara dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui sistem ekonomi Islam. Sehingga, tidak pernah didapatkan dalam sejarah bahwa perekonomian negara lemah atau mengalami defisit APBN, justru APBN negara selalu surplus karena periayahannya optimal diperuntukkan bagi rakyat.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunjukkan keberhasilannya dalam pengelolaan ekonomi Islam. Dalam waktu kurun waktu kurang dari tiga tahun, rakyat di bawah kepemimpinannya mengalami kemajuan yang luar biasa di bidang ekonomi. Bahkan dikisahkan, ketika ada seseorang yang hendak menyerahkan zakatnya, ia kesulitan menemukan orang yang menerimanya, karena semua orang pada saat itu telah tercukupi. Hal ini sungguh menakjubkan, kemakmuran yang dirasakan rakyat pada masa beliau. Kesejahteraan rakyat bukan dicapai dengan mengumpulkan pajak sebesar-besarnya, melainkan dengan cara mengoptimalkan SDA yang ada serta pengelolaan keuangan negara yang optimal nan efisien.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]