"Nuansa bisnis seolah tak pernah henti menyelimuti upaya meraih ketakwaan di sudut-sudut Ka'bah. Upaya untuk menjadikan haji maupun umrah sebagai model bisnis kapitalis memang telah berlangsung lama dan semakin dipertontonkan pasca pandemi Covid-19 berlalu. Keinginan yang membuncah dari kaum muslim seluruh dunia untuk terhubung dengan kota suci tempat kelahiran Islam adalah peluang untuk bisa ditukar dengan harga yang sangat mahal."
Oleh. Tatik
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Calon jemaah haji yang sudah sedemikian lama menunggu patut berbahagia karena tahun ini pemberangkatan jemaah haji dari Indonesia kembali dilaksanakan. Namun, sekitar seminggu sebelum keberangkatan kloter pertama awal Juni lalu, sempat tersiar kabar yang membuat calon jemaah haji was-was.
Penyelenggaran haji tahun 1443 H/ 2022 M ternyata kekurangan dana sebesar Rp1,5 triliun. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, memang memastikan bahwa calon jemaah haji reguler yang berangkat tahun ini tidak perlu membayar biaya tambahan. DPR telah menyetujui untuk menutupi kekurangan tersebut dengan mengambil Dana Efisiensi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan nilai manfaat dana haji. (www.tribunnews.com, 01/06/2022)
Meskipun demikian, muncul ketakutan di masyarakat bahwa pengambilan dana tersebut bisa menimbulkan masalah krusial bagi calon jemaah tahun berikutnya. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI), Ismed Hasan Putro, dana Rp1,5 T adalah senilai setoran awal dari 60.000 jemaah yang sedang dalam masa tunggu. (ihram.republika.co.id, 01/06/2022)
Jika dana tersebut diambil, keberangkatan jemaah selanjutnya bisa mengalami kendala. Ujung-ujungnya bisa terjadi kenaikan harga penyelenggaraan haji.
Pengelolaan dana haji yang sudah bermasalah sejak dahulu semakin bertambah ruwet akibat kebijakan sepihak dari Arab Saudi. Saat mengonfirmasi mengenai penyebab kenaikan tersebut, Menteri Agama menjelaskan penyebab utama kekurangan dana ini adalah kenaikan biaya pelayanan masyair di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi, selain dana technical landing jemaah haji embarkasi Surabaya, selisih kurs kontrak penerbangan, efisiensi valas, safeguarding, dan nilai manfaat. (www.republika.co.id, 01/06/2022)
Haji, Bisnis Besar Tumpuan Pemulihan Pandemi Covid-19
Arab Saudi menegaskan bahwa wisata religi akan dijadikan tumpuan utama ekonomi Arab Saudi, selain dari sektor perminyakan. Strategi utama untuk mencapai Visi 2030 tersebut adalah dengan menarik jemaah umrah sebanyak-banyaknya sepanjang tahun serta menaikkan pemasukan dari haji sebanyak dua kali lipat selama satu dekade ke depan. (theconversation.com, 15/08/2018)
Langkah praktisnya adalah dengan menambah kuota jemaah haji sebanyak 2,5 juta orang di tahun 2020, yang berarti menaikkan 13% setiap tahun. Sayangnya, rencana tersebut gagal dilaksanakan karena pandemi Covid-19 melanda. Pandemi membuat pemerintah Arab Saudi harus mengurangi jumlah jemaah haji menjadi 10.000 orang saja di tahun 2020. Hal itu tentu berdampak serius bagi ekonomi dan psikologi pihak penyedia layanan haji.
Wajar, jika saat ini ada usaha untuk menggenjot pemasukan dari haji dan umrah. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya, pertama, memungut dana yang sebelumnya tidak ada pungutan. Hal ini sebagaimana terjadi pada biaya prosesi ibadah haji di Arafah. Eks Wakil Ketua Komisi II menyampaikan bahwa komponen tenda di Arafah sebelumnya tidak masuk dalam biaya pelayanan masyair tetapi tahun ini diadakan. (www.medcom.id, 30/05/2022)
Kedua, memberikan pembimbing dari Arab Saudi selama prosesi ibadah haji di Arafah, Mina, dan Muzdalifah. Padahal kebanyakan negara, termasuk Indonesia, sudah menyiapkan pemimbing sendiri yang menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh jemaah.
Bukan hanya haji, biaya umrah juga mengalami kenaikan karena kenaikan pajak domestik sebesar 20% yang dikenakan oleh Arab Saudi. Akibatnya, biaya umrah juga mengalami kenaikan dua kali lipat, yang di tahun 2019 hanya sekitar 6.000-7.000 riyal (SAR), sekarang menjadi 10.000-14.000 SAR, bahkan 16.000 SAR. (www.bbc.com, 03/05/2022)
Kapitalisme Tega Menjadikan Ibadah sebagai Kolam Uang
Arab Saudi dan negara-negara muslim lainnya sejatinya adalah penganut sistem kapitalis yang menjadikan asas manfaat sebagai tujuan utama dalam menjalankan aktivitasnya. Maka, penyelenggaraan ibadah haji yang seharusnya murni bertujuan melayani jemaah mempermudah aktivitas ibadah digunakan sebagai ladang penghasil uang. Layanan masyair dan muassasah yang sangat vital dalam ibadah haji pun diprivatisasi oleh pemerintah Arab Saudi. Alhasil, janji perbaikan fasilitas juga dibarengi kenaikan harga yang signifikan.
Di sisi lain, ada anggapan bahwa upgrade fasilitas seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Saudi sebenarnya tidak begitu diperlukan, mengingat masa tinggal di Arafah dan Mina yang hanya empat hari. Kalaupun upgrade fasilitas harus dilakukan, seharusnya adalah untuk menjamin kenyamanan jemaah dan tak perlu menaikkan harga. Apalagi perbaikan fasilitas dengan memperbesar area tinggal untuk masing-masing orang di tenda sebenarnya akan otomatis terjadi tahun ini karena kuota jemaah memang dikurangi. Sehingga tanpa ada alasan penambahan fasilitas, semestinya tenda sudah lebih longgar dengan sendirinya.
Nuansa bisnis seolah tak pernah henti menyelimuti upaya meraih ketakwaan di sudut-sudut Ka'bah. Upaya untuk menjadikan haji maupun umrah sebagai model bisnis kapitalis memang telah berlangsung lama dan semakin dipertontonkan pasca pandemi Covid-19 berlalu. Keinginan yang membuncah dari kaum muslim seluruh dunia untuk terhubung dengan kota suci tempat kelahiran Islam adalah peluang untuk bisa ditukar dengan harga yang sangat mahal. Sementara negara lain di seluruh dunia dibuat tak berdaya dengan regulasi apa pun yang ditetapkan Arab Saudi karena kurangnya regulasi yang memberikan perlindungan pada jemaah haji.
Saat pemerintah Saudi fokus mempromosikan haji untuk meningkatkan ekonomi, layanan haji di negara lain juga sibuk mencari laba dari kegiatan pengiriman haji dan bernegosiasi dengan mitra politiknya. Mereka menjadikan haji sebagai ladang keuntungan dengan beragam cara yang berbeda. Di Indonesia sendiri, dana haji dikelola untuk untuk investasi, tapi tak ada transparasi dari pemerintah, diinvestasikan ke mana dan apakah sesuai dengan syariat.
Seharusnya ada regulasi internasional yang mengatur haji dan umrah. Namun, ini sangat sulit dilakukan di dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini. Di tambah dengan adanya nasionalisme yang memisahkan antarnegara muslim. Di sinilah pentingnya umat Islam memiliki kepemimpinan tunggal seperti Khilafah Islamiah yang akan mengatur dan menjalankan regulasi haji secara amanah untuk melayani kaum muslimin dalam beribadah.[]