“Jadi, bukan kelangkaan barang faktor utama krisis pangan, melain karena negara tidak memiliki kemandirian ekonomi, akibat berkiblat pada sistem ekonomi berbasis kapitalis-neoliberal. “
Oleh. Ana Nazahah
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia hari ini tengah dilanda krisis pangan, di mana kasus malagizi menjadi momok mengkhawatirkan di sejumlah negara. Dalam beberapa pekan terakhir, diperkirakan ada 13 juta orang kelaparan. Negara dengan kondisi rawan krisis pangan tersebut di antaranya Brazil, Srilangka, dan tak terkecuali Indonesia. Dikutip Republika.co.id, Minggu (20/6/2022).
Alarm peringatan krisis pangan ini direspons oleh 22 negara pengekspor pangan dunia dengan menyetop ekspornya untuk cadangan di dalam negeri. Sebagaimana negara produsen pangan terbesar untuk Amerika Latin, yakni Brazil yang tak lepas dari kondisi rawan pangan. Riset yang dirilis Getulio Vargas Foundation (FGV) pada Rabu (25/5/2022) menyatakan, setidaknya ada 36% penduduk Brazil yang tidak mampu membeli makanan untuk keluarganya pada 2021. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia dalam kondisi sigap mewujudkan kemandirian pangan dalam negeri?
Faktor Penyebab
Menurut sistem ekonomi kapitalis neoliberal, sebagaimana redefinisi teori liberalisme ekonomi klasik Adam Smith, sumber utama krisis pangan adalah karena persediaan (suplai) kebutuhan pokok tidak memenuhi permintaan pasar. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, baik itu imbas dari kebijakan sistem ekonomi atau faktor eksternal seperti perubahan iklim, serangan hama, bahkan peperangan. Jadi, ‘titik didih’ masalah pangan dalam sistem kapitalis-neoliberal adalah kelangkaan barang, yang memicu inflasi. Karenanya, solusi yang direkomendasikan adalah membuka keran impor dengan tujuan mengamankan pasokan dan menstabilkan harga.
Namun jika kita cermati secara saksama, resolusi impor membuktikan negara telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Baik dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, pun dalam melindungi kesejahteraan petani. Negara hanya menyolusi masalah di permukaan, mendorong stabilitas harga dan persediaan pangan, tanpa menekan harga produksi demi menjamin kesejahteraan petani. Pada akhirnya, negara semakin bergantung pada impor dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan atas prinsip kemandirian.
Sayangnya, kebijakan impor pangan selalu menjadi primadona setiap negara mengalami guncangan pangan. Padahal Indonesia adalah negeri agraris, surganya bagi industri pertanian dan perkebunan, yang seharusnya mampu menciptakan swasembada pangan. Hal ini karena sektor pangan dan industri pertanian kita saat ini dalam kungkungan swastanisasi, sedang negara hanya sekadar regulator yang menjamin jalannya kebijakan tersebut. Saat pangsa pasar dikuasai oleh para kapitalis, maka yang diuntungkan tentunya hanya para pemodal. Praktik kebijakan ini yang memungkinkan lahirnya mafia pangan, seperti mafia minyak goreng yang memicu kekisruhan baru-baru ini.
Dan inilah akar musababnya! Permainan spekulan yang memicu kenaikan harga produksi, selanjutnya naiknya harga barang yang berujung inflasi, di mana kemudian lahirlah kebijakan impor yang menzalimi petani. Jadi, bukan kelangkaan barang faktor utama krisis pangan, melain karena negara tidak memiliki kemandirian ekonomi, akibat berkiblat pada sistem ekonomi berbasis kapitalis-neoliberal.
Islam sebagai Solusi
Islam memiliki konsep dan visi yang gamblang dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Membangun sistem pangan yang berdaulat pada politik pertanian yang ideologis. Negara wajib memonitor langsung jalannya produksi pertanian, seperti menyediakan lahan, dan membekali skill petani, agar mampu menghasilkan suplai pangan yang memadai bagi seluruh penduduk negeri. Tentu saja, semua akan dikomandoi negara secara mandiri, tanpa campur tangan asing. Negaralah yang berada di garda terdepan dalam upayanya mendorong pertumbuhan sektor industri pertanian, sehingga menciptakan ketahanan pangan yang kuat. Selain itu, negara juga yang bertanggung jawab mendistribusi pangan, menjamin seluruh rakyat Indonesia terpenuhi semua kebutuhan pokoknya.
Dalam menjalankan seluruh program ketahanan pangan, negara wajib mengupayakan kedaulatan pangan terlebih dahulu, yang artinya negara tidak boleh bergantung pada utang luar negeri dan segala praktik ekonomi ribawi. Islam memiliki basis keuangan sendiri untuk menyediakan seluruh komponen yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan SDA dan sektor riil yang umat miliki. Karenanya Islam melarang adanya liberalisasi pada sektor riil ini. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Dawud, “Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu: air, padang rumput dan api.”
Basis keuangan mandiri akan membentuk kemandirian ekonomi, hal ini akan menghapus campur tangan pihak ketiga (asing) dalam mengelola sektor pangan dan industri pertanian. Sehingga, mafia-mafia pangan yang merusak stabilitas mekanisme pasar bisa dibasmi sampai ke akar. Negaralah yang berhak mengelola sektor pangan dan sektor riil lainnya, dan melaksanakan distribusi pangan secara merata. Dengan politik berbasis ekonomi Islam inilah, negara mampu menjamin setiap hak-hak warga terpenuhi. Bukan hanya pangan, namun seluruh hak-hak kebutuhan lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, serta menyediakan lapangan kerja. Sehingga, mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat negara.
Khatimah
Maka, telah jelas bagi kita, faktor utama krisis pangan tidak lain buah dari penerapan sistem bobrok kapitalis-neoliberal. Mencabut sistem rusak ini adalah solusi utama untuk mengakhiri krisis pangan global yang tengah dihadapi dunia saat ini. Sistem ekonomi Islam dibangun dengan landasan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, bukan pada individu atau masyarakat tertentu saja. Karena itu, mari campakkan sistem yang memberi ruang penjajah mengisap darah rakyat ini! Lalu kembalikan sistem Islam dalam kehidupan, sebagai satu-satunya aturan yang mampu menciptakan rahmat bagi sekalian alam.
Wallahu’alam bishawab.[]