"Demi mendapatkan kepuasan materi, pemikiran jernih tidak lagi digunakan. Tidak memikirkan apakah akan berdampak baik bagi dirinya dan orang di sekitarnya atau justru malah berdampak buruk. Tidak peduli apakah melanggar norma-norma dan hukum yang ada. Tidak peduli apakah ini dilarang agama, haram atau halal. Begitu mudahnya mereka terbawa arus, mengikuti tren yang unfaedah sampai melupakan jati diri bahwa mereka adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna, yang diberikan akal agar digunakan untuk berpikir."
Oleh. Nur Hajrah MS
( Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.com- Konten adalah kata yang tidak asing di telinga masyarakat saat ini. Konten sendiri sering dikaitkan dengan media sosial, yang diunggah, baik dalam bentuk tulisan, gambar, video dan lain-lain. Materi konten yang diunggah pun bermacam-macam sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh kreatornya, baik sekadar menghibur, informasi tentang kesehatan, resep makanan, tutorial make up dan lain sebagainya. Selain bersifat positif, ada pula kreator yang membagikan konten bersifat negatif. Konten yang dapat memberikan pengaruh buruk atau merugikan, baik bagi sang kreator itu sendiri maupun bagi yang menonton atau melihat konten tersebut. Mirisnya bahkan sampai mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah konten.
Menjemput ajal lewat konten, hal inilah yang dialami seorang remaja berinisial A (15). Ia tewas terlindas truk tronton saat sedang membuat konten bersama ketiga temannya di Jalan Otista Raya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang (03/06/2022). Konsep konten mereka memang sangat berbahaya, yaitu dengan sengaja mengadang truk secara mendadak. Kejadian ini dibenarkan Kasi Humas Polres Metro Tangerang, bahwa keempat remaja tersebut dengan sengaja mengadang truk secara mendadak demi mendapatkan konten. (iNewsYogya.id, 03/06/2022)
Di hari yang sama dua remaja di Soreang, Kabupaten Bandung melakukan hal yang sama, yaitu membuat konten memberhentikan truk secara mendadak. Demi sebuah konten unfaedah, nahasnya seorang remaja (14) tertabrak dan terseret truk sejauh 50 meter. Akibat tindakan konyol tersebut, ia mengalami luka berat. Korban mengalami retak tulang di bagian tempurung kepala bagian belakang dan empat giginya patah. Kejadian ini terjadi di Jalan Terusan Tol Soroja, Soreang, Bandung. Lokasi tersebut ternyata kerap kali dijadikan lokasi para remaja untuk membuat konten memberhentikan truk secara mendadak. Warga sekitar kerap kali menegur para remaja-remaja tersebut, namun tak diindahkan oleh mereka. (Sindonews.com, 03/06/2022)
Selain itu, mempertaruhkan nyawa hanya demi konten telah marak terjadi beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika smartphone android mulai terkenal di kalangan masyarakat. Ajang foto selfie menjadi tren yang populer kala itu. Ajang tersebut bahkan masih populer sampai hari ini. Sebagian besar kalangan anak muda berlomba-lomba melakukan aksi foto selfie kala itu, nahasnya banyak pula kasus kecelakaan terjadi dalam aksi tersebut, bahkan sampai merenggut nyawa mereka karena ingin mendapatkan foto selfie terbaik. Asosiasi peneliti All India Institute of Medical Science mencatat dalam kurun enam tahun, yaitu 2011 sampai 2018 tercatat 259 orang meninggal di seluruh dunia akibat melakukan aksi foto selfie di lokasi yang berbahaya. (Kompas.com, 07/10/2018)
Mandi lumpur dan berendam di air pada malam hari sampai berjam-jam, mukbang (banyak makan atau makan berlebihan), truk ugal-ugalan, mengganggu satwa liar di kebun binatang, konten challange berbahaya, bahkan yang sempat viral sampai ke mancanegara pada akhir Mei lalu seorang konten kreator asal Pakistan sampai nekat membakar hutan di kawasan Taman Nasional Pakistan. Di kawasan hutan tersebut banyak flora dan fauna langka yang dilindungi. Akibat perbuatannya ia tidak hanya merugikan dan mencelakai dirinya sendiri, tetapi juga merugikan dan membahayakan orang lain, bahkan makhluk hidup yang ada di dalam hutan tersebut ikut menjadi korbannya, merusak ekosistem dan juga merugikan negara. Dan masih banyak ide-ide 'nyeleneh' lainnya yang dilakukan oleh para konten kreator, di mana hanya demi konten para kreator tersebut sampai rela mempertaruhkan nyawanya dan membahayakan orang di sekitarnya. Lantas, apakah yang menyebabkan mereka sampai nekat melakukan aksi berbahaya ini?
Demi Mencari Perhatian Publik
Dilansir oleh Tempo.co (17/7/2021), ada dua alasan mengapa banyak kreator sampai nekat melakukan aksi berbahaya demi mendapatkan sebuah konten. Pertama, Scosial Comperesion. Scosial Comperesion merupakan suatu kondisi di mana seseorang membandingkan bakat atau kemampuannya dengan orang lain. Itulah sebabnya mengapa banyak kreator saling bersaing dan enggan ketinggalan tren. Saling bersaing menunjukkan kemampuannya bahwa dirinya bisa lebih baik daripada pada orang lain.
Kedua, FoMo (Fear of Missing out). FoMo adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut terkait dengan perasaan takut ketinggalan atau tertinggal suatu keseruan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Itulah mengapa beberapa kreator selalu terdorong untuk mengikuti tren yang ada dengan tujuan agar bisa viral dan mendapat perhatian publik walaupun itu sampai harus melakukan aksi berbahaya.
Berdasarkan dua hal tersebut, tentu sungguh sangat disayangkan jika hanya karena mencari perhatian publik lewat banyaknya subscribe, viewers, followers, like, komentar dan share serta bisa menjadi viral menjadi standar kepuasan beberapa kreator, bahkan mereka rela mengorbankan kesehatan, menyakiti diri sendiri, membahayakan orang lain, bahkan sampai rela bertaruh nyawa demi mendapatkan sebuah konten.
Viral, populer, banyak viewers, followers, dan lain-lain merupakan tujuan utama para kreator dan menjadi standar kepuasan mereka. Bagaimana tidak, menjadi artis media sosial memang sangat menggiurkan, semakin populer akun media sosial yang dimiliki, maka semakin banyak pundi-pundi rupiah yang diterima para kreator tersebut. Ya, ujung-ujungnya akan bermuara pada kepuasan materi. Demi mendapatkan kepuasan materi, pemikiran jernih tidak lagi digunakan. Tidak memikirkan apakah akan berdampak baik bagi dirinya dan orang di sekitarnya atau justru malah berdampak buruk. Tidak peduli apakah melanggar norma-norma dan hukum yang ada. Tidak peduli apakah ini dilarang agama, haram atau halal. Begitu mudahnya mereka terbawa arus, mengikuti tren yang unfaedah sampai melupakan jati diri bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna, yang diberikan akal agar digunakan untuk berpikir.
Buah Pemikiran Sekuler Kapitalis
Ya, semua hal ini adalah buah dari pemikiran sekuler kapitalis. Di era modern saat ini di mana alat-alat digital semakin canggih membuat kebanyakan orang melupakan jati dirinya, melupakan apa tujuan utama mereka hidup di dunia. Pemikiran sekuler kapitalis membuat kebanyakan manusia bersifat individualis, tidak mau diatur oleh siapa pun, bahkan oleh agama. Agama hanya dianggap sebagai status belaka bahkan eksistensinya pun mulai tersisihkan dari seluruh aspek kehidupan manusia. Ujung-ujungnya hanya ingin dipandang status sosialnya sebagai orang yang sukses dan berhasil dalam segi materi, serta ingin mendapat perhatian publik. Inilah yang menyebabkan mereka sampai menzalimi diri mereka sendiri demi mencapai kepuasan materi.
Dalam Islam, menzalimi diri atau membahayakan diri sendiri adalah perbuatan yang dilarang, begitu pun dengan menzalimi orang lain. Dari Abu Sa'id, Sa'ad bin Sinan Al-Khudri r.a. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan bagi orang lain." (HR Ibnu Majah, no 2340-2341)
Namun sayangnya, di era kemajuan teknologi saat ini segala sesuatu dianggap halal untuk dilakukan, bahkan beberapa umat Islam sendiri sampai melupakan jati dirinya bahwa mereka adalah umat pilihan Allah dan beribadah kepada Sang Maha Pencipta adalah tugas utama yang seharusnya lebih diprioritaskan agar bisa mendapatkan rida Allah. Bukan malah mengejar deadline membuat konten yang unfaedah dan berbahaya. Inilah pola pemikiran kapitalis yang menjadikan standar kebahagiaannya adalah materi.
Islam sendiri sebenarnya tidak pernah menolak kemajuan IPTEK yang semakin tahun semakin canggih, terutama dalam dunia digital termasuk media sosial. Walaupun kebanyakan media sosial saat ini ciptaan Barat, tetapi media sosial masuk ke dalam madaniyah yang bersifat umum. Ini artinya, media sosial itu bersifat universal milik seluruh umat manusia, bukan milik umat tertentu. Dan sebagai umat Islam seharusnya bangga memiliki banyak ilmuwan Islam, salah satunya adalah Al-Biruni. Ia adalah ilmuwan Islam penemu peralatan Astronomi yang menggunakan prinsip komputer analog pada tahun 1000 M. Hasil penemuannya inilah yang terus dikembangkan sampai sekarang hingga manusia saat ini bisa mengenal yang namanya gadget. Atas penemuan ilmuwan Islam inilah masyarakat saat ini bisa mengenal media sosial.
Kembali pada persoalan menzalimi diri demi konten, seharusnya sebagai umat Islam tidak akan mudah mengikuti hal-hal demikian jika ia paham akan jati dirinya, paham standar kebahagiaan dalam Islam itu seperti apa. Media sosial tidak akan digunakannya sebagai tempat mencari perhatian publik dan materi, tetapi justru menggunakan media sosial sebagai alat atau media untuk berdakwah untuk mendapatkan rida serta pahala dari Allah Swt. Jika pun konten-konten mereka menjadi viral atau trending itu akan dianggapnya sebagai bonus atau hadiah dari Allah. Banyaknya followers, viral dan lain-lain bukanlah menjadi tujuan utama atas konten-konten yang dibuatnya, tetapi dilakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan rida Allah Swt. Lihatlah bagaimana ketika seseorang menjadikan materi sebagai standar kebahagiannya, tidak sedikit kasus orang kaya terpaksa mengonsumsi minuman keras, obat-obatan terlarang atau narkoba demi merasakan kenikmatan yang besifat semu, mencoba lari dari permasalahan hidup yang ia hadapi lewat makanan dan minuman yang diharamkan Allah. Tidak sedikit kasus mereka yang memiliki harta dan tahta memilih mengakhiri hidupnya akibat persoalan-persoalan yang tidak dapat ia atasi. Untuk itulah mengapa umat Islam tidak boleh menjadikan materi sebagai standar kepuasan dan kebahagiaannya, karena materi hanya bersifat sementara tidak abadi.
Negara Harus Selektif!
Peran negara pun sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan ini. Menjaga masyarakatnya terutama para generasi mudanya dari hal-hal yang dilarang agama, khususnya dalam penggunaan teknologi digital. Negara harus selektif terhadap apa yang ditayangkan oleh media. Begitupun dengan media sosial, negara tidak akan membiarkan para konten kreator memposting konten-konten yang unfaedah yang bisa merusak akidah masyarakat. Media akan difokuskan sebagai alat untuk berdakwah, menayangkan hal-hal yang berfaedah yang membawa masyarakatnya dalam ketakwaan serta memperkokoh akidah Islam di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tidak akan ada persoalan media dan atau para konten kreator saling bersaing mencari perhatian publik dan materi, karena standar kepuasan dan kebahagiaannya hanyalah ingin mengharapkan rida Allah Swt. Tidak mengejar duniawi tetapi surgawi. Namun, penerapan hal-hal ini hanya bisa dilakukan negara yang taat akan perintah Allah, yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber hukumnya. Daulah Khilafah Islamiah adalah negara tersebut, negara yang mampu menjaga dan melindungi masyarakatnya tanpa perhitungan. Negara yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah tanpa pilah-pilih dan insyaallah akan segera tegak kembali.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]