Rasulullah Saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598)
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-“Berhati-hatilah kamu dalam berutang, sesungguhnya utang itu mendapatkan kerisauan di malam hari dan menyebabkan kehinaan di siang hari.” (HR. Baihaqi)
Hadis di atas sepertinya harus ditancapkan dalam benak para pemimpin negeri ini, yang doyan ngutang, tanpa berpikir panjang tentang efek dari utang yang semakin menggunung bagi suatu negara. Padahal negeri ini kaya sumber daya alam, gemah ripah loh jinawi. Potensi itu bisa dikelola sedemikian rupa agar menghasilkan pendapatan yang berlimpah untuk membiayai seluruh kebutuhan rakyat dan negara. Tapi sayang itu tak terjadi, memang mental pengutang sudah mendarah daging dalam diri para pemangku kebijakan, terlebih ini merupakan resep ekonomi ala-ala kapitalis.
Dilansir dari Detik.com (07/06/2021) bahwa utang pemerintah pusat membengkak. Periode April 2021 meroket menjadi Rp6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp6.445, 07 triliun.
Menurut Internasional Debts Statistics yang dirilis World Bank (2021), Indonesia masuk ke dalam 10 negara berpenghasilan menengah rendah dengan utang terbesar di dunia. (www.rmol.id, 15/02/2021)
Utang sebanyak itu, apakah sepadan dengan belanja negara? Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy mengatakan pemulihan ekonomi mengalami kemajuan walaupun masih kontraksi. Pertumbuhan ekonomi itu tak lepas dari stimulus yang diberikan secara besar-besaran berupa bantuan sosial kepada masyarakat. Yusuf menilai target belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) belum memenuhi target. Artinya kemampuan pemerintah dalam menarik utang tidak seimbang dengan kemampuan dalam membelanjakan utang itu demi kepentingan rakyat. Contoh saja dalam hal kesehatan berupa pengadaan vaksin, testing, tracking, dan isolasi. Upaya pemulihan dalam penanganan kesehatan di Indonesia sangat minim, jauh tertinggal dibanding negara lain.
Jadi, getol dan ambisiusnya pemerintah dalam menarik utang itu sebenarnya demi apa dan demi siapa? Jika dalam penyalurannya malah tidak optimal.
Bahaya Utang LN terhadap Stabilitas Ekonomi Negara
Pandemi Covid-19 belum juga usai, bahkan dari waktu ke waktu mengalami kenaikan kasus. Ini menjadi hantaman keras bagi semua pihak dan banyak bidang, khususnya bidang ekonomi dan kesehatan. Pemerintah dituntut untuk bisa melakukan penanganan sesigap mungkin, agar efeknya tidak luas menjalar dan membuat Indonesia semakin terpuruk.
Ekonom sekaligus Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna, mengatakan untuk memeroleh dana dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi akibat pandemi, awalnya pemerintah berjanji akan mengais Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp160 triliun, Dana Abadi Pemerintah, Badan Layanan Umum, dan anggaran refocussing berdasarkan Peraturan Presiden. Bahkan jika ditambah 19,2% dari anggaran proyek pembangunan ibu kota baru di Kalimantan dan alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN 2020 sebesar Rp419,217 triliun juga pemotongan anggaran pejabat negara. Jumlah itu akan cukup untuk mengantisipasi eskalasi efek wabah Covid-19.
Namun, opsi itu tidak diambil pemerintah. Tampaknya jalur pintas seperti menarik utang LN jauh lebih menggiurkan. Akhirnya pemerintah menerbitkan pandemic bond yang disupport oleh lembaga-lembaga keuangan swasta multinasional, seperti Citigroup, Deutsche Bank, Hilman Sach, HSBC, dan Standar Chartered. (www.goodmoney.id, 08/04/2021)
Pemerintah sejatinya ingin mengandalkan utang LN dalam membiayai penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Ini adalah bentuk ‘cuci tangan’ pemerintah yakni mengalihkan beban anggaran penanggulangan wabah Covid-19 ke generasi yang akan datang. Hal ini tentu saja akan menambah beban APBN bahkan membuat defisit APBN makin membengkak. Ini langkah yang berbahaya bagi kedaulatan negara, padahal potensi anggaran domestik masih cukup besar.
Parahnya, penyerapan dana untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 dari utang LN tidak mencapai 100%. Lantas kemana sebagian dana tadi menguap? Diduga sisa dana tadi menjadi sasaran empuk tikus-tikus berdasi.
Utang LN jelas menimbulkan bahaya dan risiko bagi kedaulatan negara. Pertama, risiko teknikal berupa pelemahan nilai tukar yang mengakibatkan peningkatan nilai utang.
Kedua, risiko suku bunga. Utang yang mengacu pada bunga mengambang, bersifat fluktuatif dan gambling. Bisa meningkat sewaktu-waktu, sehingga cicilan utang tidak tetap, bahkan bisa semakin gemuk. Terlebih dengan kondisi ekonomi Indonesia dan dunia yang rapuh, bisa mengantarkan pada krisis berkepanjangan.
Ketiga, secara fundamental, utang LN yang ditarik pemerintah selalu dijadikan alat intervensi oleh negara atau lembaga pemberi utang untuk memuluskan kepentingan mereka di negeri ini. Semisal kasus utang kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi bukti kuatnya Cina mendikte Indonesia dalam pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh utang tersebut.
Keempat, risiko terbesar dan terdahsyat dari utang LN adalah dosa. Karena transaksi utang itu pastinya disertai dengan aktivitas riba. Padahal Allah secara jelas telah mengharamkan riba dalam QS Ali Imran ayat 30: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba (dengan berlipat ganda) dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan, dari Jabir ra., Nabi Saw bersabda, “Rasulullah Saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598)
Semua yang terlibat dalam aktivitas riba akan mendapatkan dosa. Siksaannya sungguh dahsyat, karena riba termasuk golongan tujuh dosa besar. Sebuah hadis meriwayatkan,
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Jika negara yang melakukan riba, lantas siapa yang akan menanggung dosanya? Tentu saja setiap orang yang terlibatlah yang akan menanggungnya. Bukan tidak mungkin rakyat yang bahkan tidak merestui utang ini pun terkena cipratan dosanya bila kita membiarkan dan diam melihat kemaksiatan dalam tenor panjang terus dilakukan pemerintah.
Bagi orang-orang yang beriman, ini merupakan pukulan keras yang memecut mereka melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa).
Sayangnya jika kita masih bersemayam dalam kungkungan sistem sekularisme-kapitalisme, ini menjadi hal yang sulit. Karena utang riba ini sejatinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi asas perekonomian Indonesia dan negara-negara di dunia. Utang ini memiliki peran penting dalam mekanisme ekonomi kapitalisme, bahkan menjadi resep sakral yang tak boleh ditinggalkan. Bayangkan jika Indonesia terus menerus mengikuti arahan Barat dalam menetapkan kebijakan ekonomi negara, maka dapat dipastikan Indonesia akan masuk dalam jerat perangkap negara-negara kapitalis. Selalu bergantung dan ‘rela’ dijadikan sapi perahan demi mengamankan kepentingan dan dominasi negara adidaya dan kampiun kapitalis lainnya. Oleh karena itu, mencampakkan sistem sekularisme-kapitalisme menjadi suatu hal yang niscaya jika Indonesia ingin mandiri dan berdaulat serta terhindar dari berbagai krisis yang menjadi cacat bawaan dari sistem ini
Islam Mampu Melepaskan Indonesia dari Jeratan Utang
Islam hadir ke wilayah Nusantara ini dengan damai dan mudah diterima oleh masyarakat pribumi. Tersebab kesesuaian ajarannya dengan fitrah, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan jiwa. Kesempurnaan aturannya membangkitkan optimisme bahwa selalu ada jalan keluar atas setiap permasalahan. Inilah mengapa Islam sangat berkembang pesat di negeri ini, hingga menjadikan Indonesia mayoritas penduduknya memeluk Islam.
Islam sangat memerhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Oleh karena itu, Islam memiliki seperangkat aturan dalam menyolusikan problematika, termasuk urusan utang piutang. Islam mengarahkan ada tiga hal yang harus dilakukan suatu negara jika ingin membangun negaranya tanpa utang.
Pertama, negara mesti mengubah paradigma bahwa utang bukanlah metode dalam mekanisme ekonomi. Karena hal itu mendatangkan bahaya bagi kedaulatan negara. Apalagi jika utang itu dibubuhi riba, maka membahayakan kehidupan akhirat juga. Seakan merelakan diri untuk dilumat oleh panasnya api neraka.
Kedua, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh tindak korupsi atau anggaran siluman yang memperkaya pribadi pejabat, inilah duri dalam daging. Bahkan, secara tegas meniadakan proyek-proyek pembangunan nonstrategis dalam jangka panjang yang tidak selaras dengan kebutuhan rakyat.
Ketiga, Indonesia merupakan negeri yang sangat berlimpah kekayaan sumber daya alamnya, gemah ripah loh jinawi juga zamrud khatulistiwa yang menyimpan berjuta pesona alam. Jika dikelola secara benar dan serius oleh negara, tanpa mengandalkan swasta terlebih swasta asing maka akan mendatangkan pendapatan negara yang teramat besar.
Keempat, pemerintah harus secara sadar dan tegas menanggalkan sistem sekularisme dan kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam yang sejatinya sesuai dengan fitrah serta bisa mengundang rahmat Allah dan keberkahan bagi bumi pertiwi ini. Islam akan melarang segala bentuk transaksi yang bernafaskan riba dalam semua level kehidupan, baik itu individu, masyarakat, maupun negara.
Namun, sistem Islam yang didamba ini tidak bisa diterapkan dalam alam demokrasi. Karena sejatinya demokrasi masih turunan dari sistem kapitalisme. Butuh institusi khusus yang bisa menaungi penerapan syariat Islam secara menyeluruh, yaitu Khilafah. Ini tak terbantahkan. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah berjuang selama kurang lebih 13 tahun di Mekah hingga akhirnya hijrah ke Madinah demi penerapan Islam kafah dalam bingkai daulah Islam yang selanjutnya disebut Khilafah, karena para pemimpinnya dinamai Khalifah, sang pengganti Rasulullah, bukan sebagai nabi dan rasul tetapi sebagai kepala negara, pemimpin kaum Muslim sedunia.
Inilah sesungguhnya jawaban dari segala problematika dan metode paling efektif untuk bangkit dari keterpurukan yang diakibatkan keserakahan sistem kapitalisme dalam kancah dunia. Lantas apa lagi yang kita tunggu? Sudah nyata bahwa utang yang menggunung telah memasung kedaulatan negeri ini. Saatnya kita perjuangkan Khilafah sebagai solusi dari krisis multidimensi yang menerjang dunia dan perisai bagi kaum muslim di mana pun berada.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]
photo : google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]