"Upaya TWK yang bertujuan mengukuhkan moderasi beragama adalah pelestarian dan kelanjutan dari upaya usang program deradikalisasi yang menyasar orang-orang yang menyuarakan tentang syariah, jihad, dan khilafah".
Oleh. Novianti
NarasiPost.Com-Setelah publik dikejutkan oleh Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi, muncul gagasan TWK bagi para dai dan penceramah. Ini disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII (okezone.com, 01/06/2021)
Menteri yang kerap dipanggil Gus Yaqut mengatakan bahwa tujuan sertifikasi wawasan kebangsaan ini untuk penguatan moderasi beragama bagi para dai dan penceramah. Dengan demikian diharapkan nantinya para dai dan penceramah mampu menjawab isu-isu aktual dengan metode dakwah yang menitikberatkan pada wawasan kebangsaan. Menurutnya, ini sesuai dengan semangat slogan Hubbul Wathon Minal Iman.
Usulan Menag ini bukan hal yang baru karena tahun 2020, Menag saat itu, Fachrul Razi mengusulkan program Penceramah Bersertifikat untuk mencegah paham radikalisme (CnnIndonesia, 03/09/2020). Menteri Yaqult hanya melanjutkan program menteri sebelumnya dengan redaksi berbeda. Isu yang diangkat tidak jauh dari narasi radikalisme, terorisme, dan moderasi beragama.
Moderasi Kembaran Deradikalisasi
Isu terorisme, radikalisme, deradikalisasi sudah dihembuskan sejak 10 tahun yang lalu. Pada tahun 2011 ada pelarangan terhadap buku-buku tertentu yang kontennya dianggap radikal, yakni yang terkait syariah, jihad dan khilafah. (Eramuslim.com, 20/10/2011)
Tahun 2016, Kemendikbud melarang peredaran buku 'Anak Islam Suka Baca' yang biasa digunakan untuk belajar membaca anak usia dini. Ini dikarenakan adanya kalimat-kalimat yang dianggap mengandung unsur kekerasan seperti 'rela mati bela agama', 'kita selalu sedia jaga agama kita demi Illahi semata'. (medcom.id, 22/01/2016)
Lalu muncul Program Sertifikasi Da'i/Penceramah, revisi atas sejumlah buku pelajaran di lingkungan Kemenag yang berkonten khilafah dan jihad pada tahun 2019. (cnnindonesia.com, 08/12/2019)
Jelas, upaya TWK yang bertujuan mengukuhkan moderasi beragama adalah pelestarian dan kelanjutan dari upaya usang program deradikalisasi yang menyasar orang-orang yang menyuarakan tentang syariah, jihad, dan khilafah.
Padahal hakikatnya jihad dan khilafah adalah bagian ajaran Islam yang seharusnya dipahami kaum muslimin. Bukan sekadar pengetahuan sejarah, melainkan termasuk dalam pembahasan fiqih. Ketika ulama atau penulis menyampaikan hal tersebut semata-mata merupakan pelaksanaan kewajiban demi menginformasikan pada umat tentang Islam tanpa ada yang ditutupi dan mengajak untuk mengamalkannya.
Umat tidak hanya harus tahu perintah salat, puasa atau haji karena Islam juga mengatur muamalah, 'uqubat (sanksi hukum Islam), jihad termasuk menegakkan kekuasaan yang menjamin pelaksanaan seluruh syariah-Nya.
Allah memerintahkan:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan bahwa kata "kaffat(an)" bermakna "jami(an)" yang artinya tidak boleh sedikit pun syariah atau hukum Islam ada yang ditinggalkan atau tidak diterapkan.
Seorang muslim tidak boleh memilih dan memilah syariah hanya demi hawa nafsu. Mengambil yang disukai lantas menolak yang lainnya. Islam itu sistem kehidupan yang sifatnya holistik dan saling terkait.
Islam sebagai rahmatan lil'alamin hanya terwujud jika diterapkan sebagai sistem. Sistem ibadah , sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sosial, semuanya merujuk pada Al-Qur'an.Syariat Islam itu pasti membawa kebaikan, termasuk bagi negara Indonesia. Karenanya tak sepatutnya para da'i yang membawa kebaikan bagi negeri ini harus diuji TWK. Bahkan justru TWK ini menjadi gagasan kontraproduktif karena mengukuhkan gagasan moderasi yang bertentangan dengan konsep Islam.
Bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga berpotensi memunculkan konflik secara vertikal dan horizontal. Umat Islam merasa dicurigai pemerintah dan tubuh umat Islam menjadi terkotak-kotak. Sejatinya masih banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh Kemenag. Maraknya korupsi, kasus perzinaan, meningkatnya LGBT, tingginya angka perceraian dan gagalnya keberangkatan calon jamaah haji. Ini persoalan nyata di tengah masyarakat. Justru ketika tak ada solusi bagi problem tersebut, dapat menimbulkan frustasi yang ujungnya masyarakat melakukan tindakan destruktif.
Menag Perlu Intropeksi
Menag seharusnya melakukan intropeksi agar menjadi bagian dari penyelesaian masalah di negara ini. Tidak melontarkan pernyataan atau gagasan yang justru memperburuk keadaan dan semakin menambah persoalan.
Dalam pertemuan yang dihadiri Ketua KPK dan sejumlah pejabat Kemenag bulan Maret 2021, Ketua KPK Firli Bahuri menyinggung tentang kasus korupsi yang kerap terjadi di lingkungan Kemenag. Padahal sebagai lembaga dengan lambang ikhlas beramal, para pegawai Kemenag seharusnya tidak melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas melanggar ketentuan agama.
Dibanding dengan Kementerian lain, menurut catatan Indonesia Corruption Watch atau ICW jumlah PNS di Kemenag lah yang paling banyak diduga terlibat korupsi. Berada di posisi ke 2, di bawah posisi Kementerian Perhubungan. Kerja Menag melakukan bersih-bersih di tubuhnya sendiri merupakan tindakan produktif.
Belum lagi persoalan moral yang akarnya berasal dari rendahnya pemahaman umat Islam terhadap agamanya sendiri. Tamparan keras dan memiriskan ketika zina termasuk LGBT semakin marak terjadi di negara dengan mayoritas muslim.
Jelas, jika Kemenag tetap memaksakan proyek TWK, selain pasti akan menuai kegagalan, juga amat berbahaya. Umat Islam merasa terus-menerus diusik, terutama terlihat bahwa proyek TWK adalah upaya nyata untuk mendiskreditkan para dai dan ulama yang selama ini bersuara lantang menentang berbagai kebijakan yang tidak sesuai syariat Islam. Sebagaimana proyek TWK di tubuh KPK yang disinyalir sebagai suatu upaya yang dirancang sejak awal untuk menyingkirkan para pegawainya yang garis lurus dalam pemberantasan korupsi. Ada 75 pegawai dinyatakan tak lolos "saringan TWK", dan sebagian besar dari nama yang tak lolos adalah penyidik yang tengah menangani kasus kakap korupsi
Pada gilirannya proyek TWK oleh Menag bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum muslim. Tentu ini tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, mengakibatkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Menag seharusnya mau mendengarkan kenginan rakyat, khususnya umat Islam yang sudah terlalu lelah dengan kebobrokan dan ketidakadilan yang terjadi secara kasat mata. Rakyat butuh solusi tuntas untuk menyelesaikan persoalan multidimensi yang mencengkeram negara ini.
Menag termasuk pemerintah sudah saatnya jujur menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat jauhnya pengelolaan negara ini dari tuntunan Allah Swt. Padahal, Allah telah menyiapkan seperangkat aturan yang lengkap untuk diterapkan dan dijamin mampu menyelesaikan semua persoalan. Sejatinya, Menag dan pemerintah harus berterimakasih kepada para dai dan penceramah yang telah mengedukasi umat dengan pemahaman Islam secara utuh. Mereka harus diberi ruang agar semakin banyak umat yang sadar untuk menjadikan Islam sebagai solusi bukan malah diancam dengan tes yang tidak akan memberikan faedah sama sekali.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]