RKUHP dan Sinyal Matinya Demokrasi di Indonesia

"RKUHP dapat memungkinkan timbulnya kerawanan dalam penafsiran sehingga memiliki kecenderungan bagi aparat untuk membungkap pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa."


Oleh. Miliani Ahmad

NarasiPost.Com-Demokrasi telah mati. Kalimat ini rasanya sangat tepat mewakili kondisi perpolitikan demokrasi di negeri ini. Bagaimana tidak, sejumlah opsi regulasi yang ada justru telah mengamputasi sejumlah kebebasan yang selama ini digadang-gadang oleh demokrasi.

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang diajukan telah memicu sejumlah polemik. Bahkan RKUHP ini ditengarai bakal menjadi sumber masalah bagi pihak-pihak oposan yang berujung pada delik pidana. Di samping itu juga, RKUHP ini dituding juga sebagai rancangan undang-undang yang bercita rasa kolonial. Setidaknya ada beberapa pasal yang dikritisi oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP diantaranya:

Pertama, pasal 218-220 RKUHP yang mengatur Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Rumusan pasal ini dianggap sama dengan pasal 134 dan pasal 137 ayat (1) KUHP yang notabenenya merupakan undang-undang yang digunakan untuk melindungi martabat ratu atau raja di Belanda. Karena mendapat penolakan, pasal-pasal ini telah dihapus oleh MK melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Selanjutnya, ada pasal 240-241 RKUHP yang terkait dengan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah. Lalu ada pula pasal 353-354 RKUHP yang terkait dengan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Pasal-pasal ini dinilai subversif, kabur, multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet.

Saat Kritik Menuai Delik

Sejumlah pasal yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang coba digolkan di prolegnas tahun ini, semakin menunjukkan adanya upaya untuk membungkam pihak-pihak yang tidak puas dengan kinerja rezim hari ini. Misalnya dalam pasal 218 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan dan martabat dari presiden dan wakil presiden di muka umum bisa dipidana dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan atau bisa dipidana dengan denda paling banyak kategori IV. Ancaman tersebut akan dapat meningkat jika aktivitas penghinaan tersebut dilakukan di media elektronik.

Meskipun menuai kontroversi, namun pasal ini tetap berusaha dimasukkan dengan berbagai alasan. Alasan pentingnya menurut Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM adalah untuk melindungi harkat dan martabat RI 01 dan RI 02 dari berbagai penghinaan.

Selain itu, pasal ini sifatnya delik aduan bukan delik biasa sebagaimana yang terdapat dalam pasal yang dicabut MK. Artinya, yang melapor adalah pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini adalah presiden dan wakil presiden.

Namun demikian, meskipun dengan berbagai dalih yang telah diungkapkan, pencantuman kembali pasal ini dalam RKUHP dapat memungkinkan timbulnya kerawanan dalam penafsiran. Pegiat hak asasi dan kelompok oposisi yang berada di DPR menilai kerawanan ini memiliki kecenderungan bagi aparat untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa. Muncul banyak polemik sehingga akhirnya kita mungkin bertanya-tanya, mengapa pasal kontroversi ini kembali mencuat dan masuk dalam RKUHP?

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa di era sistem pemerintahan saat ini secara umum kebijakan yang dihasilkan kerap menimbulkan kritik pedas dari berbagai pihak.

Hal ini dirasakan cukup wajar mengingat kebijkan yang dilahirkan cenderung menzalimi rakyat dan berpihak kepada kepentingan oligarki. Tak hanya itu, semakin lama kondisi bangsa ini makin tak tentu arah. Adanya bagi-bagi kursi kekuasaan kepada pihak-pihak yang selama ini loyal terhadap rezim telah memantik kecemburuan dalam perpolitikan bangsa ini. Banyak pihak yang akhirnya merasa tak diperhatikan dan diuntungkan. Apalagi penyerahan kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak memiliki latar belakang dan pengalaman politik.

Dalam hal kebijakan saat ini, kebijakan-kebijakan yang ada justru terkesan kontradiktif dengan situasi dan kondisi masyarakat. Sebut saja kebijakan menaikkan nilai pajak dan kebijakan penambahan jenis pajak baru seperti pajak untuk sembako dan pajak pendidikan. Padahal, rakyat di negeri ini sedang terlilit masalah ekonomi dan sedang berjibaku menghadapi pandemi. Jangankan untuk membayar pajak, untuk makan sesuap nasi pun banyak yang merasa kesusahan.

Atau juga kebijakan pengesahan UU Omnibus Law pada tahun lalu yang dinilai memberikan karpet merah kepada para pengusaha. Pengusaha tambang, khususnya batu bara, banyak mengeruk keuntungan dengan diberikannya pengenaan royalti 0%. Sementara di sisi lain, nasib susah rakyat sering diabaikan dengan alasan kekurangan anggaran.

Begitupula bagi-bagi kursi kekuasaan yang tak tak mengedepankan basis kompetensi. Kerap kali gaya penunjukan ini menyebabkan kacaunya pengelolaan dalam kekuasaan. Anehnya, ketika masyarakat dan berbagai pihak berteriak justru ditanggapi sebagai bentuk penghinaan bahkan tak jarang banyak yang dibungkam dengan berbagai alasan menyesatkan. Maka, apakah salah jika akhirnya masyarakat memiliki hak untuk mengungkapkan kekecewaannya. Meskipun tidak dapat dipungkuri akan ada pihak-pihak yang mencoba mengail di air keruh terhadap kondisi ini.

Inilah cerminan buruk penerapan sistem demokrasi. Hukum bisa dibuat sesuai kehendak hati demi melindungi eksistensi kekuasaan yang sedang berkuasa saat ini. Hukum dalam sistem ini akan selalu berada dalam kontrol pihak-pihak yang menginginkan kelanggengan dalam kekuasaan. Mereka bisa melakukan banyak cara untuk melegalisasinya. Termasuk membuat pasal yang justru menghancurkan dan membunuh demokrasi itu sendiri.

Kritik terhadap Penguasa dalam Pandangan Islam

Sejatinya sistem hukum yang baik adalah sistem hukum yang memberikan keadilan dan kedudukan hukum yang sama antara rakyat dengan penguasa. Hukum tidak boleh tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Sehingga dalam pengaplikasiannya, penguasa tak boleh membuat hukum yang mencerminkan sikap pembelaan terhadap eksistensinya. Karena bisa jadi dalam menjalankan kekuasaan, penguasa memiliki kelalaian dalam pengelolaannya.

Akibat kelalaian ini, secara alami pasti menuai kritik. Hanya saja kritik yang diberikan rakyat kepada penguasa tak boleh dimaknai sebagai bentuk perlawanan atau upaya menggoyang kekuasaan. Justru dengan adanya kritik, penguasa bisa melakukan koreksi dan introspeksi. Jika kebijakannya salah, maka mereka wajib mengubahnya. Namun, jika kebijakannya telah tepat -sesuai dengan amanah syariah- maka negara wajib menjelaskannya kepada masyarakat bukan malah membungkamnya.

Kritik kepada penguasa dalam Islam atau yang lebih dikenal muhasabah lil hukkam’ merupakan suatu aktivitas yang mesti ada dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab dengan adanya kritik, penguasa akan merasa sangat terbantu dalam menilai kinerjanya.
Apalagi dalam pengelolaan kekuasaan yang sangat luas wilayahnya, kritik bisa menjadi parameter apakah kapasitas mereka selaku penguasa sudah mampu memenuhi semua hajat rakyatnya.

Dalam Islam, kritik terhadap penguasa merupakan bagian dari aktivitas amar makruf nahi munkar. Kritik yang diberikan ini akan mampu mencegah penguasa melakukan tindakan yang melenceng dari syariah. Bahkan mampu menjaga penguasa dari berbagai perbuatan zalim. Sebab zalim, merupakan tindakan terlaknat yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi)

Selain itu, kritik terhadap penguasa pun tidak bisa diartikan sebagai bentuk melepaskan ketaatan terhadap pemimpin. Sebab, masalah ketaatan merupakan masalah yang tak boleh dilepaskan dari pundak kaum muslim. Bahkan haram hukumnya bertindak demikian. Namun, tatkala penguasa lalai, ada kewajiban bagi rakyat untuk meluruskannya, sebagaimana firman Allah Swt :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaknya ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (melakukan) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat keberuntungan.” (Q.S Ali-Imran : 104)

Dengan dalil ini semakin menegaskan bahwa kritik terhadap penguasa merupakan suatu aktivitas yang wajib dilakukan jika memang penguasa tersebut terbukti melakukan pelanggaran dan kelalaian. Umat dilarang berdiam diri melihat kemunkaran yang ada dihadapannya. Bahkan jika umat terus berdiam diri bukan tidak mungkin kezaliman penguasa akan semakin menjadi. Lebih berat lagi, berdiam diri dari kezaliman merupakan sikap penentangan terhadap syariah, mendatangkan dosa serta terhalangnya ijabah doa.

Nabi Saw bersabda, "Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman kekuasan-Nya, sungguh hendaklah kalian menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar atau sungguh Allah akan mempercepat kiriman siksaan terhadap kalian, kemudian jika kalian memohon kepada-Nya, maka tidak akan diijabah bagi kalian." (HR.Tirmizi)

Kritik terhadap penguasa pun dalam Islam merupakan aktivitas yang mulia. Aktivitas ini memiliki nilai yang setara dengan kedudukan para syuhada. Bahkan lebih utama lagi karena bisa mendapatkan pahala setara pahala penghulu para syuhada.

«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»

Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang menghadap penguasa zalim lalu ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), lalu penguasa zalim itu membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).

Di samping semua itu, Islam mendorong aktivitas muhasabah ini dikarenakan agama ini merupakan agama nasihat bukan agama bertangan besi.

Rasul Saw bersabda,

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»

“Agama itu adalah nasihat”

Lalu para sahabat pun bertanya: “Untuk siapa?” Nabi Saw kemudian menjawab dengan sabdanya:

«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Demikianlah Islam telah memerinci syariat tentang muhasabah lil hukkam sebagai wasilah terciptanya keadilan dalam pengaturan kehidupan. Alangkah agungnya syariat mulia ini, lalu mengapa kita masih enggan untuk memperjuangkannya?

Wallahua’lam bish-showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Mundur dari Khitbah
Next
PPN, Instrumen Lonceng Kematian Nurani Penguasa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram