"Sejatinya ulama adalah pemberi peringatan dan penasihat kehidupan bagi umat terutama bagi penguasa. Jika penguasa tergelincir dalam kemaksiatan dan kezaliman, maka ulama lah yang pertama berdiri di garda terdepan.
Namun gerak ulama makin dipersempit dengan label certifikasi ulama"
Oleh. Ulfa Ni'mah
NarasiPost.Com-Kembali program sertifikasi wawasan kebangsaan bagi para dai dan penceramah mendapat sorotan publik dan menuai badai kritik dari berbagai pihak. Terlebih rencananya akan dilaksanakan oleh kementerian Agama (Kemenag RI), Yaqut Cholil Qoumas dengan melibatkan berbagai organisasi-organisasi masyarakatan Islam, MUI, BPIH dan BPIP.
Seperti diberitakan dari laman resmi Republika.co.id (04-06-2021), Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Dr Amirsyah Tambunan menolak wacana program sertifikasi dai. Menurutnya, program ini tidak jelas manfaat yang diterima oleh penceramah dan dai yang akan disertifikasi. Lebih lanjut beliau mengatakan MUI sudah seringkali melakukan pembinaan wawasan kebangsaan kepada para da'i, lantas untuk apa diselenggarakan sertifikasi dai kembali oleh Kemenag?
Penolakan senada juga terlontar dari Anggota komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis, yang merasa kecewa dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, proyek sertifikasi dai ini menyerupai penelitian khusus (Litsus) yang terjadi di zaman Orde Baru (Orba) untuk mengontrol dan membatasi siapa yang disukai dan tidak disukai oleh pemerintah. (Tribbunnews, 7-6-2021)
Melihat upaya yang cukup keras dari Kemenag untuk meloloskan program tersebut, rasanya memunculkan sebuah tanda tanya besar bagi kita. Apakah sertifikasi dai ini murni untuk peningkatan kompetensi ataukah ada kepentingan politik yang mendominasi?
Sertifikasi Dai bagian Program Deradikalisasi
Sejak awal digagasnya ide sertifikasi dai ini langsung memantik polemik publik. Betapa tidak, di balik program sertifikasi ada motif "deradikalisasi". Mengutip pernyataan Fachrul Razi dalam Webinar bertajuk 'Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara' Rabu (2/9/2020) mengatakan bahwa pengurus atau penceramah rumah-rumah ibadah, baik di lingkungan kementerian, institusi pemerintahan, BUMN, maupun rumah-rumah ibadah di tempat tinggal hanya boleh diisi oleh pegawai/dai yang telah bersertifikat. Fachrul pun menegaskan bahwa program tersebut bertujuan untuk mencetak penceramah yang memiliki bekal wawasan kebangsaan dan menjunjung tinggi ideologi pancasila. Sekaligus kata dia, mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat tempat ibadah.
Berbicara War On Radicalism tidak bisa dilepaskan dari agenda War On Terorism. Proyek ini sengaja digulirkan setelah kegagalan Barat menghadang kebangkitan Islam politik dengan isu terorisme. Hingga detik ini, nomenklatur radikalisme condong kepada istilah politik dibandingkan istilah hukum. Merujuk pendapat peneliti Belanda, Beren Schot, ia menyatakan bahwa nomenklatur radikalisme yang digunakan pemerintah tidak tepat, bila digunakan untuk melabeli orang orang yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah. Dari sini semakin jelas bahwa arahan war on radicalism yang dikehendaki Barat tentunya dilandaskan pada term ideologi yang diembannya, yaitu kapitalisme-sekularisme.
Di samping itu, Barat sangat memahami betul bahaya yang mengancam eksistensi ideologi kapitalisme sekularisme yang diemban dan ditancapkan di negeri-negeri Islam. Umat Islam pernah memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahanan khilafah Islam yang kuat dan terdepan, jika khilafah Islam kembali ditegakkan dan menyatukan seluruh umat dunia, bisa dibayangkan hal ini sangat membahayakan peradaban Barat. Oleh karena itu, sertifikasi dai dijadikan sensor guna membendung laju kebangkitan Islam dan isu war on radicalism harus terus dideraskan sejalan dengan penguatan moderasi beragama. Akibatnya, program sertifikasi dai terkesan dipaksakan demi sebuah kepentingan politik tertentu dan diskriminatif. Bahkan kemunculannya pun hanya menambah luka pada umat Islam. Karena umat Islam masih dibalut rasa kecewa atas tes wawasan kebangsaan KPK dan pembatalan jamaah haji secara sepihak oleh Kemenag di Indonesia.
Standarisasi dai versi Kemenag selanjutnya dijadikan pula sebagai alat mengontrol sekaligus membungkam kekritisan para dai akan karut-marutnya kondisi perpolitikan negeri. Walhasil program ini akan memandulkan produktifitas para dai untuk mengembangkan potensi bahkan berujung dapat mengintimidasi para dai. Karena hanya dai yang 'disukai' konten ceramahnya, yakni yang dinilai adem, menyejukkan bahkan bisa materi pesanan, akan dibiarkan melenggang, sementara dai yang 'tidak disukai' dilabeli radikal karena tidak searus dengan pemerintah dan akan di hadang.
Seharusnya pemerintah menyadari, sudah cukup negeri ini dirundung berbagai masalah yang tak berkesudahan. Pandemi juga belum mendapatkan penanganan optimal, tidak selayaknya program sertifikasi menambah deretan permasalahan yang hanya akan memicu kegaduhan, keresahan sekaligus berpotensi membahayakan, yakni mengarahkan keterpecahan antartokoh ulama akibat politik adu domba.
Syiar Islam adalah tanggung jawab, bukan hanya ulama tetapi setiap individu Muslim memiliki kewajiban dalam amar makruf dan nahi munkar. Mereka diwajibkan menyampaikan seluruh pemahaman agama tanpa memilah-milah. Bisa dibayangkan jika ajaran Islam hanya disampaikan sebagian dan disembunyikan sebagian, ini hanya akan meyakinkan kepada umat bahwa Islam bukanlah agama sempurna dan solusi kehidupan. Untuk menyampaikan Islam tidaklah diperlukan sertifikasi dari siapapun, namun ulama khoir hanya akan menyampaikan sesuatu yang haq yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.
Allah Swt turunkan Islam kepada Rasulullah Muhammad Saw sebagai petunjuk dan pedoman kehidupan serta cahaya yang menerangi kegelapan. Ini artinya ajaran Islam bersifat kamil, yakni (sempurna) dan syamil (lengkap dan menyeluruh) mengatur seluruh aspek kehidupan. Mengatur seluruh urusan dari bangun tidur hingga bangun negara. Berdasar hal inilah, ulama memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan seluruh hukum Islam tanpa ada sebuah ketakutan atau kekhawatiran.
Oleh karena itu, sejatinya ulama adalah pemberi peringatan dan penasihat kehidupan bagi umat terutama bagi penguasa. Jika penguasa tergelincir dalam kemaksiatan dan kezaliman, maka ulama lah yang pertama berdiri di garda terdepan. Kebangkitan Islam dalam institusi Khilafah adalah keniscayaan, sekeras apapun usaha Barat dan anteknya dalam membungkam cahaya Islam, maka mereka tak akan pernah bisa memadamkannya, sebab Allah Swt yang langsung akan menjaga agar sumber cahayanya tetap terang benderang.
Umat semestinya menyadari bahwa paham kapitalisme-sekularisme inilah yang membahayakan, bukan Islam dan ajarannya. Keberadaan sistem kapitalisme ini juga yang melahirkan para pemangku kebijakan yang menjauhkan umat dari ajaran Islam yang mulia serta berusaha terus memonsterisasi ajarannya. Jangan sampai hal ini dibiarkan berlarut-larut, sudah saatnya pemerintah mencampakkan biang kerusuhan yakni sistem kapitalisme dan bukan terlena dengan program pro-kapitalisme. Wallahu a'lam bishawab.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]