PPN, Instrumen Lonceng Kematian Nurani Penguasa

Kewajiban membayar pajak akan menjadi bagian dari kehidupan yang berlangsung terus menerus, dimana masyarakatlah yang membiayai negara. Dan produsen alias para pemilik modal tetap akan diuntungkan.


Oleh. Irma Ismail
(Aktivis Muslimah dan Penulis Balikpapan)

NarasiPost.Com-Polemik PPN sembako hingga sekolah terus bergulir, argumen pro kontra dapat jelas disaksikan masyarakat. Dilansir dari (kompas.com, 11/6/2021), Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa tarif PPN untuk sembako, sekolah hingga jasa kesehatan adalah bagian dari reformasi pajak, sebagaimana tertuang dalam draf Revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Semua ini dengan harapan bisa menciptakan sistem yang lebih adil, bukan tak mungkn PPN hanya untuk sembako dan sekolah tertentu . Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa rencana ini tidak dilakukan dalam waktu dekat, karena pemerintah saat ini belum membahas revisi RUU KUP dan juga memang belum dibicarakan dalam rapat paripurna.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa heran kenapa draf RUU KUP bisa bocor di tengah masyarakat, padahal ini adalah dokumen public yang disampaikan ke DPR melalui surat presiden. Dalam Rapat Paripurna Komisi XI DPR terkait Pembahasan Pagu Indikatif Kementrian Keuangan dalam RAPBN 2022 pada Kamis 10 Juni 2021, Menkeu banyak dicecar oleh anggota DPR terkait rencana PPN sembako dan lainnya. Sejumlah anggota sangat menyayangkan akan rencana ini dan meminta untuk ditinjau kembali atau di hapuskan saja, karena jelas akan menyusahkan masyarakat. (cnbcindonesia.com, 11/6/2021)

Besarnya penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, membuat Menkeu akhirnya menjelaskan bahwa tidak semua sembako akan dikenakan PPN, hanya yang premium saja yang akan dikenakan PPN. Termasuk sekolah, hanya sekolah-sekolah terpilih atau sekolah orang-orang kaya. Ini dapat dilihat dari besaran SPP yang harus dibayar orang tua yang melewati ambang batas yang diatur pemerintah. Dan masyarakat diminta untuk tidak membenturkannya dengan PPN barang mewah, mobil misalnya. Alasannya apabila PPNnya 0% diharapkan orang-orang kaya akan membelanjakan uangnya sehingga berdampak pada produsen mobil maupun industry otomotif lainnya. (kompas.com, 15/6/2021)

Direktur Center of Ekonomi and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa rencana kenaikan PPN untuk jasa pendidikan atau sekolah bertentangan dengan tujuan pemerintah, yaitu memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan ini mengakibatkan biaya pendidikan akan semakin mahal dan sulit dijangkau masyarakat kelas bawah. Sementara itu, Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia(KSPI) menyatakan bahwa PPN bagi sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan Menteri Keuangan, orang kaya akan diberi relaksasi pajak untuk sejumlah pembelian barang mewah sedangkan orang miskin untuk makan saja dikenai pajak. (liputan6.com, 10/6/2021)

Sembako adalah sembilan bahan pokok yang terdiri atas berbagai bahan-bahan makanan dan minuman yang secara umum sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat dan keberadaannya memang dibutuhkan. Berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, muncul produk premium atau berkualitas baik dengan harga lebih di atas rata-rata umumnya, meskipun namanya sama. Dan produk ini biasanya berasal dari impor, oleh karena itu harganya lebih mahal karena ada bea masuk, selain itu pangsa pasarnya juga berbeda. Dari perbedaan kelas inilah, yang premium digadang-gadang oleh sang menteri akan dikenakan PPN dengan mengatasnamakan demi keadilan.

Penjelasan Menkeu ini tidak serta merta akan meredakan permasalahan yang ada, seolah hanya karena untuk orang-orang kaya, maka masyarakat bawah tenang saja atau tidak panik. Keadilan adalah dalih yang di sampaikan Menkeu, sehingga tidak dikatakan adil apabila sembako premium bebas PPN, sama dengan yang nonpremium. Padahal sembako premium dikomsumsi oleh orang yang mampu/kaya saja. Bukanlah dikatakan adil, jika orang kaya mampu membeli yang mahal sedangkan orang yang miskin tidak mampu membeli, kemudian perlakuannya sama saja. Maka untuk membuat adil, dikenakan pajak bagi orang kaya dalam pembelian produk tertentu.

Sebenarnya skema kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme adalah untuk meningkatkan pendapatan negara semaksimal mungkin serta untuk menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan investasi, daya saing, dan kemakmuran rakyat, serta mengambil setiap keuntungan dari semua lapisan masyarakat (kaya ataupun miskin) dalam sektor apa pun. Pajak menjadi instrumen yang sangat vital bagi pemasukan dalam negeri di semua negara penganut sistem kapitalisme. Besaran pajak dari pemerintah kepada produsen pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen, melalui harga barang, pada akhirnya masyarakat yang akan menanggung. Begitu pun dengan pajak barang mewah. Pada akhirnya kewajiban membayar pajak akan menjadi bagian dari kehidupan yang berlangsung terus menerus, dimana masyarakatlah yang membiayai negara. Dan produsen alias para pemilik modal tetap akan diuntungkan.

Hal yang berbeda dalam sistem Islam. Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki barang mewah sepanjang memang mampu untuk membelinya, tidak juga ada kompensasi bagi barang yang dimilikinya. Tetapi syara mempunyai ketentuan-ketentuan terkait harta kekayaannya, jika sudah sampai satu nishob maka wajib dikeluarkan zakatnya. Terkait dengan barang yang merupakan kebutuhan pokok, maka memang sudah menjadi tugas negara untuk memenuhinya, menyediakannya serta memberikan produk yang terbaik bagi masyarakat. Kalaupun di pasaran berkembang kualitas yang berbeda-beda, maka negara hanya memastikan bahwa yang dipasarkan itu adalah produk yang halal dan thoyib. Kembali kepada masyarakat lagi, tergantung kesanggupan dan kebutuhannya.

Dalam sistem Islam, keadilan itu tidaklah lantas menyamakan yang miskin dan kaya. Yang kaya ikut merasakan miskin juga, tetapi keadilan dalam Islam itu adalah ketika apa yang menjadi hak seluruh warga negara, yaitu kebutuhan mendasar sama didapatkan, yaitu kebutuhan akan pangan, sandang, papan, keamanan, kesehatan dan pendidikan. Dan apa yang diwajibkan juga ditunaikan. Yang kaya ada kewajiban untuk membayar zakat, karena di dalam harta mereka ada hak fakir miskin. Negara memastikan ini terlaksana karena merupakan perintah Allah, melanggarnya adalah perbuatan dosa.

Dalam hal pengelolaan keuangan, maka sistem Islam mempunyai sumber pemasukan sendiri, bersifat tetap, ada atau tidak ada kebutuhan negara, yaitu dari fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi atau dikuasai negara, harta haram pejabat dan pegawai negeri, rikaz dan barang tambang, harta orang yang tidak punya ahli waris dan harta orang murtad. Dan ketika kas Baitul Mal kosong, sedangkan ada kebutuhan negara yang harus ditunaikan, seperti gaji para pegawai negeri, tentara, santunan penguasa, memenuhi kebutuhan fakir dan miskin, keperluan dan fasilitas umum, kondisi darurat bencana, melunasi utang negara disebabkan pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya, maka negara akan mengambil dharibah (pajak) yang akan dikenakan kepada orang-orang yang mempunyai kelebihan harta serta dipastikan apa yang menjadi kewajibannya sudah terpenuhi dan statusnya muslim. Tetapi ini tidaklah terus menerus, sifatnya sementara saja.

Oleh karena itu, semakin jelas bahwa pajak dalam Islam itu bukan untuk menaikan pertumbuhan ekonomi, bukan juga untuk menghalangi orang kaya dari memiliki barang mewah, tetapi semata-mata karena adanya kebutuhan mendesak dari negara yang harus ditunaikan. Bahkan negara dengan pos pemasukan di Baitul Mal akan memberikan pelayanan publik yang terbaik, semisal sekolah, rumah sakit dan keamanan, meskipun tidak melarang jika ada warga negara yang mau membuka sekolah ataupun rumah sakit.

Sudah saatnya kaum muslim mau berpikir jernih, bahwa permasalahan yang berlarut dan semakin kacau ini, serta penguasa yang tak melayani bahkan dilayani disebabkan oleh sistem yang bersumber dari akal manusia, bukan dari Rabb Pencipta alam semesta. Maka marilah kita kembali menjadikan syariat Islam sebagai sandaran dalam setiap sisi kehidupan kita, kembali ke fitrah, kembali ke Islam kafah. Wallahu’alam bishawab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
RKUHP dan Sinyal Matinya Demokrasi di Indonesia
Next
Perceraian
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram