"Never ending pandemi saat ini seakan telah membuka mata tentang betapa buruknya pengasuhan sistem liberal kapitalisme dalam pembentukan generasi mulia."
Oleh. Dwi Indah Lestari, S.TP.
(Pemerhati Persoalan Publik)
NarasiPost.Com-Maju tidaknya sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas generasinya. Untuk itulah agar tumbuh kembang dan proses pembentukan kepribadiannya berkualitas, maka hak anak harus dipenuhi. Namun, kini di tengah deraan pandemi yang seolah never ending, potret generasi semakin buram.
KPAI telah menerima banyak kasus pengaduan pelanggaran hak anak dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2011 hingga 2020 sebanyak 44.350 kasus. Pada tahun 2020 saja terdapat sebanyak 6.519 kasus, meningkat 149 persen dari tahun 2019. Kasus-kasus tersebut meningkat selama pandemi yang hingga kini belum juga menunjukkan akan usai.
Berbagai persoalan, seperti stunting, kekerasan seksual, kriminalitas, hingga harus berhadapan dengan hukum, eksploitasi, dan lain-lain, terus mendera generasi. Mirisnya, di era pandemi saat ini, tren kasus pelanggaran hak anak bahkan terjadi di dalam keluarga sebagai dampak yang ditimbulkan dari konflik orang tua, seperti perceraian.
Juga banyak dijumpai anak-anak yang kurang kasih sayang dan perhatian karena orang tuanya sibuk bekerja. Pandemi yang melanda negeri ini juga telah membuat keluarga-keluarga mengalami goncangan ekonomi. Orangtua harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang setiap harinya semakin meroket. Dalam kondisi seperti ini tentu sulit bagi ayah atau ibu untuk memberikan perhatian yang optimal kepada anak-anaknya.
Selain itu, di ranah pendidikan, pandemi juga menyebabkan sekolah tidak dapat leluasa melakukan pembelajaran tatap muka. Sebagai gantinya diterapkan pembelajaran jarak jauh yang ternyata melahirkan berbagai persoalan yang lain, di antaranya ketidaksiapan atau kekurangmampuan orang tua dalam memberikan pengajaran kepada anak, sehingga sering berujung pada stress.
Akibatnya, anak kerap menjadi korban pelampiasan dari orang tua. Belum lagi kekurangan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, seperti tidak adanya smartphone atau gadget, kendala jaringan sinyal dan lain-lain, turut menyumbang tekanan pada orang tua dan anak. Masih lekat di benak masyarakat, adanya kasus seorang ibu yang tega membunuh anaknya yang baru duduk di bangku SD hanya karena tidak kunjung memahami materi pelajaran yang diajarkan sang ibu.
Belum lagi persoalan-persoalan lainnya, seperti pornografi, cybercrime, trafficking, tindak kriminalitas, dan lain-lain. Melihat semua itu, slogan perlindungan anak yang selama ini dicanangkan, ibarat tak ada artinya. Pada realitasnya masih banyak anak yang diabaikan hak-haknya dan hidup jauh dari kata sejahtera.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal-hal berikut bisa jadi merupakan faktor penyebabnya. Di antaranya adalah, pertama, kurangnya kesadaran orang tua akan perannya dalam memenuhi hak anak. Semestinya sebagai ayah dan ibu, keduanya harus bisa bersinergi dalam tanggung jawab untuk membesarkan, mengasuh, dan mendidik putra putrinya. Namun sering kali ditemui orangtua justru tidak memahami perannya tersebut.
Dalam kondisi kehidupan yang materialistis seperti sekarang, banyak juga dijumpai pasangan suami istri yang hanya berorientasi pada kecukupan materi saja dalam membangun keluarganya. Mereka sibuk bekerja dan mengabaikan perhatian serta kasih sayang yang sebenarnya menjadi hak anak. Bahkan tak sedikit dijumpai, para orang tua yang menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak sepenuhnya pada orang lain.
Yang kedua adalah kondisi masyarakat yang sakit, yakni telah terjadi kerusakan pada sendi-sendi sosial kemasyarakatan. Sikap hidup individualis, materialistik, dan budaya serba bebas, telah memberikan andil pada lemahnya perlindungan terhadap anak. Kejahatan seksual seperti pedofilia misalnya, sering terlambat diketahui hingga akhirnya menelan korban yang begitu banyak akibat sikap acuh masyarakat.
Berikutnya yang ketiga adalah sistem hidup yang sekuler kapitalis. Sistem ini hanya menempatkan anak ibarat aset yang selalu berorientasi materi semata. Dampak dari sistem pendidikan sekuler juga telah menjauhkan agama dari kehidupan. Anak-anak dipersiapkan untuk meraih kebahagiaan duniawi saja, namun minim dari pengokohan akidah dan pembentukan kepribadian islami.
Bahkan anak-anak disuguhi budaya liberal Barat yang sarat dengan pergaulan bebasnya dan menganggap hal itu adalah sesuatu yang biasa. Hal ini berkontribusi menjerumuskan mereka pada perilaku-perilaku tidak terpuji, seperti seks bebas, narkoba, dan lain-lain. Anak-anak menjadi generasi yang tidak lagi mempertimbangkan halal dan haram dalam kehidupannya.
Inilah akar masalah yang menyebabkan anak-anak negeri ini berada dalam kondisi yang tidak ideal. Sebab mereka sedang diasuh oleh sistem yang keliru dan rusak. Never ending pandemi saat ini seakan telah membuka mata tentang betapa buruknya pengasuhan sistem liberal kapitalisme dalam pembentukan generasi mulia.
Maka, tak ada jalan lain selain meninggalkan sistem rusak ini. Kemudian menggantinya dengan sistem hidup yang lurus, yaitu sistem yang berasal dari Allah Swt sebagai pencipta seluruh alam semesta dan isinya, yaitu Islam. Karena Allah lah yang Maha Tahu aturan terbaik untuk hambaNya, termasuk dalam hal pengasuhan dan pemenuhan hak-hak anak.
Dalam Islam, anak adalah anugerah sekaligus amanah bagi setiap orangtua. Kelak semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Anak juga diciptakan dalam keadaan fitrah, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam hadisnya,
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orangtuanya lah yang membuat dia jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Muslim)
Dengan demikian, akan seperti apakah generasi ini dibentuk, tergantung pada orangtua sebagai madrasah ‘ula. Perlu diingat, anak juga adalah hamba Allah yang tentu harus tunduk patuh pada ketentuan-Nya. Seperti inilah seharusnya dalam memandang anak, sehingga bisa memahami apa yang menjadi hak anak yang harus dipenuhi. Sesungguhnya pengasuhan terhadap generasi adalah untuk mengantarkan mereka agar dapat mewujudkan visi besarnya sekaligus untuk membangun peradaban yang mulia. Sehingga sudah semestinya anak-anak mendapatkan perhatian yang istimewa. Hak-hak mereka harus dipenuhi. Lalu apa saja hak-hak mereka?
Di antara hak-hak anak yang harus dipenuhi adalah:
Pertama, hak untuk mengenal siapa penciptanya, yaitu Allah Swt. Hal ini sangat mendasar dan penting sebab dari sanalah anak-anak akan mengenal siapa dirinya serta mampu membangun jati dirinya sebagai hamba Allah.
Kedua, hak untuk mendapatkan pengasuhan terbaik, tempat tinggal yang layak, pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi yang baik, serta pendidikan Islam berkualitas.
Ketiga, hak untuk mendapatkan perlindungan. Melindungi anak-anak dalam hal ini adalah agar mereka bisa memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu sebagai hamba Allah yang mengisi hidupnya dengan hal-hal yang diperintahkan kepada mereka.
Di antara hal-hal yang diperintahkan sebagai misi besar untuk mereka adalah yang pertama, supaya mengisi hidupnya dengan beribadah kepada Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Swt.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS. Az Dzariyat: 56).
Yang kedua adalah sebagaimana yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (TQS. Ali-Imran: 110).
Maka, misi berikutnya adalah untuk menjadi generasi terbaik sebagaimana yang telah Allah janjikan. Menjadi khoiru ummah berarti menuntut anak-anak untuk mempersiapkan dirinya menjalankan aktivitas-aktivitas mulia, yaitu amar ma’ruf nahiy munkar.
Misi berikutnya adalah menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Swt berfirman,
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Al Furqon: 74)
Maka, dengan memahami hal tersebut, akan menjadi bekal bagi para pelaku pengasuhan anak untuk bisa menjalankan tanggung jawabnya itu. Siapa saja yang berperan dalam hal ini? Ada tiga pihak yang mengemban tugas ini, yaitu indvidu atau keluarga, masyarakat dan negara. Oleh karena itu, agar misi besar generasi tercapai, maka ketiga unsur pelaku pengasuhan anak harus bersinergi.
Negara memegang peran vital dalam hal ini. Untuk itu seharusnya pula negara memosisikan diri untuk mengurusi urusan umat.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR.al-Bukhari dan Ahmad)
Di antara yang harus dilakukan pemimpin adalah membangun sistem perekonomian Islam yang kokoh. Dengan begitu, negara akan mampu menjamin setiap warga negara terpenuhi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan dasar, baik dengan mekanisme langsung atau tidak langsung.
Mekanisme tidak langsung dilakukan dengan memastikan setiap ayah mendapatkan lapangan pekerjaan, sehingga mampu memenuhi nafkah keluarganya. Dengan begitu, para ibu tercukupi keperluannya dan bisa menjalankan tugasnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Sementara secara langsung adalah dengan membangun dan membiayai kebutuhan pendidikan, seperti bangunan sekolah, perpustakaan, laboratorium termasuk menyediakan guru berkualitas dan menggajinya secara layak. Begitu pula di bidang kesehatan dan transportasi. Rakyat bisa mengaksesnya secara langsung dan murah bahkan cuma-cuma.
Negara juga wajib membangun sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengannya, dalam diri anak-anak akan terbentuk kepribadian Islam dan mereka siap mewujudkan misi besarnya. Selain itu, negara harus menegakkan sanksi yang tegas terhadap berbagai pelanggaran syariat. Sehingga para pelaku maksiat akan jera sekaligus hal itu akan menjamin perlindungan baik harta, jiwa, dan kehormatan setiap warga negara, termasuk anak-anak.
Berikutnya adalah peran masyarakat, yaitu sebagai kontrol sosial. Kebiasaan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat, akan meminimalisasi terjadinya pelanggaran hak-hak anak. Bahkan akan bisa dihilangkan bersamaan dengan penegakan sanksi yang tegas. Sementara keluarga berperan sebagai bangunan pertama pembentukan kepribadian generasi. Dengan pemahaman Islam yang benar, orang tua akan mampu melindungi dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan syariat.
Pendidikan dan perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Negara sebagai penanggung jawab utama harus memastikan bahwa keluarga dan masyarakat akan menjalankan pula perannya. Hal ini direalisasikan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat pada umumnya dan anak pada khususnya sesuai tuntunan syariat.
Semua itu akan bisa diwujudkan apabila sistem kehidupan dijalankan menggunakan sistem Islam dalam bentuk khilafah islamiyah. Hanya dengan khilafahlah yang akan memastikan kehidupan umat diatur sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Khilafah pula yang akan menjamin lapisan perlindungan terhadap anak dan generasi tercipta secara kafah. Wallahu’alam bisshowab.[]
Photo :Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]